• Berita
  • Pemprov Jabar Diminta Mempertimbangkan Hak-hak Dasar Anak Sebelum Mengeluarkan Kebijakan Mengirim Mereka ke Barak Militer

Pemprov Jabar Diminta Mempertimbangkan Hak-hak Dasar Anak Sebelum Mengeluarkan Kebijakan Mengirim Mereka ke Barak Militer

Pendidikan karakter anak ada di ranah ilmu pendidikan dan psikologis, juga dipengaruhi lingkungan dan keluarga. Bukan barak militer.

Penguasa dengan corak militeristis akan terus menciutkan ruang-ruang sipil. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah5 Mei 2025


BandungBergerak.id - Pemerintah Provinsi Jawa Barat seolah mempunyai jurus ampuh untuk membangun pendidikan karakter dengan menerapkan program pembinaan khusus bagi remaja bermasalah ke barak militer. Program yang dimulai pada 2 Mei 2025 ini diklaim Gubernur Jabar Dedi Mulyadi bisa menjaga ketertiban sosial dan memperbaiki kualitas generasi muda.

Anak-anak yang bisa dikirim ke barak adalah mereka yang terlibat tawuran, minum alkohol, bermain game online berlibihan, dan bolos sekolah. Tujuannya untuk dilatih kedisplinan.

Namun setiap kebijakan mesti memerhatikan hak-hak dasar anak. Brand and Media Manager Save the Children Indonesia Dewi Sri Sumanah menuturkan, prinsip dasar hak anak meliputi kepentingan dan tujuan bagi anak, menghargai hak anak, dan tidak ada diskriminasi atau kekerasan terhadap anak.

“Karena Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Artinya, negara sudah menyetujui dan berkomitmen pada pemenuhan hak-hak anak. Jadi, semua kebijakan yang menyangkut anak, harus mengacu pada prinsip-prinsip tersebut,” kata Dewi saat dihubungi BandungBergerak, Minggu, 4 Mei 2025.

Menurutnya, anak-anak yang diminta untuk melakukan pendidikan karakter di lingkungan militer harus ditanyai terlebih dahulu. Jangan sampai ada unsur paksaan, termasuk peran orang tua yang juga memantau perkembangan anaknya.

Prinsip yang harus diperhatikan dari hak anak, Dewi menjelaskan, tidak boleh ada labeling yang mengarah pada diskriminasi anak. Penyebutan anak nakal dan sejenisnya harus dihindari dan ada prosedur yang mengatur apabila anak berhadapan dengan hukum. Dalam hal ini, aspek keselamatan anak juga perlu diperhatikan berkaitan dengan data pribadi mereka.

“Jangan sampai ada data pribadi anak yang disebarkan ke media. Kadang ada publikasi yang menyebut data-data anak “nakal”, ini bisa menambah kerentanan bagi anak tersebut. Maka penting sekali menjaga prinsip kerahasiaan demi perlindungan anak,” ungkap Dewi.

Dewi menegaskan, yang paling penting dari penerapan kebijakan ini tidak boleh ada bentuk kekerasan yang melibatkan kekerasan fisik dan emosi. Juga tidak boleh eksploitatif.

“Jangan sampai ada kekerasan fisik yang dianggap sebagai bentuk pendisiplinan,” terangnya.

Konsultasi ke KPAI dan Komnas HAM

Kebijakan untuk anak-anak tidak bisa dituangkan sembarangan tanpa mempertimbangkan ahli. Dewi memandang, sebelum menggeluarkan kebijakan mengirim anak ke barak militer, Pemerintah Provinsi Jawa Barat semestinya berkonsultasi dengan lembaga-lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas HAM, untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selaras dengan prinsip hak anak dan hak asasi manusia.

“Jadi, sebelum mengeluarkan kebijakan, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan itu tidak melanggar prinsip-prinsip seperti kepentingan terbaik bagi anak, menghargai pendapat anak, tidak diskriminatif,” beber Dewi.

Tidak hanya itu, Dewi juga menegaskan, anak yang ingin mengapai cita-citanya melalui pendidikan formal jangan sampai terhambat ketika mereka mengikuti pendidikan karakter di barak militer.

Aktivis pejuang hak anak ini menilai, dari segala aspek justru yang mendukung tubuhnya karakter anak adalah lingkungan dan keluarga (orang tua). Karenanya, menciptakan ekosistem yang aman dan nyaman bagi anak itu penting.

“Kalau anak kembali ke lingkungan militer yang keras tanpa dukungan yang tepat, ya nanti mereka bisa terbentuk jadi seperti itu juga,” sebutnya.

Baca Juga: Masyarakat Sipil Bandung Menuntut Pencabutan UU TNI
Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Kembalinya Militerisme, RUU TNI Melemahkan Supremasi Sipil
Mahasiswa Unpad Menggugat UU TNI yang Dinilai Cacat Formil ke Mahkamah Konstitusi

Pendekatan Militer Melanggar Perlindungan Anak

Hal yang sama juga dituturkan oleh Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA). Anak yang melakukan perbuatan menyimpang tidak serta merta hal itu merupakan keputusan yang dia ambil sendiri. Namun, dipengaruhi banyak faktor antara lain keluarga, lingkungan, pendidikan, dan teman sebaya.

Dalam catatan UNICEF, PKTA menejelaskan, anak yang terpapar kekerasan dalam keluarga cenderung untuk bersikap agresif dan beepotensi menjadi pelaku kekerasan saat beranjak dewasa. Kebijakan pendisiplinan terhadap anak dengan metode kekerasan baik fisik ataupun psikologis justru memberi dampak buruk terhadap anak.

"Sekalipun tidak ada intensi langsung untuk menyakiti anak, namun penggunaan kekerasan untuk mengontrol atau mengoreksi tingkah laku anak akan menimbulkan konsekuensi negatif jangka panjang," tulis PKTA dalam keterangan resminya.

PKTA juga memandang, kebijakan pembinaan khusus terhadap remaja di barak militer melanggar Undang Undang Perlindungan Anak. Karena, tahap pekembangan psikososial anak masih membutuhkan perlindungan khusus seperti layanan rehabilitasi psikologis bukan dengan pendekatan militeristik yang bisa memperburuk kondisi mentalnya.

PKTA juga menyoroti fenomena panjang kekerasan aparat. Menurut catatan KontraS, sepanjang Oktober 2023 sampai September 2024 terdapat 64 peristiwa kekerasan TNI terhadap warga, beberapa korban jiwa merupakan anak di bawah umur.

Rentetan kekerasan ini, menurut PKTA menunjukkan aparat TNI cenderung mengedepankan kekerasan atau power berlebih. Dalam konteks ini, PKTA khawatir pengiriman anak-anak ke barak berpotensi mengancam kebebasan anak. Mereka anak akan belajar dan tumbuh dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak.

Kehkawatiran lainnya, melabelisasi anak sebagai anak nakal sangat berbahaya karena menimbulkan sitgma negatif kepada anak. PKTA menyatakan, solusi yang tepat terhadap tumbuh kembang karakter anak seharusnya dikembalikan pada orang tua, lingkungan, dan pendidikan sebagai elemen yang memegang tanggung jawab.

Aliansi yang tergabung dari organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak anak ini mendesak agar Presiden Indonesia Prabowo Subianto menghentikan upaya Gubernur Jabar Dedi Mulyadi serta menginstruksikan jajaran pemerintah pusat serta daerah untuk mengambil langkah tepat dalam mengatasi permasalah siswa yang berperilaku menyimpang.

Diketahui, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi telah mengeluarkan surat edaran yang mengatur pendidikan dengan konsep Gapura Panca Waluya. Dalam surat edaran nomor 43/PK.03.04/KESRA, konsep Gapura Panca Waluya dimaksudkan untuk mencetak murid sekolah yang sehat, baik, benar, pintar, gercep.

Surat Edaran ini ditunjukan pada pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kota yang berwenang pada Paud - SD - SMP, Kepala Dinas Pendidikan Jabar yang mengurus SMA/SMK sederajat, serta Kantor Kementerian Agama yang menaungi pondok pesantren.

Salah satu langkah ditempuh dalam konsep pendidikan ini, peningkatan disiplin dan rasa bangga sebagai warga yang mencintai negara. Setiap murid dianjurkan mengikuti ekstrakurikuler pramuka, paskibra, palang merah remaja, serta kegiatan lainnya yang memiliki implikasi positif pada pembentukan karakter kebangsaan.

Dedi Mulyadi juga menegaskan, siswa yang memiliki perilaku khusus seperti terlibat tawuran, bermain games online, merokok, mabuk, balapan motor, menggunakan knalpot brong serta perilaku tidak terpuji lainnya akan dilakukan pembinaan khusus, setelah mendapatkan persetujuan dari orang tua, melalui pola kerja sama antara Pemdaprov, pemda kabupaten/kota, serta TNI/Polri.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan lain tentang MILITER 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//