Sebermasalah itukah Kredit Pendidikan?
Risiko gagal bayar kredit pendidikan atau “student loan” yang tidak bisa di antisipasi sedari awal oleh pemerintah bisa menyebabkan satu generasi terlilit hutang.
Benny Agung
Aktif di Organisasi Serikat Mahasiswa Indonesia
19 Februari 2024
BandungBergerak.id – Pendidikan tinggi di Indonesia kembali menjadi perbincangan, terutama setelah mahasiswa-mahasiswa ITB memprotes kebijakan kampusnya. Alih-alih memberikan keringanan bagi mahasiswa yang belum mampu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), kampus malah memilih bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa pinjaman online (pinjol). Menjadi lebih ramai lagi ketika publik mengetahui bahwa perusahaan tersebut telah bermitra dengan 148 institusi pendidikan, menyalurkan dana sebesar Rp 375 miliar, dan telah mendapatkan 27 ribuan pengguna sejak tahun 2021. Karena sempat begitu hangat diperbincangkan, isu itu juga muncul dalam debat capres terakhir.
Menghutang sebagai sarana alternatif dalam membiayai kuliah bukanlah wacana baru, bahkan pernah ada praktiknya di Indonesia. Pada masa Orde Baru medio 80-an program pinjaman biaya kuliah juga pernah diprogramkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan gagal. Di tahun 2018, Presiden Jokowi menyampaikan supaya perbankan mengeluarkan produk finansial baru berupa kredit pendidikan atau student loan. Suatu upaya untuk meningkatkan partisipasi di perguruan tinggi.
Di Indonesia saat ini kebijakan atau program pemerintah yang secara eksplisit tentang student loan ini belum ada. Kalau coba mengacu pada Pasal 76 ayat 2 huruf c Undang-undang 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi: “Pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.” Sedangkan praktek student loan yang dilakukan bank-bank swasta dan perusahaan pinjol bertolak belakang dengan Undang-undang tersebut karena lembaga-lembaga tersebut masih menetapkan bunga.
Student loan sebagai opsi pembayaran kuliah ini sangat kontroversial. Apalagi kalau mengacu terhadap praktiknya yang ada di Amerika, student loan sangat problematik. Beban hutang student loan di Amerika sudah mencapai 1 triliun Dolar lebih dan sudah berdampak pada konsumsi di Amerika. Sampai-sampai Presiden Amerika Joe Biden pada 2022 mengumumkan rencana penghapusan hutang mahasiswa. Namun, usulan itu ditolak oleh Mahkamah Agung Amerika pada 2023.
Dengan segala kontroversinya, kenapa student loan yang diinisiasi oleh sektor keuangan swasta di Indonesia masih mendapatkan banyak konsumen?
Ada dua hal yang melatarbelakanginya. Pertama, karena kebijakan pendidikan yang mengarah pada liberalisasi. Semakin minimnya peran negara, pendidikan tidak dianggap sebagai public goods melainkan jasa (komoditas) yang disirkulasikan di pasar berdasarkan hukum supply-demand semata. Konsekuensinya biaya pendidikan konsisten naik, seperti analisis Kompas yang mengombinasikan data upah lulusan SMA dan universitas dari BPS sejak 1995-2022 dan biaya kuliah di 30 PTN dan PTS sejak 2013-2022. Berdasar data biaya pendidikan tinggi 10 tahun terakhir, biaya studi di masa depan diperkirakan akan naik 6,03 persen per tahun. Ini pertumbuhan rata-rata biaya dari PTN dan PTS. Untuk PTN sekitar 1,3 persen per tahun dan untuk PTS 6,96 persen. Sedangkan kenaikan upah orang tua lulusan SMA ataupun universitas yang masing-masing hanya 3,8 persen dan 2,7 persen per tahun.
Kedua, pendidikan tinggi masih dianggap sebagai satu-satunya cara efektif sebagai katrol mobilitas vertikal. Sarana memperbaiki nasib bagi generasi berikutnya di keluarga. Sehingga tidak sedikit orang tua dari latar belakang ekonomi menengah-bawah mengupayakan berbagai cara, mulai dari menjual aset, berhutang, dsb., agar anaknya dapat mengakses pendidikan tinggi.
Baca Juga: Membayar UKT ITB dengan Dana Pinjol Bertentangan dengan Amanat Undang-undang Pendidikan
ITB Meminta Maaf Terkait Polemik UKT dengan Skema Pinjol
Haruskah Mahasiswa Indonesia Terjerat Pinjol Uang Kuliah seperti di Amerika Serikat?
Dampak Kredit Pendidikan jika Dipaksakan
Paska hiruk pikuk persoalan student loan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa kementeriannya sedang mengkaji program tersebut. Kemungkinan bahwa pemerintah akan secara formal memprogramkannya.
Ada dua model student loan secara umum yang biasanya diterapkan berbagai negara. Pertama, pinjaman berbasis waktu (time-contingent loan), model inilah yang diterapkan di Amerika, bahwa jumlah pembayaran utang per bulan akan mengikuti waktu yang telah disepakati di dalam perjanjian awal. Ini mirip dengan model kredit pada umumnya di Indonesia. Ambil contoh, mahasiswa meminjam uang 140 juta rupiah untuk menyelesaikan pendidikan S1 selama 8 semester, dengan ketentuan pembayaran utang selama 10 tahun pasak lulus. Tanpa bunga sekalipun, peminjam dalam setahun harus membayar 14 juta, atau sekitar 1.6 juta perbulan. Jika pendapatan pada tahun awal bekerja adalah kisaran 5-6 juta per bulan, maka beban pembayaran utang dapat mencapai 26%-32% dari upah bulannya.
Kedua, pinjaman berbasis pendapatan (income-contingent loan), beban pembayaran pinjaman diatur pada angka yang seimbang dengan pendapatan. Akan tetapi, model seperti ini mengandaikan suatu sistem pelacakan pendapatan sudah berjalan dengan baik. Pembayaran dimulai setelah pendapatan mencapai suatu angka minimum tertentu. Lama waktu pembayaran tidak ditentukan, tetapi beban pembayaran utang ditetapkan. Berdasarkan data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2023, pendapatan sebagian besar lulusan S-1 adalah Rp 4,46 juta per bulan atau Rp 53,52 juta per tahun. Model ini yang diterapkan di negara-negara seperti Swedia, Australia, dan Inggris.
Baik model pertama dan kedua sama-sama berisiko pada tingkat tertentu. Itu akan sangat berdampak pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang akan semakin besar. Belum lagi kalau ia merupakan bagian dari sandwich generation, di Indonesia jamak ditemui ketika seseorang sudah lulus dari perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan harus menanggung biaya pendidikan dan kebutuhan bagi adik di bawahnya, mengirimi uang kepada orang tuanya di kampung, dsb. Ini belum termasuk kondisi sulitnya untuk mendapat pekerjaan yang layak, mengingat deindustrialisasi prematur yang terjadi di Indonesia. Rata-rata pekerjaan yang tersedia adalah pekerjaan di dalam sektor ekonomi informal. Karena untuk masuk dalam rezim kerja formal persaingannya sangat ketat. Sehingga risiko penunggakan bahkan gagal bayar masih sangat besar. Bisa-bisa pemerintah menciptakan satu generasi terlilit hutang. Kalau generasi milenial terlilit hutang karena kredit barang kebutuhan seperti, KPR, Kendaraan, dan kebutuhan lainnya, maka generasi sekarang (Gen Z) akan terlilit hutang tanpa punya apa-apa.
Langkah yang Perlu Dilakukan
Pertama, Menindak tegas kampus dan lembaga keuangan dan pinjol yang memberikan kredit pendidikan dengan bunga. Karena itu bertentangan dengan Undang-undang Pendidikan Tinggi. Kedua, Daripada mencoba menerapkan student loan yang memiliki risiko gagal bayar besar, lebih baik pemerintah kembali meninjau anggaran pendidikan bagi perguruan tinggi. Menurut Dirjen Dikti, Nizam, “Sesungguhnya anggaran pendidikan tinggi yang dikelola Dirjen Dikti itu hanya 0,6 persen dari APBN. Pengelolaan anggaran sebesar itu pun harus dibagi antara PTN dan PTS secara adil.” Meninjau secara proporsional anggaran untuk mahasiswa Perguruan Tinggi Kementerian Lain atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian (PTKL) yang jomplang bahkan 11 kali lipat lebih besar daripada mahasiswa PTN. Ambil contoh, kalau mahasiswa PTN seperti UI, UGM, dst., dapat subsidi Rp 15 juta per tahun, mahasiswa PTKL seperti STPDN dapat Rp 165 juta per tahun. Selain itu yang juga perlu ditinjau adalah anggaran untuk program seperti LPDP ke luar negeri dan program seperti ISMA di tengah mahasiswa tingkat sarjana PTN kesulitan untuk mengakses pendidikan tinggi.
Ketiga, Penciptaan lapangan pekerjaan yang layak, sehingga orang bisa tetap sejahtera sekalipun tidak mengakses pendidikan tinggi. Karena ketika satu-satunya tiket mendapatkan pekerjaan yang layak adalah harus berpendidikan tinggi terlebih dahulu, itu jelas tidak efektif. Pertama, karena membutuhkan biaya yang mahal dan membuat orang yang menempuh pendidikan tinggi berorientasi hanya pada pekerjaan saja (private benefits). Kedua, situasi deindustrialisasi di Indonesia akan membuat pengusaha melakukan opportunistic hiring yang membuat pekerja semakin rentan dan tidak memiliki bargaining karena bisa diancam untuk PHK sewaktu-waktu dengan membludaknya lulusan universitas yang mengantre mencari pekerjaan.