• Kolom
  • Sialnya Kita Miskin, Bernadya Mungkin Tidak Merasakannya

Sialnya Kita Miskin, Bernadya Mungkin Tidak Merasakannya

Lagu Bernadya sekalipun tidak relevan dengan kelas bawah, ia mengajari juga cara bertahan hidup—lebih ke cara sadar diri sih—cara cepat untuk reda dari penderitaan.

Muhammad Akmal Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022

Ilustrasi. Besenandung atau menyanyikan lagi bisa dilakukan kapan dan di mana saja. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

27 September 2024


BandungBergerak.id - Berulang kali lagu Bernadya saya putar, berulang kali saya menyadari bahwa kesedihan adalah privilese yang harus direbut. Dan sayangnya, lagu-lagu dalam mini album Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan (2024) memperlihatkan betapa tangisan dan patah hati karena cinta hanya seolah menjadi milik kelas atas; untuk mereka yang memiliki waktu luang agar bisa bersedih lama di sudut kafe paling sunyi, merenungi buku-buku bacaan di perpustakaan, atau  mengingat antar jemput oleh mantan menggunakan mobil. 

Memang mungkin benar adanya lagu-lagu Bernadya tidak mewakili gen Z yang underprivileged dan harus menafkahi keluarga kecilnya. Lagu Bernadya juga tidak mewakili para buruh yang mati bak pahlawan tanpa nama dan hanya menjadi statistik angka. Bahkan, lagu-lagu Bernadya tidak akan dinyanyikan oleh ibu-ibu yang bekerja di pabrik berkaraoke ria melalui speaker bluetooth. Mereka lebih akrab dengan lirik lagu Jayanti sembari terus menuntut upah layak. 

Di atas ubin kemiskinan, lagu-lagu Bernadya justru bisa menjadi jeritan lapar dan penderitaan, betapa esok harus bekerja mencari uang sembari merasakan luka patah hati karena cinta. Namun tidak mungkin dalam waktu luang kita menyadari bahwa kita tersakiti, sementara saat bekerja justru tidak terasa apa-apa. 

Tapi Bernadya di mana-mana, di earphone yang bocor, di minimarket yang sepi, di kedai-kedai kopi, dan menjadi playlist abang-abang pergerakan. Posisi lagu-lagu yang disenandungkan perempuan bernama lengkap Bernadya Ribka Jayakusuma ini di platform Spotify  per 16 September 2024 berada di urutan tertinggi. Lagu Satu Bulan telah didengarkan sebanyak 135.665.564 kali, lagu Apa Mungkin sebanyak 138.940.228 kali, dan urutan terendah ada pada lagu Kini Mereka Tahu yang didengarkan 54.924.567 kali. 

Bernadya dan Patah Hati Yang Dijual  

Sampai saat ini, orang-orang termasuk saya masih mendengarkan Bernadya, dan memikirkan siapa yang menyakiti perempuan berusia dua puluh tahun ini sampai berdarah-darah. Ada yang berkelakar di akun X bahwa patah hati Nadya, mungkin sapaan akrab Bernadya, karena tumbuh dewasa di rezim Mulyono. Entah siapa Mulyono itu, ndak tau kok tanya saya?

Bahkan ada orang yang rela menjadi volunteer untuk mencarikan siapa sosok yang menyakiti Bernadya. Bagaimana bila posisi Bernadya yang mengeksploitasi patah hati dan kita membelinya? 

Seperti cerita juru tangis di zaman China  Kuno yang dijelaskan oleh Goenawan Mohamad dalam Li Changgeng, Marx, dan Uang di dalam buku Uang Seni & Tawa Perspektif Filsafati (2019), bahwa duka cita yang dijadikan komoditas, menangis ditukar menjadi uang. 

Li Changgeng, kata Goenawan Mohamad, dari sejak umur 12 tahun sudah bekerja sebagai juru tangis. Ia menceritakan bagaimana raungan lama bisa dilakukan sesusai pesanan. Menurut Goenawan Mohamad, duka cita menjadi emosi yang diobjekkan. Diletakkan sebagai sesuatu yang bukan lagi bagian dirinya, melainkan bagian kehidupan orang lain yang membelinya, yang mempunyai uang. 

Dalam hal ini, mungkin bisa jadi ini hanya praduga atau suudzon saya saja, Bernadya meletakkan patah hati sebagai objek yang harus kita beli dengan mendengarkan di berbagai platform musik atau membeli tiket dan menonton konsernya.

Tapi patah hati bukan persoalan yang mudah. Dalam artikel yang telah ditinjau oleh Fadhli Rizal Makarim dalam Patah Hati karena Putus Cinta Bisa Berdampak pada Kesehatan dimuat di halodoc dijelaskan, bagaimana patah hati bisa memberikan efek negatif seperti benar-benar menyakitkan. 

Otak mencatat rasa sakit emosional akibat patah hati dengan cara yang sama seperti rasa sakit fisik. Saat terjadi sakit hati, hormon patah hati berperan karena tubuh menghasilkan banyak hormon tiap hari untuk tujuan berbeda. 

Untuk itu, kita perlu pulih dan sembuh seiring berjalannya waktu. Dan itu harus kita rebut di tengah biaya kesehatan yang tidak murah, termasuk kesehatan mental kita.  Sebagaimana dikatakan oleh Guru Besar Fakultas Farmasi Unpad Irma Melyani Puspitasari, dalam estimasi tahunan biaya kesehatan jiwa di Indonesia mencapai 87, 5 triliun rupiah. 

Akan tetapi, Irma mengatakan estimasi biaya ini akan lebih rendah dikarenakan tidak semua individu dengan gangguan mental di Indonesia mencari pertolongan untuk kondisinya atau patuh berobat. Berdasarkan data Riskesdas dilaporkan hanya sembilan persen pasien depresi di Indonesia yang mendapatkan pengobatan. 

“Hal ini mungkin terjadi karena pengetahuan tentang kesehatan jiwa yang kurang baik, sikap negatif terhadap pengobatan, efek samping pengobatan, efek terapeutik yang buruk, serta adanya stigma di masyarakat,” ujar Irma, diakses, Senin, 16 September 2024. 

Baca Juga: Perginya Seniman Sleborz Mufti Priyanka Amenkcoy
Para Buruh Menuntut Peningkatan Kesejahteraan dalam Peringatan May Day
Napak Tilas Rumah Proklamasi Milik Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok

Mari Rebut Bahagia!

Lagu Bernadya sekalipun dikatakan tidak relevan dengan kelas bawah, ia mengajari juga cara untuk bertahan hidup—lebih ke cara sadar diri sih—cara cepat untuk reda dari kesedihan paling dalam, cara selamat dari tenggelam di palung samudra penderitaan. Bernadya mengajak kita untuk merebut bahagia meski harus menangis sedikit. Lagu “Untungnya, Dunia Masih Berputar” mengajak kita untuk melihat segala dengan akal sehat. Mari kita simak penggalan liriknya:  

Untungnya ku pakai akal sehat 

Untungnya hidup terus berjalan 

Untungnya ku bisa rasa 

Hal-hal baik yang datangnya belakangan 

Untungnya untungnya hidup harus tetap berjalan

Tidak beruntung hidup di bawah bayang-bayang ketakutan dan kecemasan, kalut-kalut patah hati yang membuat kita terperosok dalam jurang sedih. Kita punya akal sehat untuk cepat-cepat sadar, kita harus menghadapi hidup meski chaos dan menciptakan cinta yang membebaskan. Seperti yang dituliskan oleh Hêlîn Asî dalam Menemukan Cinta Revolusioner di Dunia Keterasingan yang Mendalam, Cinta di Lemari Keinginan Terakhir (Unknown People, 2020) bahwa mencintai dan merasakan bahagia harus memahami dengan sadar untuk mengubah diri sendiri dan masyarakat. 

Dan cinta adalah kekuatan yang lebih kuat ketimbang amarah, ketakutan, atau kebencian. Mari kita rebut bahagia, rebut cinta, rebut kebebasan sekarang juga, di dunia yang masih berputar dan hidup tetap harus berjalan.

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Musik

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//