RISET UPI: Perlawanan Perempuan terhadap Ketidaksetaraan Gender dalam Novel-novel Indonesia Era Reformasi
Novel-novel Indonesia di era reformasi banyak menampilkan dunia yang belum berpihak kepada perempuan. Tercermin dalam novel Saman karya Ayu Utami, dan lain-lain.
Penulis Tofan Aditya4 Juni 2024
BandungBergerak.id - Pada 12 Mei 1998, tepat 10 hari menjelang lengsernya Suharto, novel Saman karya Ayu Utami terbit dan langsung mencuri perhatian publik. Di situasi yang masih banyak mendapat tekanan, karya setebal 200-an halaman itu menyodorkan kebaruan dalam dunia kesusastraan Indonesia. Ayu Utami secara vulgar menyodorkan realitas agama, politik, gender, dan seksualitas lewat perspektif perempuan yang masih tabu di masyarakat saat itu.
Novel Saman bercerita soal hubungan antara Athanasius Wisanggeni (Saman) atau Awi, seorang aktivis buronan dan juga pastur katolik yang ditugaskan di Perabumulih, dengan empat perempuan bernama Yasmin Moningka, Shakuntala, Cokorda, dan Laila. Interaksi antarmereka memicu berbagai konflik dan dilema moral terkait cinta, kebebasan, dan konsekuensi dari pilihan yang mereka buat.
Dunia yang dibawa Ayu Utami memancing banyak perdebatan kritikus sastra. Tapi di luar kontroversinya, Saman mendapatkan penghargaan roman terbaik sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998. Selain itu, novel ini juga membawa Ayu Utami menerima penghargaan Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund. Sapardi Djoko Damono, salah satu juri DKJ kala itu, mengatakan bahwa Saman adalah “karya yang dahsyat dengan komposisi penulisan yang belum pernah dicoba sebelumnya oleh pengarang-pengarang Indonesia maupun negara luar”.
Seperti umumnya karya sastra, Saman adalah cerminan masyarakat dan perilaku manusia di suatu zaman. Novel ini secara vulgar merekam sekaligus menggambarkan bagaimana ideologi sosial, politik, dan gender pada era reformasi. Di samping itu, novel karya Ayu Utami ini juga hadir sebagai suara protes terhadap hegemoni ideologi gender yang tidak adil.
Selain Ayu Utami, banyak pula penulis, baik laki-laki dan perempuan, yang mengeksplorasi tema-tema seputar ideologi gender di era reformasi. Mereka menghadirkan beragam suara feminisme, dari yang liberal, radikal, hingga yang berbasis agama dan lokal. Mereka menyodorkan alternatif tawaran bagi pembaca untuk mengeksplorasi juga membentuk pemahaman terkait feminisme.
Salah satu penelitian tentang ideologi gender dalam novel-novel Indonesia di era reformasi adalah disertasi Yulianeta. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UPI ini mengkaji delapan novel yang terbit antara tahun 1998-2011. Delapan novel yang diteliti tersebut adalah Saman karya Ayu Utami, Geni Jora karya Abidah El Khaleqy, Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma, Nayla karya Djenar Maesa Ayu, Putri Cina karya Sindhunata, Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf, Tempurung karya Oka Rusmini, dan Jatisaba karya Ramayda Akmal.
Dengan menggunakan pisau analisis sosiologi sastra Gramscian berperspektif gender, Yulianeta membedah berbagai bentuk ideologi gender, peran gender dalam masyarakat, faktor-faktor pelanggeng ideologi gender, dan manifestasi ketidakadilan gender serta perlawanannya dalam novel era reformasi. Lewat analisis narasi dan dialog di delapan novel tersebut, peneliti menghadirkan alternatif referensi bagi publik untuk memperluas perspektif yang berkaitan dengan wacana ideologi gender.
Bentuk Ideologi Gender di Novel-novel Indonesia Era Reformasi
Gender bukan kodrat, bukan sesuatu yang dibawa manusia sejak lahir. Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial, politik, dan budaya. Sebagai sebuah ideologi, gender merupakan sistem pemikiran yang membentuk karakteristik, sikap hidup, dan tingkah laku yang menentukan sistem ekonomi dan politik suatu negara serta keseharian yang dijalani sebagai norma dan nilai.
Di era reformasi, maskulinitas masih mendominasi cara hidup masyarakat Indonesia. Perempuan diposisikan sebagai makhluk kelas dua (second sex). Kaum laki-laki mendominasi, mensubordinasi, dan mendiskriminasi kaum perempuan. Dalam analisis Yulianeta terhadap delapan novel yang ada, setidaknya ada empat ideologi gender yang merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia, yakni patriarkisme, familialisme, ibuisme, dan seksisme.
Peran perempuan yang inferior, tersubordinasi, dan terpinggirkan adalah karakteristik dari ideologi patriarki. Kerentanan perempuan seperti demikian dapat dilihat dari novel Putri Cina. Ketika Putri Cempa (Pemaisuri Prabu Prawijaya Kelima) cemburu dengan kehadiran Putri Cina (selir), Prabu Brawijaya memilih menceraikan Putri Cina. Putri Cina yang dalam konteks itu memilih bungkam menjadi contoh berlakunya sistem patriarki berdasarkan aspek politik dan ekonomi.
Untuk ideologi familialisme, sosok Bu Barla dalam novel Tempurung adalah contoh bagaimana perempuan selalu dilekatkan dengan peran ibu rumah tangga, istri yang baik, dan ibu yang baik. Bu Barla bekerja di sektor publik dan domestik, pencari nafkah sekaligus pengurus keluarga. Sekalipun suaminya pengangguran, di hadapan para tetangga, Bu Barla berpura-pura suaminyalah yang bekerja.
“Di hadapan para tetangga, Bu Barla berhasil menutupi keburukan suaminya demi menjaga keutuhan rumah tangganya. Bahkan di hadapan anak-anaknya sendiri, Bu Barla selalu menempatkan suaminya di posisi tinggi agar mereka tetap menaruh hormat pada sosok ayah,” terang Yulianeta, dalam disertasi yang terbit 2016.
Penempatan perempuan dalam ranah domestik, sebagai ibu rumah tangga, cenderung merepresentasikan perempuan sebagai pelayan dibandingkan orang yang punya kuasa. Ideologi ibuisme mengamini tindakan apa pun yang dilakukan perempuan tidak perlu mengharapkan kekuasaan. Ideologi ini lahir dari kombinasi antara nilai borjuis kecil Belanda dan nilai tradisional priayi.
Dalam novel Saman, tokoh Shakuntala adalah gambaran perempuan yang tidak punya kuasa atas tubuh. Sebagai seorang penari, Shakuntala hanya dijadikan sebagai objek seksual pemuas hasrat laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari kekerasan hak asasi manusia pun enggan diakui.
“Si penari tak lagi merayakan tubuhnya. Tubuh itu bukan miliknya lagi. Seperti seorang istri yang tidak memiliki badannya,” kutip Yulianeta dalam novel Saman karya Ayu Utami.
Perempuan juga kerap diharuskan berlaku feminim: lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Peran tersebut menekankan pemingitan dan pengucilan perempuan. Dalam ideologi seksis semacam ini, perempuan diharuskan mengurus sektor domestik, tanpa boleh mengurus sektor publik.
Dalam novel Tanah Tabu, tokoh Mabel mencoba menyuarakan kritik terhadap ideologi seksis yang diamini masyarakat. Di salah satu kutipan, penulis menggambarkan bagaimana orang-orang bermata biru lebih senang terhadap kelincahan dan keberanian dibandingkan tutup mulut dan berlaku manis.
“Para pengarang novel era reformasi memberikan kontribusi penting dalam merespons dan merefleksikan dinamika ideologi gender dalam masyarakat. Mereka tidak hanya menggambarkan realitas yang ada, tetapi juga berperan aktif dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan merespons perubahan-perubahan sosial yang terjadi,” tulis Yulianeta.
Faktor-faktor Pelanggeng Ideologi Patriarki
Peran perempuan Indonesia yang sempit, terbatas, dan penuh stereotip tentu tidak terjadi dalam kurun waktu sesaat. Ideologi gender lahir dari sistem kepercayaan gender (gender believe system), tentang bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya.
Sistem kepercayaan gender dilanggengkan oleh beberapa faktor, antara lain tafsir agama, budaya etnik, ekonomi, pendidikan, politik, media massa, dan rezim yang berkuasa. Lewat novel-novel Indonesia di era reformasi, dapat disaksikan bagaimana faktor-faktor tersebut ikut andil sebagai penyebab perempuan mengalami ketidakadilan, marjinalisasi, dan dominasi.
Dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno Gumira Ajidarma menampilkan tafsir agama sebagai faktor pelanggeng ideologi patriarki. Perempuan dijadikan simbol kekuasaan para dewa. Kesaktian para dewa dilambangkan dengan memiliki perempuan yang cantik, lemah gemulai, dan menawan. Novel ini menampilkan bagaimana Para Dewa menghadiahkan Dewi Indradi atas pencapaian Resi Gotama dalam bertapa.
“Nilai-nilai agama yang termaktub dalam kitab suci menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari. Meski demikian, interpretasi patriarkal dalam menafsir kitab suci kerap digunakan untuk merasionalisasikan subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan,” jelas perempuan yang menjadi dosen di UPI sejak tahun 2005.
Budaya etnik sebagai faktor pendukung ideologi gender dapat tercermin dari penggambaran perempuan suku Dani di Papua dalam novel Tanah Tabu. Belenggu “takdir perempuan suku Dani” mengharuskan perempuan yang telah menikah berperan sebagai istri dan ibu merangkap pengurus rumah serta pengelola kebun dan babi.
Faktor ekonomi adalah hal yang sangat penting dalam pelanggengan ideologi. Novel Jatisaba menggambarkan bagaimana perempuan tidak memiliki pilihan lain selain mengamini ideologi patriarki. Konstruksi identitas sebagai pekerja rumah tangga, baby sitter, dan TKW memasukkan perempuan dalam satu kotak profesi berbalut diskriminasi gender dan kelas.
“Ketika tubuh “wanita karier” dianggap penting dan menarik karena secara langsung merepresentasikan profesionalisme budaya korporat, tubuh-tubuh kelas bawah luput dari perhatian dan bahkan tidak mendapatkan hak-hak yang layak,” tulis Yulianeta.
Faktor pendidikan juga memiliki andil besar dalam sebuah ideologi. Dalam novel Nayla, sekolah (tempat rehabilitasi narkoba) hanya mengajarkan perempuan untuk terampil di sektor domestik. Tidak ada pembekalan bagi perempuan agar dapat berpikir kritis dan berdikari di sektor ekonomi.
Dunia wayang dalam novel Kitab Omong Kosong menampilkan bagaimana faktor politik membangun sistem yang tidak berpihak kepada perempuan. Laki-laki menjadi pengambil keputusan dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan tidak memiliki wewenang mengambil keputusan, termasuk keputusan menentukan jalan hidup sendiri. Tokoh-tokoh seperti Maneka dan Dewi Tara hanya bisa pasrah ketika garis hidupnya dituliskan oleh Walmiki.
Media massa di era reformasi cenderung mensoliasikan ideologi gender dominan. Interview dan headline yang ditulis wartawan ihwal tokoh Nayla jadi cermin gamblang yang menegaskan patriarki sebagai ideologi dominan.
Terakhir, adalah faktor rezim yang berkuasa. Dalam novel Tanah Tabu, Anindita S. Thayf menampilkan bagaimana pemerintah Indonesia melakukan pemiskinan terhadap daerah-daerah tertentu, dalam hal ini Papua. Perempuan Papua dipaksa tunduk terhadap rezim. Perempuan Papua tidak memiliki kesempatan untuk memilih nasib sendiri.
“Di tengah upaya perempuan untuk membebaskan diri dari penindasan, ruang sosial menjadi kompleks. Di satu sisi, ruang tersebut memberi kesempatan bagi individu untuk menyuarakan aspirasi dan keinginan mereka. Namun, di sisi lain, ideologi patriarki dalam berbagai bentuknya terus berusaha dihidupkan kembali dengan mengatasnamakan atribut tradisional atau keagamaan,” kritik Yulianeta.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Novel Bekisar Merah dan Sensasi Drama Korea ala Ahmad Tohari
Membedah Novel Gadis Pantai, Pergulatan Perempuan dalam Belenggu Budaya Maskulin di Masa Lalu dan Kini
RESENSI BUKU: Pramoedya Menggugat Praktek Feodalisme dalam Novel Gadis Pantai
Perlawanan atas Hegemoni Ketidakadilan Gender
Novel-novel Indonesia di era reformasi banyak menampilkan dunia yang belum berpihak kepada perempuan. Penindasan seperti demikian tercermin lewat kisah-kisah yang mengisyaratkan peminggiran (marjinalisasi), dominasi, pembawahan (subordinasi), dan kekerasan terhadap perempuan. Novel Saman, Geni Jora, dan Tempurung adalah segelintir kisah yang secara gamblang menyuguhkan kondisi pilu tersebut.
Selain memberikan pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas ideologi gender dalam masyarakat, seperti yang disampaikan di awal, novel-novel Indonesia juga menjadi panggung bagi perjuangan melawan ketidakadilan gender. Banyak penulis di era reformasi mulai berani mengemukakan pendapatnya untuk menghapus ekspolitasi, diskriminasi, dan marjinalisasi lewat pemberdayaan perempuan.
“Esensi dari pemberdayaan bukanlah untuk menciptakan dominasi perempuan atas laki-laki, melainkan peningkatan kapasitas, kemandirian, dan kekuatan internal perempuan,” jelas Yulianeta.
Yulianeta menyampaikan bahwa sekalipun sudah ada kemajuan untuk mengakhiri hegemoni ideologi patriarki, perjuangan untuk menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan harus tetap dilanjutkan. Nilai-nilai patriarki masih kuat melekat dalam struktur sosial masyarakat. Bukan hanya laki-laki, beberapa perempuan juga turut mempertahankan dan memperkuat ideologi patriarki ini. Bahkan, ada yang terlibat aktif dalam mempertahankan sistem patriarki sebagai bagian dari kelompok elite yang memperoleh keuntungan dari status quo yang ada.
Satu cara yang bisa diupayakan dalam memperjuangkan gerakan pengarusutamaan gender adalah lewat pendidikan gender. Pendidikan yang kreatif. Pendidikan yang tidak terikat ruang dan waktu. Pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan semacam itu bisa dihadirkan lewat pembacaan terhadap karya-karya sastra.
“Karya sastra merupakan salah satu bentuk pendidikan yang mampu mengajarkan tanpa menggurui, mendidik tanpa memerintah, dan memberikan contoh tanpa harus secara eksplisit menunjuk,” ungkap Yulianeta.
Novel-novel Indonesia di era reformasi dapat menjadi istrumen untuk meningkatkan kesadaran gender dan melepaskan jerat hegemoni yang menindas perempuan. Melalui karya sastra, ideologi-ideologi gender dapat ditanamkan melalui cara yang halus dan kompleks. Pembaca dapat merenungkan pesan-pesan yang disampaikan tanpa harus berkonfrontasi secara langsung. Sastra menjadi alat yang efektif untuk mempromosikan kesetaraan gender dan mengatasi ketidakadilan gender dalam masyarakat.
*Artikel ini terbit sebagai bagian dari program kerja sama
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya Tofan Aditya atau tulisan-tulisan lain tentang Sastra atau Novel