• Riset
  • PROFIL DOSEN: Yulianeta, Guru Besar Sosiologi Sastra, Ingin Mendekatkan Sastra ke Masyarakat

PROFIL DOSEN: Yulianeta, Guru Besar Sosiologi Sastra, Ingin Mendekatkan Sastra ke Masyarakat

Sastra lahir dari masyarakat dan seharusnya dekat dengan masyarakat. Realitasnya, sastra dipandang begitu tinggi dan tidak membumi.

Yulianeta (kedua dari kiri atas) saat menjadi narasumber di konferensi Sastra Anak Bang Jung Hwan Conference di Seoul. (Foto: Dokumentasi Yulianeta)

Penulis Tofan Aditya10 Juni 2024


BandungBergerak.idDalam narasi sejarah kesusastraan Indonesia, hampir selalu ada pelabelan dan pembredelan buku di dalamnya. Sekalipun dengan alasan yang berbeda, hampir semuanya memiliki maksud yang sama: mengendalikan masyarakat agar tidak bertentangan dengan ideologi pemerintah yang berkuasa.

Di masa kolonial, pemerintah mendirikan Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat) untuk menyeleksi dan mengawasi bacaan-bacaan dari penerbit yang ada kala itu. Komisi ini berkembang pesat hingga memerlukan kantor sendiri. Lalu, dibentuklah Kantoor voor de Volkslectuur yang dinamai Balai Pustaka. Kehadiran Balai pustaka, sebagai penerbitan resmi pemerintah, dijadikan alat untuk membendung bahkan menyetop peredaran buku-buku yang dianggap meracuni masyarakat.

Karya-karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka dan tidak se-ideologi dengan pemerintah Belanda kemudian dicap sebagai bacaan liar. Dalam pandangan pemerintah kala itu, bacaan liar dianggap tidak sesuai untuk perkembangan kebudayaan masyarakat jajahan. Hal tersebut dikarenakan bacaan liar banyak menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan.

Satu riset yang membahas bacaan liar pernah diteliti oleh Yulianeta dengan judul “Cap Bacaan Liar pada Novel Propaganda Politik”. Riset ini pertama terbit di Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra pada tahun 2008. Dalam riset ini, Yulianeta melihat beberapa buku seperti Student Hidjo dan Rasa Merdika karya Mas Marco Kartodikromo serta Hikayat Kadiroen karya Semaoen dibredel karena berisikan kritikan terhadap pemerintah kolonial Belanda dan ideologi komunis (marxisme).

“Meskipun karya sastra tetap karya fiksi, tetapi isinya merupakan gambaran sosial masyarakat pada saat karya tersebut diciptakan dan tidak selayaknya dipinggirkan serta tidak pernah disinggung dalam pembelajaran sastra di sekolah-sekolah,” tulis Yulianeta dalam penelitian yang dipresentasikan di Konferensi Hiski tersebut.

Dalam wawancara daring pada Sabtu, 1 Juli 2024, Yulianeta menyampaikan bahwa riset ini bermula dari keprihatinan dirinya atas banyaknya pelabelan terhadap karya sastra. Dosen program studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini melihat banyak sekali karya-karya sastra Indonesia yang sebenarnya memiliki nilai yang penting untuk dibaca. Tapi sayangnya, ketika pemerintah yang berkuasa antikritik, karya-karya tersebut malah dianggap berbahaya. Beberapa bahkan dibatasi, dilarang, dan diberangus keberadaanya.

Jurnal pertama yang dituliskan Yulianeta ketika menjadi akademisi ini mengantarkan dirinya untuk semakin menyelami riset-riset lain di bidang sastra. Kebanyakan dari riset yang dirinya tulis memiliki tema yang hampir serupa: hubungan antara sastra dan masyarakat. Dari ketekunan dirinya meneliti topik-topik seperti ini, Yulianeta akhirnya mendapatkan Surat Keputusan Guru Besar di bidang sosiologi sastra pada 1 April 2023.

“Saya ingin mendekatkan sastra itu ke masyarakat, dengan cara yang saya bisa. Jadi tidak hanya terbatas pada kajian tapi juga mengolah sastra itu, sebagai warisan budaya itu, bisa bermanfaat untuk hari ini,” harap perempuan yang juga mengajar di program magister Pendidikan BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) SPs UPI.

Yulianeta,  Guru Besar Sosiologi Sastra Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). (Foto: Dokumentasi Yulianeta)
Yulianeta, Guru Besar Sosiologi Sastra Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). (Foto: Dokumentasi Yulianeta)

Rekam Jejak dan Pemikiran

Yulianeta lahir di Sragen, 13 Juli 1975. Sejak kecil ia memang sudah tertarik untuk membaca buku. Ia ingat betul, buku pertama yang dibaca sampai tuntas berjudul “Gema Tanah Air” karya H. B. Jassin. Buku itu dipinjam dari ayahnya, ketika masih duduk di kelas 1 atau 2 SD. Ketika itu, Yulianeta kecil membaca puisi Chairil Anwar berjudul “Semangat” (kini lebih dikenal dengan judul “Aku”). Berangkat dari situ, Yulianeta mulai tertarik membaca buku-buku lain dan tampil di acara kesenian. Kecintaannya akan dunia sastra mulai tumbuh.

Menginjak usia remaja, Yulianeta memilih berkuliah di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Meneruskan kecintaannya akan karya sastra. Lulus pada tahun 1998, Yulianeta mendapatkan beasiswa untuk langsung melanjutkan studi di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang.

Ketika menempuh gelar magister, novel Saman karya Ayu Utami menjadi perbincangan hangat di lingkaran sastra. Banyak kritikus yang memberikan komentar terhadap novel ini. Ada yang positif, ada pula yang negatif. Novel yang pertama kali terbit menjelang runtuhnya Orde Baru ini menceritakan peristiwa-peristiwa yang dianggap tabu di masyarakat dengan cara vulgar dan provokatif.

Yulianeta melihat bahwa Saman adalah realitas perempuan di hari ini. Perempuan yang hidup di dunia patriarki, mengalami marjinalisasi, dominasi, subordinasi, dan kekerasan dari laki-laki. Dalam karya sastra, Yulianeta melihat, alih-alih diposisikan sebagai subjek, perempuan justru cenderung diposisikan sebagai objek.

“Kalau mau digeneralisasi, presentase penggambaran positif perempuan itu masih belum seimbang. Artinya masih banyak gambaran negatifnya.  Jadi, perempuan yang tergantung laki-laki, perempuan yang tidak punya kesempatan mengenyam pendidikan,” ucap Yulianeta ketika mengamati karya-karya sastra dari era kolonial hingga reformasi.

Dari latar situasi tersebut, Yulianeta menjadikan Saman sebagai objek penelitian tesisnya. Dengan judul “Ideologi gender dalam novel Saman karya Ayu Utami”, Yulianeta melihat Ayu Utami, selaku pengarang, berusaha mereformasi kebudayaan patriarkis untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Berkat risetnya tersebut, Yulianeta mendapatkan gelar magister pada tahun 2002.

Mendalami novel Saman membuat Yulianeta semakin penasaran dengan tema-tema seputar perempuan dan gender. Ketika melanjutkan studi doktoral di Universitas Gajah Mada (UGM), Yulianeta mempublikasikan beberapa riset tentang tokoh-tokoh perempuan di dalam novel. Karya-karya pengarang besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Oka Rusmini, Anindita S. Tayf, dan Soe Tjen Marching tak luput dari perhatiannya.

Ketika merumuskan topik untuk disertasi, awalnya Yulianeta berencana mengangkat isu seputar representasi ronggeng dalam novel-novel Indonesia. Namun, setelah berdiskusi dengan promotor, ia memutuskan untuk mendalami kembali tesisinya soal ideologi gender di era reformasi. Ia menambah tujuh buku lain, baik karya perempuan dan laki-laki, yang merepresentasikan ideologi gender kala itu. Novel-novel tersebut antara lain Geni Jora karya Abidah El Khaleqy, Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma, Nayla karya Djenar Maesa Ayu, Putri Cina karya Sindhunata, Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf, Tempurung karya Oka Rusmini, dan Jatisaba karya Ramayda Akmal.

Dari delapan novel tersebut, Yulianeta melihat satu benang merah: perempuan masih terkungkung ideologi patriarki, familialisme, ibuisme, dan seksis. Di era tersebut, dominasi makskulitas dalam kebudayaan indonesia amat kentara. Para tokoh perempuan dalam novel-novel tersebut menegaskan pentingnya pendidikan perempuan dan mempertanyakan kembali ketidakadilan yang masih terjadi dalam budaya patriarkis.

“Tubuh merupakan ranah paling pribadi bagi perempuan. Novel-novel era reformasi mengeksplorasi perjuangan perempuan untuk memperoleh kemerdekaan atas tubuhnya,” tegas perempuan yang kini menjabat sebagai Wakil Dekan Akademik di FPBS UPI dalam simpulan disertasinya. “Para pengarang secara kritis menantang hegemoni ideologi patriarki dan menawarkan ideologi baru untuk menggantikan hegemoni lama.”

Baca Juga: RISET UPI: Perlawanan Perempuan terhadap Ketidaksetaraan Gender dalam Novel-novel Indonesia Era Reformasi
Surat Buat Toilet Sekolah
Surat buat Rengginang di Kaleng Khong Guan

Yulianeta,  Guru Besar Sosiologi Sastra Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). (Foto: Dokumentasi Yulianeta)
Yulianeta, Guru Besar Sosiologi Sastra Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). (Foto: Dokumentasi Yulianeta)

Jurusan Sastra Minim Sastrawan?

Sebelum menjadi Wakil Dekan Akademik di FPBS UPI, Yulianeta sempat menjabat sebagai Ketua Program Studi Bahasan dan Sastra Indonesia UPI. Ketika berada di posisi tersebut, Yulianeta mempertanyakan mengapa sangat sedikit karya sastra yang dimunculkan oleh mahasiswa jurusan sastra.

Penyebabnya bisa jadi beragam, tapi satu masalah yang dilihat Yulianeta adalah karena mahasiswa melulu dipaksa membuat skripsi sebagai syarat menyelesaikan studi. Padahal, mahasiswa memiliki potensi untuk membuat karya sastra, baik itu puisi, cerpen, maupun novel. Sayangnya, karena tidak adanya wadah untuk mengeksplorasi, mahasiswa yang aktif berkarya pun tidak muncul ke permukaan.

Menanggapi hal tersebut, Yulianeta mengusulkan agar memberikan ruang kepada mahasiswa untuk menciptakan karya sastra sebagai syarat kelulusan. Yulianeta yakin, satu masalah tidak harus diselesaikan dengan satu cara, katanya. Termasuk dalam hal ini masalah kelulusan mahasiswa.

Ketika dirapatkan di hadapan dosen-dosen, pro-kontra muncul. Beberapa dosen sepakat dengan apa yang diusulkan Yulianeta. Beberapa yang lain menganggap karya kreatif tidak ilmiah sehingga tidak layak sebagai syarat kelulusan.

“Padahal menulis karya sastra kan juga ilmiah. Kan harus berdasarkan riset. Nggak bisa nulis kalau nggak banyak baca, nggak bisa nulis kalau tanpa riset juga. Itu sifatnya ilmiah,” menanggapi kontra yang dilayangkan atas usulannya.

Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) semakin memantapkan Yulianeta bahwa karya kreatif adalah solusi yang tepat. Dia memberanikan diri mengajukan kepada Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan. Ternyata, apa yang diusulkan Yulianeta mendapat dukungan dari rektorat, juga pejabat-pejabat di fakultas lain.

Di tahun 2021, beberapa mahasiswa mencoba menyelesaikan studinya dengan karya kreatif. Yulianeta menyampaikan, kala itu memang belum ada petunjuk teknis yang jelas. Tapi dia berpikir, kalau tidak dicoba siapa pun tidak akan tahu hasilnya. Seiring waktu, program ini semakin mantap menemukan bentuknya.

Berjalan hampir tiga tahun, karya kreatif sudah mulai menghasilkan banyak lulusan. Beberapa di antaranya menghasilkan buku-buku dan diterbitkan oleh penerbit. Beberapa yang lain mencoba produk lain di luar buku, tapi masih berkaitan dengan sastra, film misalnya. Dari lulusan-lulusan tersebut, hampir semuanya bekerja sesuai dengan minatnya di bidang sastra.

“Karya-karya (kreatif) ini kalau diterbitkan kan malah mendekatkan sastra ke masyarakat, karena tidak berhenti sampai kajian itu. Kalau skripsi, masyarakat mana yang bisa menyentuh skripsi?” Tanya Yulianeta retoris. “Paling hanya temen-temen, dosen yang menguji, selebihnya disimpan di perpustakaan.”

Yulianeta (kedua dari kiri) saat menjadi narasumber kegiatan konferensi Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) bersama dosen dari NUS Singapore. (Foto: Dokumentasi Yulianeta)
Yulianeta (kedua dari kiri) saat menjadi narasumber kegiatan konferensi Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) bersama dosen dari NUS Singapore. (Foto: Dokumentasi Yulianeta)

Memasyarakatkan Sastra, Menduniakan Budaya Indonesia

Sastra lahir dari masyarakat, harusnya bisa dekat dengan masyarakat. Sebab, sastra adalah cerminan kehidupan. Tapi realitasnya, sastra justru dipandang begitu tinggi dan tidak membumi. Sampai-sampai, ada anggapan bahwa “sastra sebagai menara gading”.

Yulianeta mencoba banyak cara agar sastra bisa dinikmati oleh semua orang. Beberapa cara yang dilakukannya adalah dengan  mengenalkan sastra kepada orang-orang muda. Ada dua cara yang ia ditekuni hingga hari ini, yakni melalui kegiatan alih wahana dan mendongeng.

Yulianeta concern dalam membuat film, komik, dan karya-karya populer lain yang diambil dari cerita di manuskrip-manuskrip kuno. Beberapa karya yang sempat dibuat olehnya bersama teman-temannya adalah komik dan film animasi Petualangan Raja Kerang (2009), Gadjah Mada (2018), Diponegoro (2018), I La Galigo (2018),  Untung Surapati (2019), Tiga Ikan Bersaudara (2019), dan Panji Sang Pemersatu (2019).

“Sastra akan bisa hidup di masyarakat, apa pun bentuknya. Karena menurut saya, sastra sebagai simbol budaya itu cerminan masyarakat dan zaman,” ucap Yulianeta yang banyak terinspirasi dari pemikiran Pramoedya Ananta Toer dan Rumi.

Untuk aktivitasnya di dunia mendongeng, pada tahun 2021, Yulianeta pernah melatih 400 mahasiswa se-Indonesia. Bersama dengan tim FPBS, dalam kurun waktu tiga bulan, para mahasiswa itu diajarkan membuat dan menyampaikan storytelling multi bahasa. Hasilnya menarik, banyak lokalitas-lokalitas yang diangkat dengan menggunakan bahasa-bahasa yang dikuasai oleh mahasiswa. Ada yang menggunakan bahasa Inggris, Prancis, Arab, dan lain-lain. Bagi Yulianeta, hal ini bisa menjadi salah satu cara untuk mengenalkan budaya Indonesia ke kancah global.

Di beberapa kesempatan, Yulianeta sempat pula menjadi dosen tamu di beberapa universitas luar negeri. Beberapa universitas tersebut antara lain Nanzan University, Universitas Utara Malaysia, Universitas Kebangsaan Guangxi China, Moscow State University, SOAS University of London, dan Busan University of Foreign Studies.

Di universitas-universitas luar negeri tersebut, Yulianeta berkesampatan mengajar Bahasa Indonesia sekaligus mengenalkan budaya-budaya Indonesia. Dengan kompetensinya di bidang sastra, Yulianeta menjelaskan Indonesia lewat karya sastra.

Satu pengalaman menarik Yulianeta mengajar di luar negeri adalah ketika di SOAS University of London, UK. Selama di sana, Yulianeta banyak berdiskusi tentang budaya dan sastra Indonesia bersama mahasiswa. Yulianeta menyaksikan langsung bagaimana orang-orang di sana tertarik dengan karya-karya yang dituliskan oleh penulis Indonesia, seperti Pramoedya dan S. Rukiah.

“Ternyata ada mahasiswa (SOAS University of London) yang tertarik meneliti S. Rukiah,” cerita Yulianeta antusias. “Karena S. Rukiah itu salah satu penulis yang mendapat labeling, bahkan dia dituduh kiri. Sehingga dia dipenjarakan pada akhirnya, dan dia trauma tidak ingin menulis lagi.”

Sudah 19 tahun Yulianeta mengajar sebagai dosen di UPI. Sudah banyak pula penelitian dan pengabdian yang dirinya lakukan di bidang sastra. Pada Rabu (5 Juni 2024), bersama 10 dosen lain, prosesi pengukuhan Yulianeta sebagai guru besar telah digelar. Yulianeta tetap berharap, apa pun yang dirinya lakukan ke depan, dapat memberikan dampak yang lebih besar untuk masyarakat.

*Artikel ini terbit sebagai bagian dari program kerja sama

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya Tofan Aditya atau tulisan-tulisan lain tentang Sastra atau Novel

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//