• Liputan Khusus
  • TERJERAT RENTENIR (1): Mimih dalam Ancaman Bunga Tinggi dan Teror Pinjol

TERJERAT RENTENIR (1): Mimih dalam Ancaman Bunga Tinggi dan Teror Pinjol

Teror pinjol datang hingga belasan kali setiap hari ke telepon Mimih. Ditambah lagi, denda keterlambatan yang terus membengkak karena dihitung harian.

Mimih mengaku kapok, dan akan berjuang agar tak perlu lagi menjadi korban pinjaman online. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul27 Desember 2021


BandungBergerak.id - Mimih Sukarmih (43) adalah ibu rumah tangga yang membuka usaha warung kelontong kecil di rumah neneknya di kawasan Cibiru, Kota Bandung. Ibarat jatuh tertimpa tangga, kondisi ekonominya dalam dua tahun terakhir terbilang sangat sulit. Selain memiliki utang di bank, Mimih juga terpaksa meminjam uang di dua layanan pinjaman online (pinjol). Seolah belum cukup nestapa itu, belakangan suaminya terkena pemberhentian hubungan kerja (PHK).

Awalnya, Mimih meminjam uang di salah satu bank milik negara untuk membangun rumah. Mimih merasa tak enak karena sudah terlalu lama tinggal di rumah sang nenek bersama ibunya. Apalagi bangunan warung kelontongnya juga meminjam sedikit tanah milik sang nenek. Mimih dan suami bertekad memiliki rumah sendiri.

Pasangan ini lalu mengajukan pinjaman ke bank dengan nominal 70 juta rupiah. Namun, selama proses pembangunan rumah hingga selesai, ternyata dana tersebut tak mencukupi. Biaya pembangunan rumah membengkak hingga dua kali lipatnya, total mencapai 145 juta rupiah.

“Ya untungnya bapaknya (suaminya) istilahnya ada orderan foto. Itu saja belum cukup. Namanya budget kan hitungannya beda, itu hitungannya habis 145 juta itu teh,” cerita Mimih kepada BandungBergerak.id, Kamis (28/10/2021) lalu.

Baca Juga: Ratusan Ribu Warga Jabar Mengalami Kemiskinan Ekstrem
Kemiskinan di Bandung Meningkat Sejak Pandemi Covid-19

Teror Tiap Hari dan Bunga Tinggi

Selama pembangunan rumah berlangsung, keuntungan jualan di warung juga dialihkan untuk menyokongnya. Imbasnya, modal di warung tergerus. Untuk menutupi kekurangan modal, Mimih terpaksa mengajukan pinjaman di salah satu layanan pinjol. 

“Modal di warung menipis, tah eta menipis gitu. Walaupun di hati enggak pengen minjem, tapi da gimananya, ibu bakat ku butuh gitu. Terus di tahun kemarin kan, 2020 bapaknya (suami) di-PHK. Jadi penghasilan kan enggak ada. Gali lubang tutup lubang, gitu aja,” ujar Mimih.

Saat pinjaman pertama diajukan dan kemudian disetujui, suami Mimih masih bekerja di salah satu perusahaan jasa foto studio yang populer di Bandung. Jumlahnya 10 juta rupiah dengan jangka waktu pinjaman selama 18 bulan. Setiap bulan Mimih harus mencicil pinjaman sebesar 860 ribu rupiah.

Di awal pandemi Covid-19, suami Mimih dirumahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Sebulan suaminya hanya mendapatkan gaji sebesar 700 ribu rupiah. Jumlah itu sangat kurang untuk membantu Mimih membayar cicilan utang. Akibatnya mereka menunggak cicilan hingga tiga bulan.

Saat itulah teror dimulai. Mimih mengaku ditelpon setiap hari oleh pihak pemberi kredit. Tak tanggung-tanggung, dalam sehari ia bisa menerima hingga belasan panggilan.

Pada bulan Ramadhan 2020 lalu, nasib Mimih semakin terpuruk. Suaminya di PHK-setelah bekerja di perusahaan sejak tahun 1998 lalu.

“Kerja sejak 98, dari gaji 150 (ribu), di-PHK tahun 2020. Coba kalau seandainya enggak pandemi enggak akan di-PHK,” tutur Mimih sambil menghela nafas panjang.

Lelah dengan teror dan panggilan telepon yang tak berhenti, Mimih dan suaminya memutuskan melunasi utang pinjol menggunakan pesangon. Mimih lega, utangnya lunas. Tapi itu tak berlangsung lama. Kisah Mimih dengan pinjol ternyata belum usai.

Karena kepepet Mimih kembali mengajukan pinjaman. Pembangunan rumah belum kelar, sementara pesangon suami telah dipakai untuk menutup pinjaman pertama. Mimih dan suami membutuhkan tambahan dana untuk menyelesaikan pembangunan rumah dan meneruskan modal usaha warung.

Kali ini Mimih berpaling ke layanan pinjol yang lain dengan mengajukan pinjaman sebesar 6 juta rupiah dengan angsuran sebesar 770 ribu rupiah selama 15 bulan. Bunga pinjaman kali ini lebih besar dari sebelumnya, yaitu 3,5 persen. 

"Aduh," ujar Mimih sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika mengingat lagi pinjamannya itu.

Namun Mimih tak punya pilihan. Kebutuhan tak bisa menunggu. Pinjol menjadi pilihan tercepat.

Belakangan, setelah susah payah, akhirnya utang Mimih di layanan pinjol kedua juga berhasil dilunasi, meski bunganya sangat besar. Bahkan ketika melunasi, angka pinjaman sudah membengkak dua kali lipat dari pokok pinjaman awal.

“Udah lunas, alhamdulillah,” tutur Mimih.

Mimiha sedikit lega sebab selama masa pinjamannya yang kedua, teror penagihan tak seperti yang pertama. Pihak pinjol hanya sekali menghubunginya, tak sampai belasan kali dan setiap hari.

Namun tetap saja layanan pinjol kedua ini memberlakukan bunga yang tinggi dan denda keterlambatan yang dihitung per hari. Mimih akan didenda 3.000 rupiah per hari jika terlambat membayar. Jika menunggak 10 hari saja, maka denda tersebut sudah sangat lumayan besarnya.

Dua kali meminjam, Mimih merasakan perihnya mendapat teror setiap hari.  Tapi kondisi hidup yang terpepet memaksanya mengajukan pinjaman. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Dua kali meminjam, Mimih merasakan perihnya mendapat teror setiap hari. Tapi kondisi hidup yang terpepet memaksanya mengajukan pinjaman. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Kapok dengan Pinjol

Saat ini kedua utang Mimih dari layanan pinjol telah lunas. Dia mengaku kapok dan bertekad tidak ingin meminjam dari layanan pinjol lagi. Utangnya di bank tersisa dua tahun lagi. Sesudah itu, ia ingin tidak ada lagi pinjaman.

Mimih dan suaminya dikaruniai dua orang anak, keduanya perempuan. Anaknya yang pertama masih kuliah di UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, sedangkan anaknya yang kedua masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Beruntung anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar tidak harus membayar uang pendidikan sebab bersekolah di sekolah negeri. Anak pertama Mimih juga mendapatkan keringanan dari kampus tempat kuliahnya. 

“Anak pengen laptop aja susah kan, sampai sekarang belum kebeli. Jadi mudah-mudahan ya semoga ada rezeki. Karunya gitu kawan-kawannya (anak sulungnya) pada bawa laptop, dianya engga,” katanya.

Setelah sang suami tak lagi punya pekerjaan tetap, warung yang dikelola Mimih menjadi satu-satunya sumber penghasilan mereka. Keuntungannya digunakan ntuk mencukupi biaya kebutuhan sehari-hari dan menutupi cicilan bank. Mimih berharap anaknya yang pertama bisa segera bekerja dan membantu perekonomian keluarga.

“Sekarang keur susah. Enggak ada yang bantuin. Sekiranya buat bantuin keuangan. Ya itulah pas-pasan aja, cukup buat makan,” katanya.

Mimih sudah mengelola warung tersebut sejak 2006. Selain membuka warung kelontong, ia juga sempat berjualan basreng, bakso ikan, gorengan, juga seblak. Namun, saat ini Mimih memilih fokus mengelola warung kelontong. Ia mengaku berjualan makanan seperti dulu terlalu berisiko. Kadang tak laku dan akhirnya mubazir.

Warung Mimih buka jam delapan pagi dan tutup jam sembilan malam. Jika sedang ramai pembeli, Mimih bisa mendapatkan transaksi hingga 500 ribu rupiah sehari. Dari jumlah tersebut, keuntungan bersihnya sekitar 50 ribu rupiah saja. Ketika warung sepi pembeli, Mimih memperoleh separuhnya.

Mimih mengaku tak akan lagi meminjam uang melalui pinjol. Selain karena bunganya, kondisi ekonominya yang saat ini kembang kempis menjadi alasan. Suami Mimih mencoba bekerja sampingan sebagai fotografer, namun kondisi pagebluk membuat orderan tidak menentu, cenderung sepi.

“Udah capek, minjem teh. Ibu kalau enggak punya cicilan ke bank, udah aja sih. Walaupun bapaknya enggak kerja (tetap), ya udahlah, apa aja dari hasil warung, cukup,” ujar Mimih. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//