Catatan Hitam Merah Negara dari Aksi Kamisan Bandung
Sembilan tahun Aksi Kamisan Bandung bukan prestasi. Banyak pelanggaran HAM yang belum tuntas. Penggusuran di Bandung masih kerap terjadi.
Penulis Awla Rajul22 Juli 2022
BandungBergerak.id - Senin, 18 Juli 2022 lalu, genap 385 hari atau 9 tahun Aksi Kamisan Bandung sejak aksi pertama yang dilakukan seniman pantomim Wanggi Hoed pada tahun 2013. Sembilan tahun Aksi Kamisan Bandung memberikan catatan hitam bagi negara yang tidak menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu maupun kini.
Fay, pegiat Aksi Kamisan Bandung menyebutkan, aksi diam yang menolak lupa ini akan terus dilakukan untuk merawat ingatan pelanggaran-pelanggaran berat kasus HAM terdahulu. Aksi ini sekaligus memberikan ruang bagi keluarga korban dan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi kepada negara yang belum menyelesaikan kasus pelanggaran HAM atau bahkan tanda-tanda akan menyelesaikannya.
“Sembilan tahun Aksi Kamisan Bandung bukan prestasi, tapi catatan hitam dan merah bagi negara akan penuntasan kasus HAM yang belum selesai, bahkan tanda-tandanya yang belum ada,” ungkap Fay, dalam orasinya di bawah payung hitam, di depan Gedung Sate.
Aksi Kamisan Bandung, lanjut Fay, terinspirasi dari Aksi Kamisan Jakarta yang diinisiasi oleh Kontras dan beberapa lembaga lainnya pada 18 Januari 2007. Aksi tersebut dijadikan sebagai aksi alternatif yang masih konsisten hingga saat ini di depan istana negara.
“Aksi Kamisan Bandung masih terus ada, menanadakan bukan hanya pemerintah pusat yang tuli dan buta, tapi pemerintah Kota Bandung juga tuli dan buta terhadap kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang dulu dan sekarang masih terus terjadi,” pungkasnya.
Dari Pantomim hingga Musik
Aksi Kamisan Bandung bermula pada 18 Juli 2013 dengan aksi pantomim dari seniman Wanggi Hoed. Setelah konsisten selama sembilan tahun, pegiat-pagiat aksi Kamisan Bandung melakukan serangkaian pergantian metode dalam menyampaikan aspirasinya, mulai dari orasi, refleksi, pembacaan puisi, musik, hingga mural.
Menurut Fay, metode-metode lain untuk menyuarakan suara rakyat akan terus dicoba, seperti halnya yang dilakukan oleh dua orang pegiat seni yang memainkan musik elektronik berisik yang bertujuan memberikan distraksi kepada pemerintah di Gedung Sate.
Jumlah kasus pelanggaran HAM yang disuarakan terus meningkat. Di Kota Bandung khususnya, pegiat-pegiat Aksi Kamisan Bandung menyoroti penggusuran yang marak terjadi, yang terbaru pengosongan secara paksa rumah di Jalan Laswi. Sebelumnya, penggusuran menimpa warga Anyer Dalam, Tamansari, Kampung Kolase.
Penggusuran dan pelanggaran HAM dikhawatirkan akan terus terjadi di Bandung mengingat banyaknya kasus-kasus sengketa lahan. Di antaranya kasus sengketa hukum Dago Elos dan Cirapuhan melawan pengembang atau ahli waris.
Fay menyayangkan, Kota Bandung yang sempat dinobatkan sebagai kota ramah HAM. Dengan banyaknya kasus penggusuran, ia mempertanyakan penobatan kota ramah HAM ini.
“Apakah Bandung memang benar-benar layak disematkan menjadi kota ramah HAM, atau justru sebaliknya. HAM ini apa maksudnya, Hak Asasi Manusia atau ‘Hotel Apartemen dan Mal gitu’,” jelas Fay, kepada BandungBergerak.id.
Selain penggusuran, kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang publik Kota Bandung memiliki catatan hitam. Fay menyebut sejumlah kasus diskusi dan kegiatan perpustakaan yang dibubarkan.
Represi dari aparat dan pengusiran saat aksi maupun di media sosial juga kerap dirasakan oleh pegiat-pegiat Aksi Kamisan Bandung. Meski sakit merasakan pengusiran dan represi, pegiat Aksi Kamisan Bandung akan terus konsisten menyuarakan suara dan aspirasinya.
“Apalagi negara Indonesia mengklaim negara demokrasi dan negara hukum, harusnya suara-suara dari rakyat bukan dijawab dengan represi. Tapi harus dijadikan refleksi bagi mereka sendiri, bagaimana mereka mengeluarkan kebijakan yang memang urgensinya untuk rakyat, bukan kepentingan-kepentingan investasi atau kepentingan mereka sendiri,” ungkap Fay.
Baca Juga: Bandung Hari Ini: Setelah Deklarasi Kota HAM, lalu Apa?
PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan
PAYUNG HITAM #7: 9 Tahun Aksi Kamisan Bandung, Kota Kembang (masih) tidak Ramah HAM
Menyuarakan Isu Kekerasan Seksual
Pipeh, salah seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Telkom, kerap hadir pada Aksi Kamisan Bandung untuk menyuarakan perihal keresahan mereka sebagai perempuan, salah satunya mengenai isu-isu pelecehan dan kekerasan seksual.
Tujuannya turun ke jalan bukan untuk unjuk gigi maupun unjuk tangguh, melainkan memberikan kesadaran kepada masyarakat terutamanya kepada aparat dan pemerintah bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM harus diselesaikan.
“Mau berapa lama, mau berapa tahun untuk diselesaikan. Janji boleh berjanji tapi harus ada aksi. Kami yang berdiri sendiri sebagai orang yang sadar bahwa ini tidak benar. Kalau memang mereka merasa ini tidak sesuai dengan Pancasila, seharusnya mereka menyelesaikan. Karena itu tugas mereka tidak dilaksanakan. Berarti mereka melanggar. Kalian gak sadar nih, kami yang sadarkan kalian,” ungkap Pipeh.
Pipeh mengatakan, kasus-kasus terdahulu tidak terselesaikan sampai kasus-kasus pelanggaran HAM kembali terjadi, seperti penggusuran-penggusuran yang terjadi belakangan. Rakyat yang bersuara malah dibungkam. Menurutnya, negara yang antikritik seharusnya mengubah negara, jangan cuma mengklaim negara demokrasi.
Lebih khusus lagi, ia turun ke jalan untuk menyuarakan isu pelecehan seksual yang akhir-akhir ini makin marak. Isu ini harus terus digaungkan agar dirinya merasa aman dari ancaman kekerasan dan pelecehan seksual.
Menurutnya, kasus pelecehan seksual tidak memandang gender, artinya bisa terjadi kepada siapa saja. Pelecehan seksual pun bukan hanya ada di lingkungan pendidikan, tapi juga di lingkungan sosial, seperti di moda transportasi yang belakangan disoroti.
Pembacaan puisi menutup Aksi Kamisan Bandung yang berjalan hingga malam hari. Aul, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bandung (UMB), membacakan puisi favoritnya, “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta” karya WS. Rendra. Usai itu, peserta aksi berfoto bersama di bawah langit gelap dengan latar Gedung Sate.