Kebijakan Vasektomi Diskriminatif karena Menargetkan Warga Miskin dan Mengabaikan Otonomi Tubuh
Wacana vasektomi bagi penerima bansos di Jawa Barat mengandung diskriminasi kelas, pelanggaran otonomi tubuh, dan penyalahgunaan bansos sebagai alat paksaan.

Husni Rachmayani Nur Ilahi
Fresh Graduate dari Universitas Padjadjaran .
8 Mei 2025
BandungBergerak.id - Di negeri ini, kemiskinan sering diperlakukan sebagai dosa pribadi, bukan kegagalan sistem. Baru-baru ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengusulkan kebijakan kontroversial dalam rapat koordinasi di Balai Kota Depok, 29 April 2025: vasektomi atau program Keluarga Berencana (KB) pria sebagai syarat bagi warga miskin untuk menerima bantuan sosial (bansos).
Diskriminatif sekali. Bayangkan seorang ayah harus memilih: membiarkan anak-anaknya kelaparan atau menyerahkan tubuhnya untuk “diotak-atik” pemerintah hanya demi sekarung beras. Kebijakan ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga merampas hak asasi warga miskin atas tubuhnya sendiri. Alih-alih mengentaskan kemiskinan, pemerintah justru mengontrol tubuh rakyat yang paling rentan.
Mengapa kebijakan ini salah? Tiga hal perlu diperhatikan: diskriminasi kelas, pelanggaran otonomi tubuh, dan penyalahgunaan bansos sebagai alat paksaan.
Diskriminasi Kelas: Hanya Warga Miskin yang Disasar
Kebijakan ini dengan terang-terangan menargetkan warga miskin, seolah mereka satu-satunya penyebab kemiskinan karena “terlalu banyak anak”. Mari bikin perumpamaan. Seorang pria, yang juga menjadi ayah dan suami, merupakan buruh harian di Bandung. Gajinya sehari hanya cukup untuk makan, itu pun kalau ada kerja. Anak-anaknya ingin sekolah, tapi buku saja tidak terbeli—harga buku di negeri ini memang mahal bukan main. Bansos adalah harapan satu-satunya, tetapi syaratnya harus vasektomi. Karena ini syarat bagi warga miskin, maka tiada upaya berarti untuk menolaknya. Warga miskin semakin dibuat tidak punya kuasa.
Mengapa hanya warga miskin yang diminta melakukan ini? Masyarakat kelas atas bebas memiliki anak sebanyak yang mereka mau, tubuh mereka utuh, tak ada yang mengatur.
Narasi “warga miskin punya banyak anak” sudah usang. Menurut Badan Pusat Statistik, angka kelahiran Indonesia telah turun drastis dari 5,61 pada 1970-an menjadi 2,18 pada 2020-an. Jadi, mengapa warga miskin masih dicap sebagai “penghambat kemajuan”?
Kebijakan ini tidak hanya diskriminatif, tetapi juga memperkuat stigma bahwa kemiskinan adalah kesalahan individu, bukan kegagalan sistemik seperti kurangnya lapangan kerja atau akses pendidikan. Warga miskin bukan penyebab masalah, tetapi korban dari ketimpangan yang dibiarkan berlarut-larut.
[baca_juga]
Pelanggaran Otonomi Tubuh: Hak yang Dirampas
Vasektomi adalah keputusan pribadi yang sangat sensitif, namun bagi warga miskin, kebijakan ini mengubahnya menjadi paksaan. Tanpa bansos, keluarga miskin tidak bisa bertahan. Mereka tidak punya kuasa untuk menolak, berbeda dengan kelas menengah yang bisa mengatakan “tidak” tanpa takut kelaparan. Komnas HAM (2025) telah menegaskan bahwa memaksa tindakan medis seperti ini melanggar hak privasi dan otoritas atas tubuh, yang dijamin sebagai hak asasi manusia.
Bayangkan perasaan seorang ayah yang merasa tubuhnya “dijual” hanya untuk memberi makan anak-anaknya. Ini bukan sekadar soal prosedur medis, tetapi tentang martabat yang diinjak-injak. Warga miskin dipaksa menyerahkan otonomi tubuh mereka karena tekanan ekonomi, sesuatu yang tidak pernah dialami kelompok lebih mampu. Kebijakan ini bukan hanya melanggar HAM, tetapi juga memperdalam ketimpangan antara mereka yang punya kuasa atas tubuhnya dan mereka yang tidak.
Baca Juga: Meragukan Keberpihakan Konten Dedi Mulyadi pada Perempuan Selain Demi Mendulang Suara
Warga Sukahaji Mempertanyakan Keberpihakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi pada Warga Terdampak Sengketa Lahan
Study Tour dan Logika Drama Sang Gubernur
Bansos: Hak Rakyat, Bukan Alat Paksaan
Bansos seharusnya menjadi jaring pengaman sosial, bukan jebakan untuk mengontrol rakyat. Undang-Undang No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial dengan jelas menyatakan bahwa bansos adalah hak warga miskin, tanpa syarat yang merendahkan kemanusiaan. Menteri Sosial Saifullah Yusuf juga menegaskan bahwa bansos tidak boleh dijadikan alat untuk memaksakan kebijakan lain, apalagi yang melanggar HAM. Namun, di Jawa Barat, bansos malah menjadi “hadiah” bagi mereka yang bersedia menuruti kebijakan vasektomi.
Kebijakan ini juga melampaui kewenangan gubernur, seperti yang dikritik Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono. Bansos adalah program pemerintah pusat di bawah Kementerian Sosial, bukan alat untuk eksperimen kebijakan daerah. Dengan menjadikan bansos sebagai syarat, pemerintah daerah tidak hanya menyalahi wewenang, tetapi juga mengkhianati tujuan bansos: membantu rakyat tanpa syarat yang diskriminatif. Warga miskin berhak mendapatkan bantuan tanpa harus mengorbankan tubuh atau martabat mereka.
Kebijakan ini diklaim bertujuan mengatasi kemiskinan, tetapi jelas salah alamat. Kemiskinan tidak akan selesai hanya dengan mengurangi jumlah anak. Faktor utama kemiskinan adalah kurangnya akses pendidikan, lapangan kerja yang layak, dan layanan kesehatan yang terjangkau.
Alih-alih memaksa vasektomi, pemerintah seharusnya berinvestasi pada solusi jangka panjang. Pendidikan gratis, seperti perluasan beasiswa, dapat memberi anak-anak warga miskin masa depan yang lebih baik. Program pelatihan kerja atau penciptaan lapangan kerja lokal pun bisa menjadi jembatan bagi masyarakat meningkatkan nilai hidupnya.
Jika pemerintah ingin mempromosikan KB pria, pendekatan yang manusiawi adalah kuncinya. Edukasi sukarela tentang vasektomi, yang menekankan keamanan dan manfaatnya tanpa stigma “kurang jantan”, jauh lebih efektif daripada paksaan. Libatkan komunitas lokal, termasuk tokoh agama dan warga miskin sendiri, dalam merancang program KB agar sesuai dengan nilai dan kebutuhan mereka. Yang terpenting, kebijakan harus menghormati otonomi tubuh dan martabat manusia, bukan memanfaatkan kerentanan ekonomi warga miskin.
Warga miskin bukan angka yang perlu “diperbaiki” dengan paksaan, tetapi manusia yang berhak atas keadilan dan martabat. Kebijakan vasektomi sebagai syarat bansos adalah cerminan dari pendekatan yang diskriminatif dan tidak manusiawi, yang menargetkan mereka yang paling rentan sambil mengabaikan hak asasi mereka.
Jika kita membiarkan kebijakan seperti ini berlanjut, apa lagi yang harus dikorbankan warga miskin hanya untuk bertahan hidup? Saatnya kita menuntut kebijakan yang benar-benar mengangkat rakyat, bukan yang menekan mereka. Pemerintah harus mendengar suara warga miskin, bukan mengatur tubuh mereka.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan Husni Rachmayani Nur Ilahi, atau artikel-artikel menarik tentang politik