Ratusan Ribu Warga Jabar Mengalami Kemiskinan Ekstrem
Di saat maupun sebelum pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat belum pro terhadap pengentasan kemiskinan.
Penulis Iman Herdiana29 September 2021
BandungBergerak.id - Pemerintah Provinsi Jawa Barat pernah merilis pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 6,13 persen pada kuartal II tahun 2021 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Sayangnya, pertumbuhan tersebut terjadi secara makro. Di lingkup mikro, pertumbuhan ekonomi di masa pandemi Covid-19 itu tidak berdampak besar dalam mengerem laju kemiskinan.
Sebelum pagebluk Covid-19, tingkat kemiskinan di Jawa Barat sudah mengkhawatirkan. Ada penelitian yang mengungkap Jawa Barat sebagai penyumbang terbesar angka kemiskinan nasional. Hal ini tak lepas dari tingginya jumlah penduduk provinsi yang kini dipimpin Gubernur Ridwan Kamil itu.
Di masa pandemi Covid-19, Setkab.go.id merilis jumlah penduduk Jabar yang masuk kategori kemiskinan ekstrem tahun ini. Ada lima daerah di Jabar yang menjadi prioritas penanganan kemiskinan ekstrem. Dari lima daerah itu, total jumlah penduduk miskin ekstrem mencapai 460.327 jiwa dengan total jumlah rumah tangga miskin ekstrem sebanyak 107.560 rumah tangga.
Rinciannya, Kabupaten Cianjur dengan tingkat kemiskinan ekstrem 4 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 90.480 jiwa; Kabupaten Bandung dengan tingkat kemiskinan ekstrem 2,46 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 93.480 jiwa; Kabupaten Kuningan dengan tingkat kemiskinan ekstrem 6,36 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 69.090 jiwa;
Kabupaten Indramayu dengan tingkat kemiskinan ekstrem 6,15 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 106.690 jiwa; serta Kabupaten Karawang dengan tingkat kemiskinan ekstrem 4,51 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 106.780 jiwa.
Data tersebut diungkap saat Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin memimpin Rapat Penanggulangan Kemiskinan Ekstrem di Jabar, Rabu (29/9/2021). Lima daerah di Jabar yang data kemiskinan ekstremnya dipaparkan, menjadi prioritas program.
Dalam rapat virtual yang dihadiri Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum beserta para bupati itu, Wapres menegaskan, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah memiliki anggaran yang cukup besar untuk mengatasi kemiskinan.
Wapres mengatakan anggaran bukanlah isu utama dalam penanggulangan kemiskinan ekstrem di tanah air. Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana membuat program-program penanggulangan kemiskinan menjadi konvergen dan terintegrasi untuk menyasar sasaran yang sama.
Wapres juga menyampaikan bahwa dalam mengupayakan penanggulangan kemiskinan ekstrem 2021 yang tinggal tersisa tiga bulan ini, pemerintah telah berkomitmen untuk mempercepat pelaksanaannya. Salah satunya dengan menambah alokasi anggaran yang secara khusus diprioritaskan pada lima kabupaten yang telah ditetapkan tahun ini.
“Tambahan alokasi pendanaan untuk penanggulangan kemiskinan ekstrem melalui bantuan sosial tunai dalam kerangka pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebagai respon terhadap dampak pandemi COVID-19 tersebut, akan diberikan kepada lima kabupaten prioritas penanggulangan kemiskinan ekstrem di Provinsi Jawa Barat selama tiga bulan hingga akhir 2021,” papar Wapres RI Ma’ruf Amin, dalam siaran persnya.
Menurut Wapres, untuk dapat menjangkau sasaran yang tepat, yaitu kelompok masyarakat miskin ekstrem di masing-masing kabupaten prioritas, diperlukan pemutakhiran data kelompok penerima manfaat (KPM) bantuan sosial tunai tersebut.
Wapres secara khusus meminta Gubernur Jawa Barat dan para bupati dari lima kabupaten prioritas untuk segera memastikan data dan informasi kelompok penerima manfaat di tiap-tiap kabupaten, yang akan menerima tambahan bantuan sosial tunai dimaksud.
“Sehingga upaya kita untuk dapat membantu percepatan pengentasan kemiskinan ekstrem tahun 2021 di lima kabupaten prioritas tersebut bisa diwujudkan,” harapnya.
Wapres juga meminta agar gubernur dan seluruh bupati di wilayah prioritas bekerja keras memastikan agar seluruh rumah tangga miskin ekstrem di wilayahnya masing-masing mendapatkan seluruh program, baik program untuk pengurangan beban pengeluaran masyarakat maupun program pemberdayaan masyarakat.
“Gubernur dan para bupati agar juga memperkuat perencanaan dan penganggaran program pengurangan kemiskinan ekstrem dalam APBD masing-masing, khususnya yang terkait dengan karakteristik masyarakat di wilayahnya masing-masing,” pintanya.
Baca Juga: Kecamatan Antapani: Antara Warga Menengah Atas dan Kemiskinan
Kemiskinan di Bandung Meningkat Sejak Pandemi Covid-19
DATA BICARA: Kesenjangan Pendidikan Mengawetkan Jerat Kemiskinan di Kota Bandung
Sudah Timpang sebelum Pandemi
Sebelum pandemi, angka kemiskinan di Jabar kerap menjadi sorotan. Dua peneliti, Dwi Ardian dan Muhammad Rizqi Destanto, dalam tulisan ilmiah “Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi terhadap Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat” menyatakan, pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat belum pro terhadap pengentasan kemiskinan.
Peneliti merujuk pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Jawa Barat tahun 2013-2018, di mana ditargetkan angka kemiskinan turun sekitar 4,1 - 5 persen pada tahun 2018. Target ini jauh meleset dari kenyataan bahwa tingkat kemiskinan pada tahun 2018 masih berada di angka 7,25 persen menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Memang pada kurun tersebut kemiskinan mengalami penurunan, tetapi lajunya sangat lambat. Anggaran yang digelontorkan tidak sebanding dengan penurunan di bawah 1 persen per tahun.
Pada tahun 2018 kemiskinan di Jabar sebesar 7,25 persen. Kontribusinya terhadap tingkat kemiskinan nasional sangat besar, yakni mencapai 13,79 persen atau berada di peringkat ke-3 setelah Jawa Timur (16,72 persen) dan Jawa Tengah dengan kontribusi 15,06 persen (BPS, 2018).
Dari sisi ketimpangan, Jawa Barat juga tercatat menjadi provinsi dengan rasio gini terbesar ketiga (0,405), hanya di bawah gini rasio DIY (0,422) dan Gorontalo (0,417). Padahal, target pemerintah dalam RPJMD Jawa Barat 2013-2018 rasio gini bisa mencapai 0,33-0,34 poin pada akhir tahun 2018.
Dilihat dari perbandingan antara perkotaan dan perdesaan, ketimpangan itu tampak mencolok. Di perkotaan 6,33 persen sedangkan perdesaan mencapai 10,07 persen (BPS, 2018).
Peneliti mencatat, pertumbuhan ekonomi ternyata tidak signifikan dalam mengurangi kemiskinan di Jabar. Hasil ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat belum menyentuh secara menyeluruh terhadap masyarakat menengah ke bawah.
“Kalau dilihat dari asal pertumbuhan yang masih didominasi oleh sektor real estate maka hal itu menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum benar-benar pro terhadap masyarakat kalangan bawah,” ungkap peneliti.
Dari hasil penelitian tersebut, pertumbuhan ekonomi yang selalu dikabarkan pemerintah tidak bica dibaca sebagai berkurangnya kemiskinan. Malah bisa jadi pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di kalangan tertentu saja. Jadi, diperlukan kebijakan yang pro rakyat miskin.