• Kampus
  • Haruskah Mahasiswa Indonesia Terjerat Pinjol Uang Kuliah seperti di Amerika Serikat?

Haruskah Mahasiswa Indonesia Terjerat Pinjol Uang Kuliah seperti di Amerika Serikat?

Menghitung pinjaman uang kuliah melalui pinjol Danacita. Sejumlah kampus di Bandung menjadi mitra fintech ini, salah satunya ITB.

Mahasiswa ITB menggelar aksi menolak skema pembayaran uang kuliah melalui platform pinjaman online (pinjol) di depan gedung Rektorat ITB, Bandung, Senin, 29 Januari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul7 Februari 2024


BandungBergerak.id - Polemik pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan skema pinjaman online (pinjol) Danacita mengemuka beberapa waktu belakangan. Konsep pinjaman untuk dana pendidikan mirip skema pinjol ini sudah diberlakukan di beberapa negara maju, Inggris dan Amerika, misalnya. Namun, mereka gagal. Mahasiswa harus menanggung utang besar setelah lulus kuliah.

Danacita merupakan sebuah platform keuangan (fintech) yang berdiri pada 2018. Platform ini didirikan dengan tujuan untuk memberi pendanaan akses pendidikan bagi pelajar, mahasiswa, maupun tenaga profesional untuk menempuh studi di pendidikan tinggi maupun program kejuruan.

“Danacita hadir untuk menurunkan kendala keuangan agar semua dapat meraih pendidikan di Indonesia,” dikutip dari laman Danacita, Rabu, 7 Februari 2024.

Laman Danacita menjelaskan, platform merupakan bagian dari ErudiFi, sebuah perusahaan teknologi dengan misi membangun masa depan generasi muda Asia Tenggara dengan menghadirkan pendanaan terjangkau bagi para pelajar dan tenaga profesional. Selain Danacita, Bukas, platform serupa dari Filipina juga bagian dari perusahaan teknologi yang mencakupi se-Asia Tenggara ini.

Platform pinjaman dana pendidikan ini, dipimpin oleh Alfonsus Dwianto Wibowo yang menjabat sebagai Direktur Utama, Harry Noviandry sebagai Direktur. Adapun jajaran komisaris dipimpin oleh Naga Tan sebagai Komisaris Utama, Susli Lie dan Isabella Yonathan sebagai Komisaris.

Para pemegang saham Danacita antara lain Erudifi sebagai pemegang saham utama yang berkedudukan di Singapura dan PT. NDI Jakarta. Selain jajaran pimpinannya, Danacita juga dibantu oleh beberapa panasihat, di antaranya menteri era Presiden SBY, Gita Wirjawan.

ITB tercatat sebagai salah satu kampus mitra Danacita. BandungBergerak.id mencoba melakukan simulasi perhitungan cicilan Danacita. Diketahui, salah satu besaran uang kuliah tunggal di ITB sebesar 12.500.000 rupiah.

Maka, jika meminjamkan dana 12.500.000 ke Danacita dan memilih durasi pembayaran selama enam bulan, perbulannya mahasiswa harus mencicil sebesar 2.345.834 rupiah. Estimasi total pengembaliannya berjumlah 14.075.004 rupiah. Angka tersebut sudah termasuk biaya bulanan platform sebesar 1,60 persen dan biaya persetujuan yang dibayarkan sekali sebesar 3,00 persen. Selisih pinjaman (margin) antara dana yang dipinjam dan dana harus dikembalikan sebesar 1.575.004 rupiah.

Sedangkan jika memilih durasi pembayaran dalam 12 bulan, cicilan perbulannya sebesar 1.291.667 rupiah. Estimasi total pengembalian dana menjadi sebesar 15.500.004 rupiah. Artinya, ada margin 3.000.000 rupiah antara dana yang dikembalikan dan total pinjaman. Nilai cicilan bulanan tersebut sudah termasuk biaya bulanan platform sebesar 1,75 persen.

Tak hanya ITB, beberapa kampus lainnya di Bandung juga menjadi mitra Danacita. Beberapa di antaranya seperti Politeknik TEDC Bandung, Sekolah Tinggi Teknologi Bandung (STT Bandung), Akademi Pariwisata NHI Bandung, Universitas Islam Nusantara (Uninus), Universitas Komputer Indonesia (Unikom), dan lainnya.

Baca Juga: Mimih dalam Ancaman Bunga Tinggi dan Teror Pinjol
ITB Meminta Maaf Terkait Polemik UKT dengan Skema Pinjol
Membayar UKT ITB dengan Dana Pinjol Bertentangan dengan Amanat Undang-undang Pendidikan

“Kegagalan” Student Loan Amerika

Jika skema pinjol baru dipraktikkan di kampus-kampus di Indonesia, negara maju seperti Amerika Serikat telah lebih dulu menjalankan skema yang mirip ini. Dan mereka telah menuai dampak buruknya. Antara 2014-2016 lalu, Amerika Serikat menghadapi risiko pecahnya gelembung pinjaman untuk menutupi biaya kuliah atau student loan. Pada tahun 2014, gelembung pinjamannya mencapai 1 trilliun dolar AS.

Jennie M. Xue dalam Jurnal Manajemen Risiko No.123 / 16 Sept. - 15 Okt. 2016 Th.XII menuliskan, lulusan sarjana di tahun 2015 menanggung utang pinjaman kuliah terbesar dibandingkan dengan kakak kelasnya. Biaya pendidikan tinggi disebut melonjak dua hingga empat kali lipat atau 1.000 persen!

“Tingginya kenaikan harga pendidikan (1.000 persen) jauh melampaui angka infasi. Itu berarti ada jurang besar antara penghasilan lulusan sarjana strata satu (S1) dengan biaya kuliah yang sudah dikeluarkan,” tulis Jennie M. Xue, diakses Senin, 5 Februari 2024.

Jennie menuliskan bahwa pinjaman kuliah adalah produk perbankan yang cukup baru di Indonesia dan belum ada analisis mendalam mengenai dampaknya di sektor keuangan dan perbankan. Berbagai persoalan yang timbul dari program pinjaman pendidikan di Amerika patut dikenali sebagai antisipasi.

Bersumber dari College Board, Jennie mencatat, biaya kuliah di universitas negeri di Amerika Serikat pada 2014-2015 per tahun mencapai 23.000 dollar atau setara sekitar 361.422.000 rupiah. Angka itu merupakan biaya pendidikan tinggi, belum termasuk biaya hidup dan lainnya.

Jennie menyebut, jika rata-rata waktu kuliah selama empat tahun, maka sarjana di AS berutang hingga 120.000 dollar selama kuliah. Angka itu seharusnya bukan menjadi masalah, jika sarjana langsung mendapatkan pekerjaan usai lulus kuliah. Sayangnya, para lulusan baru menerima gaji di tempat kerjanya berkisar sekitar 20.000 hingga 30.000 dollar per tahun.

“Jumlah sebesar itu untuk biaya hidup di kota yang biaya sewa apartemen satu kamar yang mencapai 1.000 dollar AS hingga 2.500 dollar AS per bulan, tidaklah seberapa. Sisa yang ditabung pun bisa dipastikan nihil ataupun sangat minim,” tulis Jennie.

Jennie juga menyebutkan, student loan merupakan salah satu daya tarik bagi dunia perbankan. Sebab pinjaman ini tidak bisa dihapuskan bahkan hingga peminjamnya meninggal, termasuk tidak dapat dihapuskan dengan status hukum pailit. Makanya, mahasiswa yang keluar kampus (DO) sebelum lulus tetap harus melunasi pinjaman ini.

Di Amerika Serikat, Pemerintah Federal AS merupakan kreditur terbesar dalam sektor ini. Pecahnya gelembung pinjaman ini membuat pemerintah harus menanggung kerugian dengan memberikan forgiveness. Sayangnya, forgiveness ini ditanggung oleh para pembayar pajak yang membuat keputusan ini tidak mengenakan bagi publik AS.

Jennie menuliskan beberapa pertimbangan sebelum bank maupun pihak lain memberikan dan menerima kredit pinjaman pendidikan di Indonesia. Di antaranya kemampuan belajar dan motivasi menyelesaikan pendidikan formal tidak bisa diukur secara kuantitatif, seperti nilai maupun prestasi calon mahasiswa saat masih di bangku SMA. Sebab, seseorang yang memiliki nilai baik di SMA tidak menjamin ia akan lulus dari universitas tujuannya saat berkuliah.

Persoalan penting lainnya adalah daya saing dalam mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Misalnya, dengan gaji UMR yang diterima oleh pekerja yang baru lulus, mampukah ia mengembalikan pokok pinjaman beserta bunganya. Persoalan gelembung pinjaman ini perlu menjadi antisipasi agar masalah yang serupa tidak menimpa Indonesia saat menerapkan kebijakan ini.

“Pecahnya gelembung pinjaman pendidikan akan membawa akibat sosial dan ekonomi yang luar biasa, seperti penutupan perguruan-perguruan tinggi karena nihilnya biaya operasi, kepailitan para pemberi pinjaman (lender), dan sebagainya. Padahal, pendidikan tinggi adalah pilar penting suatu masyarakat dan negara,” ungkap Jennie.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Pendidikan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//