• Berita
  • Peran Terlupakan Kesusastraan Tionghoa di Peta Sastra Indonesia

Peran Terlupakan Kesusastraan Tionghoa di Peta Sastra Indonesia

Sebagian besar karya sastra yang diterbitkan Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu Tinggi oleh orang-orang Tionghoa Indonesia.

Diskusi Mengungkap Jejak Tersembunyi Peran Kebangsaan Tionghoa dalam Kesusastraan Indonesia di Gedung Graha Surya Priangan, Bandung Kulon, Bandung, Sabtu, 12 Oktober 2024. (Foto: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah/BandungBergerak)

Penulis Reihan Adilfhi Tafta Aunillah 15 Oktober 2024


BandungBergerak.idPerkembangan kesusastraan di nusantara tentu tak bisa terlepas dari kontribusi etnis-etnis yang ada di Indonesia. Mulai dari Sunda, Jawa, sampai Tionghoa. Akan tetapi, jejak-jejak dari kontribusi sastrawan Tionghoa terkadang luput dari pembicaraan masyarakat. Seakan-akan tersembunyi di bawah tanah.

Hal tersebut sangat memprihatinkan, mengingat bahwa jumlah karya yang dihasilkan dalam bahasa Melayu Tinggi oleh orang Tionghoa-Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan karya-karya penulis non-Tionghoa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. 

Sabtu, 12 Oktober 2024, diskusi untuk menggali jejak-jejak yang tersembunyi kesusastraan Tionghoa di nusantara diselenggarakan oleh Museum Sejarah dan Kebudayaan Tionghoa Indonesia YDSP, dengan tajuk “Mengungkap Jejak Tersembunyi: Peran Kebangsaan Tionghoa dalam Kesusastraan Indonesia”, di Gedung Graha Surya Priangan, Bandung Kulon, Bandung.

Acara tersebut berkoloborasi dengan beberapa institusi, di antaranya adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Institut Nalar Jatinangor, dan Universitas Kristen Maranatha. Diskusi dipimpin oleh Kyai Matdon dari Majelis Sastra Bandung dengan 4 pembicara, yaitu Nenden Lilis Aisyah, Hikmat Gumelar, dan Livia Vasantadjaja.

Sejarah Perkembangan

Nenden Lilis Aisyah membuka diskusi dengan membahas kategori-kategori kiprah peranakkan Tionghoa dalam kesusastraan Indonesia. Ia membaginya menjadi 3, yaitu Sastra Melayu Tionghoa, Sastra Etnik Tionghoa-Indonesia, dan terakhir Sastra Indonesia Tionghoa.

Sastra Melayu Tionghoa adalah karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu oleh kaum peranakkan Tionghoa pada sekitar abad ke-19. Bahasa Melayu yang digunakannya adalah Melayu Pasar, yang oleh pemerintah kolonial diistilahkan bahasa Melayu Rendah.

“Para sejarawan sastra Indonesia, seperti antara lain Jakob Sumardjo, kerap menyebut sastra yang ditulis oleh kaum peranakan Tionghoa dalam bahasa Melayu Pasar sebagai ‘Perintis Sastra Indonesia’,” ujar Nenden.

Sedangkan sastra etnik Tionghoa-Indonesia adalah karya-karya sastra yang ditulis oleh kaum peranakan Tionghoa dalam bahasa etnis mereka, yaitu bahasa Mandarin. Karya-karya sastra dari kategori ini mulai dapat dinikmati oleh pembaca sastra Indonesia pada masa reformasi. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh beberapa penerjemah seperti Wilson Tjandinegara.

Walaupun karyanya dalam bahasa Mandarin, Nenden tidak sepakat karya-karya tersebut sastra diaspora, dan lebih setuju jika karya-karya tersebut disebut sastra etnik. Hal tersebut dikarenakan karya-karya berbahasa Mandarin dibuat oleh Warga Negara Indonesia (WNI), bukan Warga Negara Asing (WNA).

Kategori terakhir ialah sastra Indonesia-Tionghoa. Arti dari istilah ini ialah karya-karya sastra yang ditulis peranakan Tionghoa langsung dalam bahasa Indonesia. Nenden menyebutkan bahwa para sastrawan Tionghoa di masa sebelumnya menurun pada sastrawan Tionghoa di masa kini. Bedanya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.

“Sebagai contoh, kita mengenal Kho Ping Hoo atau Asmaraman dalam tradisi cerita silat atau wuxia. Sedangkan dalam tradisi sastra yang ditulis oleh perempuan kita mengenal Wira W. Atau Mira Wijaya,” ujar Nenden.

Setelah Nenden, ada Livia Vasantadja yang memfokuskan diskusi mengenai jejak etnis Tionghoa dalam kesusastraan Indonesia setelah Kemerdekaan Indonesia. Khususnya setelah tahun 1965.

Livia memulai dengan fenomena-fenomena yang terjadi dari penulis-penulis Tionghoa. Pertama, ada cerita silat atau yang biasa disebut cersil yang hadir di tengah pembaca Indonesia sejak tahun 1950. Karya-karya cersil pada tahun tersebut hadir karena adanya upaya dari para penerjemah pada saat itu.

“Penulis cersil Indonesia yang terkenal itu ada Kho Ping Hoo. Ia banyak menulis Cersil bahasa Indonesia yang terinspirasi dari cersil-cersil terjemahan Tiongkok,” ujar Livia.

Fenomena yang kedua ialah penulis perempuan dan novel perempuan. Fenomena tersebut terjadi dalam tahun 1970-1980an, dan biasa genre novel populer. Karya-karyanya identik dengan pembaca perempuan dan sering bertema kehidupan perkotaan, mahasiswa kedokteran, kisah percintaan. Adapun pengarang-pengarangnya ialah Marga T., Mira W., S. Mara Dg, V Lestari.

Terakhir ada fenomena tema perjuangan dan nasionalisme. Livia memberi contoh karya yang memiliki tema tersebut. Salah satunya adalah Sinyo Sipit karya Basoeki Soejatmiko, cerita bersambung yang dimuat di Harian Jawa Pos dari 29 Desember 1985 sampai 18 Maret 1986.

Baca Juga: PROFIL DOSEN: Yulianeta, Guru Besar Sosiologi Sastra, Ingin Mendekatkan Sastra ke Masyarakat
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #4: Sastra Perlawanan
GEOGRAFI INGATAN (27): Silaturahmi Sastra Sunda

Sebuah Proses Dekolonisasi

Selain Nenden dan Livia, ada juga Hikmat Gumelar selaku pembicara ketiga dalam diskusi tersebut. Ia mengungkapkan bahwa membaca Kesusastraan Melayu Tionghoa adalah salah satu langkah dekolonisasi, yang membantu Indonesia menjadi bangsa yang dicita-citakan.

Pada era kolonial Eropa, kolonisasi didorong oleh kebutuhan tenaga kerja dan eksploitasi alam, serta pemaksaan pola pikir penjajah kepada kaum terjajah yang membentuk hegemoni intelektual. Tak terkecuali kontrol paksa budaya.

“Dari situlah, antara lain, terbit kebijakan untuk mendirikan Volklekstuur atau Balai Pustaka,” ujar Hikmat, berpendapat bahwa Balai Pustaka memaksakan penggunaan bahasa Melayu versi Riau dikontrol ketat, sementara sastra yang tidak sesuai disebut “sastra liar” dan ditekan.

Sastra Melayu Tionghoa, yang berkembang pesat terutama melalui pers ada pertengahan abad ke-19, dianggap mengancam kolonialisme. Lebih dari 3.000 karya oleh 806 penulis dalam kurun waktu 1870-1960 dihasilkan.

Menurut Hikmat, karya-karya sastra tersebut membangun jembatan antaretnis dan agama, serta menyentuh isu-isu kemanuisaan. Seperti karya-karya dari Thio Tjin Boen dan Kwe Tek Hoay yang menyoroti interaksi antar komunitas dan isu sosial.

Dari hal tersebut, identitas bangsa yang melintasi batasan-batasan kolonial mulai terbentuk, dan kesusastraan Melayu Tionghoa berperan dalam proses pembentukan identitas nasional yang dinamis dan terus berkembang.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Reihan Adilfhi Tafta Aunillah, atau artikel-artikel lain tentang Kesusastraan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//