• Opini
  • Dari Barak ke Vasektomi: Fantasi Kekuasaan dalam Format Vertikal

Dari Barak ke Vasektomi: Fantasi Kekuasaan dalam Format Vertikal

Menggunakan barak untuk mendidik adalah simbol dari logika otoritarian yang menganggap tubuh anak-anak sebagai objek yang perlu "diprogram".

Tenupermana

Tinggal di Bogor, sedang aktif berkegiatan dan berdiskusi di Ore et Litera

Menggunakan barak untuk mendidik anak adalah simbol dari logika otoritarian. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

12 Mei 2025


BandungBergerak - Apa yang kita lihat ketika kebijakan seorang gubernur tampak lebih mirip dengan eksperimen sosial daripada solusi praktis untuk rakyat? Bisa jadi, kita sedang menyaksikan sebuah sandiwara kekuasaan paling ganjil dalam abad tiktokrasi. Inilah masa ketika kekuasaan tidak lagi hadir dalam wujud gagah seragam dan gebrakan birokrasi, tapi lewat konten TikTok, senyum manis kamera depan, dan jargon-jargon yang membuat kita bingung antara mau tertawa atau mengelus dada.

Mungkin kita sedang menyaksikan teater kekuasaan era baru, dan bintang utamanya? Kang Dedi Mulyadi (KDM). Tapi saya dan kawan-kawan saya lebih senang menyebutnya dengan Deddy Mercury, Si Bapak Aing dari tanah fiksi bernama Jawa Barak.

Bayangkan, kita hidup dalam negeri yang anak-anaknya tidak dibawa ke ruang kelas, tapi ke... barak. Iya, barak! Barak ala militer. KDM mengusulkan agar anak-anak yang “nakal” atau “gemulai” dikirim ke tempat pelatihan dengan nuansa tentara. Seperti ayam kampung dibawa ke kandang ayam potong, agar cepat jinak, lurus, dan patuh. Ini bukan plot film dystopian ala The Hunger Games, ini Jawa Barat tahun 2025!

Tentu saja, KDM menyebut ini “pembinaan.” Tapi pembinaan macam apa yang dilakukan dengan pendekatan disipliner, keras, dan penuh visualisasi maskulinitas? Kita layak berhenti sejenak dan mempertanyakan kembali: apakah kita sedang berbicara tentang anak-anak yang nakal, atau kita sedang berhadapan dengan kegagalan sistem sosial dan pendidikan yang justru mengabaikan mereka?

Baca Juga: Pemprov Jabar Diminta Mempertimbangkan Hak-hak Dasar Anak Sebelum Mengeluarkan Kebijakan Mengirim Mereka ke Barak Militer
Kebijakan Vasektomi Diskriminatif karena Menargetkan Warga Miskin dan Mengabaikan Otonomi Tubuh

Panoptikon Digital

Sebelum kita berlarut-larut dalam tanya jawab, mari kita cermati lebih dalam. Penggunaan istilah "barak" sendiri sudah menunjukkan betapa otoriter dan kaku pendekatan ini. Bayangkan, anak-anak yang seharusnya belajar tentang hak dan kebebasan, dipaksa untuk masuk dalam sistem yang menganggap ketidakdisiplinan mereka sebagai persoalan yang dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan yang keras.

Menggunakan barak untuk mendidik adalah simbol dari logika otoritarian yang menganggap tubuh anak-anak sebagai objek yang perlu "diprogram", agar sesuai dengan norma yang ditetapkan. Dalam hal ini, Foucault, dengan teori biopower-nya, akan tersenyum miris. Kita sedang berbicara tentang tubuh yang dikontrol. Bukan hanya lewat hukum atau aturan. Tetapi dengan cara yang lebih halus: mengubah tubuh manusia menjadi instrumen ketertiban sosial.

Dan ketika tubuh anak dijadikan proyek kedisiplinan, tubuh orang miskin pun tidak luput dari logika serupa. Sebab masih ada "keajaiban" lain yang disajikan oleh Bapak Aing, kali ini dalam bentuk syarat untuk mendapatkan bantuan sosial: vasektomi. Ya, Anda tidak salah dengar. Bagi pria yang sudah memiliki anak banyak, ia diwajibkan untuk menjalani vasektomi agar dapat menerima bantuan sosial.

Kita semua tahu bahwa bantuan sosial adalah hak bagi yang membutuhkan, tetapi menjadikan vasektomi sebagai syarat? Ini adalah suatu langkah yang bisa dikatakan cukup sialan. Dalam dunia di mana hak tubuh dan kebebasan pribadi adalah isu sentral, kebijakan yang menggugah rasa heran semacam ini terasa seperti kemunduran besar.

Mengapa bisa saya katakan demikian? Sebab di sinilah tubuh sekali lagi menjadi alat transaksi kekuasaan. Tubuh miskin, tubuh yang dimarginalkan, dijadikan objek eksperimen sosial dengan alasan moral, ekonomi, dan tentu saja: demografi. Semua dibungkus dalam balutan narasi kesejahteraan.

Narasi besar yang dibungkus moralitas dan kesejahteraan ini, nyatanya hanya punya satu mantra yang diulang: kontrol tubuh, kontrol citra, kontrol persepsi. Dan kadang, diselipi sedikit kontrol... untuk syarat bantuan sosial. Padahal, kalau dibuka bungkusnya, isinya: kontrol, kontol, kontrol, kontrol, dan sedikit pencitraan digital.

Frasa ini bukan hanya permainan kata, tapi gambaran paling jujur dari bagaimana kekuasaan bekerja di tubuh kita. Ini adalah biopolitik yang paling telanjang: ketika organ reproduksi pria miskin dijadikan tiket masuk menuju bantuan sosial. Negara, atau lebih tepatnya pejabat yang merasa jadi negara, tak hanya mengatur apa yang boleh kita makan, tapi juga kapan kita boleh punya keturunan.

Foucault menyebut ini sebagai bentuk kekuasaan modern yang tidak lagi bekerja dengan cara memukul atau menggantung tubuh di alun-alun, tetapi dengan cara yang lebih "halus": dengan mengatur. Dengan menyaring. Dan dengan mendisiplinkan. Dan dalam hal ini, syarat vasektomi adalah bentuk kekuasaan yang tidak cuma mengontrol, tapi juga mengintervensi tubuh hingga ke akar biologisnya.

Tubuh tidak lagi menjadi tempat tinggal jiwa, tetapi instrumen negara. Dan kalau tidak mau dipotong, maka jangan harap mendapat bantuan.

Tapi semua itu hanya satu sisi dari pentas besar ini. Setidaknya KDM punya satu hal yang jarang dimiliki politisi lain: keahlian stand-up comedy tanpa panggung. Senyum manis, gaya berbicara khas, dan konten harian yang selalu punya bumbu drama. Ia bisa dengan mudah berpindah dari memberi sembako ke nenek-nenek ke memberikan ceramah kecil soal moralitas anak muda. Dan dalam kemulitalentaan itu, kadang saya bertanya-tanya, ini gubernur atau spiritual life coach?

Aku Viral, Maka Aku Ada

Jika kekuasaan adalah sandiwara, maka KDM tahu betul cara menjadi aktor utamanya. Ia tampil seperti figur bapak ideal: tegas, murah senyum, dan penuh solusi—selama solusi itu bisa direkam dan viral. Dalam format vertikal, tentu saja. Karena di era ini, jika tidak terekam, maka tidak pernah terjadi. Aku viral, maka aku ada.

Maka, dalam dunia yang semakin didominasi oleh citra dan ruang digital, kebijakan-kebijakan semacam ini seperti pesta pora di atas panggung sosial media. Sementara kita semua tertawa dan menggelengkan kepala, KDM mungkin sedang sibuk menata strateginya untuk meraih lebih banyak pengikut.

Dan dalam kesibukan itu, tubuh kita, yang selalu dipenuhi dengan kebingungan tentang kebijakan yang datang tanpa alasan yang jelas, hanya menjadi objek yang diatur dan dikendalikan. Foucault pernah berkata, Power is everywhere.” Dan KDM tampaknya benar-benar mendengar kalimat itu. Kekuasaan hadir di mana-mana, dan sayangnya, kekuasaan itu dibangun dari tubuh-tubuh kita. Tubuh yang direkam. Tubuh yang ditertibkan. Tubuh yang dijinakkan.

Dan kita? Kita menonton, tersenyum, lalu scroll ke video berikutnya.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//