• Cerita
  • Napak Tilas Rumah Proklamasi Milik Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok

Napak Tilas Rumah Proklamasi Milik Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok

Djiauw Kie Siong meminjamkan rumahnya di Rengasdengklok kepada para pemuda yang menculik Bung Karno dan Bung Hatta. Di rumah ini naskah proklamasi dituliskan.

Janto di Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong, Sabtu, 20 April 2024. Rumah ini menjadi saksi bisu peristiwa penculikan Rengasdengklok oleh para pemuda, 15 Agustus 1945. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah27 April 2024


BandungBergerak.id - Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong masih mempertahankan keaslian bangunanya, dinding rumah terbuat dari kayu-kayu yang disusun rapi dicat hijau dan beralaskan ubin-ubin batu alam. Rumah ini menjadi saksi bisu peristiwa penculikan Rengasdengklok terhadap Bung Karno dan Bung Hatta oleh para pemuda 15 Agustus 1945.

Untuk sampai ke rumah ini kita akan melewati gerbang pigura jalan bergambarkan bapak proklamator Sukarno dan Muhammad Hatta di Dusun Kalijaya I RT 01 RW 009 Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Di dinding sekitar gapura bertebaran tulisan-tulisan yang membakar semangat dan gambar-gambar yang sudah pudar beberapa tokoh pemuda mulai dari Sukarni, Wikana, Singgih, dan kawan-kawan yang dikenal pemuda Menteng 31.

Para pemuda menculik Sukarno dan Hatta di zaman revolusi untuk menghindari interversi Jepang. Sukarni dan kawan-kawan membawa Sukarno dan Muhammad Hatta ke rumah Rengasdengklok milik Djiaw Kie Siong, petani dan tokoh setempat yang rela meminjamkan rumahnya.

Di rumah ini para pemuda menuntut kedua tokoh penting revolusi tersebut agar memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa penculikan ini bertepatan dengan bulan puasa.

“Sehabis sahur diculik oleh mas Singgih dan kawan-kawan, tujuannya mau merdeka tidak mau kepimpinan oleh Jepang,” kata Janto, cucu ketiga dari generasi Djiauw Kie Siong, begitu semangat saat ditemui BandungBergerak, Sabtu, 20 April 2024.

Janto menempati rumah bersejarah yang dinaungi Yayasan Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong ini bersama istrinya. Baginya tinggal di rumah ini sebagai amanah yang sangat berat. Terlebih hampir setiap hari mereka menerima kunjungan wisatawan atau peneliti yang datang dari berbagai penjuru negeri. 

“Babah Djiaw pernah berwasiat, keluarga yang menempati rumah bersejarah itu harus bersabar. Tak dibolehkan merengek minta-minta sesuatu kepada pihak mana pun. Bahkan, harus rela setiap hari menunggui rumah mereka demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa Indonesia,” demikian keterangan resmi Yayasan Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong.

Baca Juga: Bagaimanakah Warga Bandung Mengetahui Indonesia Merdeka?
Proklamasi, Sebulan kemudian di Bandung Anarki
Bandung di Masa Bersiap Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong, Sabtu, 20 April 2024. Rumah ini saksi bisu peristiwa penculikan Rengasdengklok terhadap Bung Karno dan Bung Hatta oleh para pemuda, 15 Agustus 1945. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong, Sabtu, 20 April 2024. Rumah ini saksi bisu peristiwa penculikan Rengasdengklok terhadap Bung Karno dan Bung Hatta oleh para pemuda, 15 Agustus 1945. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Rumah Proklamasi

Di bagian atas pintu masuk rumah kita akan melihat bendera merah putih tertempel dengan burung garuda di bawahnya bertuliskan “Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong”. Foto pemilik rumah Djiaw Kie Siong ada di ruang tamu. Di sebelah kiri dan kanan ruang tamu terdapat kamar yang berhadap-hadapan.

Salah satu kamar pernah ditempati Sukarno dan Fatmawati bersama Guntur Sukarnoputra yang waktu penculikan masih bayi. Di sana terdapat ranjang besi kuno berhias kelambu putih untuk menjaga dari gigitan nyamuk. Tata letak kamar ini tidak pernah berubah dari posisi peristiwa penculikan. Kamar bekas Bung Hatta pun demikian, dihiasi kelambu  putih, ranjang kuni, dan tirai berwarna putih di bagian jendela.

Di masing-masing kamar terdapat banyak foto dan cindramata dari pengunjung, beberapa foto tokoh dan publik figur juga menjadi hiasan kamar. Sebagain dokumentasi kedatangan mereka tersimpan di sebuah lemari.

Di rumah ini perumusan naskah proklamasi dibahas, dipersiapkan, dan ditulis. Sejak tanggal 15 Agustus 1945 para pejuang yang dimotori orang muda sudah mengibarkan bendera. “Bendera merah putih sudah dikibarkan di Monumen Kebulatan Tekad itu kan pos PETA,” ujar Janto.

Kamis, 16 Agustus 1945, proklamasi rencananya akan dibacakan. Rencana ini batal setelah datang rombongan Ahmad Subardjo. Mereka kemudian membawa Bung Karno dan kawan-kawan ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56.

Kamar di Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong, Sabtu, 20 April 2024. Rumah ini saksi bisu peristiwa penculikan Rengasdengklok terhadap Bung Karno dan Bung Hatta oleh para pemuda, 15 Agustus 1945. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Kamar di Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong, Sabtu, 20 April 2024. Rumah ini saksi bisu peristiwa penculikan Rengasdengklok terhadap Bung Karno dan Bung Hatta oleh para pemuda, 15 Agustus 1945. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Saat menempati rumah ini, Bung Karno berumur 44 tahun dan Muhammad Hatta 43 tahun. Djiauw Kie Siong sendiri sudah berumur 65 tahun. Babah Djiauw lahir sekitar tahun 1880 di Karawang. “Untuk bulannya (kelahirannya) saya engga tahu,” kata Janto.

Rumah Djiauw Kie Siong semula berada di pinggiran Sungai Citarum. Sungai terpanjang di Jawa Barat ini nyaris mengikis rumah. Pada 1957 rumah ini dipindahkan sekira 150 meter dari tempat aslinya ke Kampung Bojong, Rengasdengklok.

Her Suganda dalam buku Peristiwa Rengasdengklok (2013) mengatakan, rumah Kie Siong adalah rumah paling bagus dibanding rumah-rumah penduduk lainnya. Dipenuhi oleh tanaman dan pohon mangga.

Suasana banjir sebelum tahun 1970-an mengakibatkan rumah Kie Siong tak mungkin bisa dipertahankan. Banjir hebat melanda daerah tersebut dikarenakan tanggul Sungai Citarum Jebol. Air sungai meluap melebihi kapasitas tampung menggerus bantaran di sisi timur palung sungai.

“Khawatir rumahnya ambruk. Kie Siong memindahkan kerangka bangunannya dibantu penduduk setempat,” tulis Her Suganda.

Orang-orang terdekat menyarankan Kie Siong agar mempertahankan bentuk asli rumahnya. Kesadaran ini muncul secara alami, dari naluri tentang pentingnya mempertahankan sejarah. “Padahal mereka bukan berasal dari orang-orang yang berpendidikan tinggi atau terpelajar. Selain itu, pada saat itu bisa dibilang kesadaran melestarikan bangunan bersejarah sebagai cagar budaya masih sangat terbatas,” jelas Her Suganda.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artiikel lain tentang Revolusi Indonesia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//