• Berita
  • Mahasiswa Unpad Menggugat UU TNI yang Dinilai Cacat Formil ke Mahkamah Konstitusi

Mahasiswa Unpad Menggugat UU TNI yang Dinilai Cacat Formil ke Mahkamah Konstitusi

Pembahasan revisi UU TNI oleh pemerintah dan DPR tidak melibatkan rakyat padahal regulasi ini sanga mempengaruhi kehidupan masyarakat sipil.

Aksi unjuk rasa menolak pengesahaan RUU TNI di depan gedung DPRD Jawa Barat di Bandung, 21 Maret 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Ridho Danu Prasetyo3 Mei 2025


Bandungbergerak.id – Lima orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menggugat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 29 April 2025. Kelimanya mengajukan permohonan judicial review (JR) berupa uji formil terhadap UU TNI yang dinilai problematik dan cacat dari berbagai aspek legislasi.

Kelima mahasiswa Unpad menyebut pengajuan uji formil ini adalah jalan lain dari aktivisme yang dapat dilakukan mahasiswa untuk membela hak-hak sipil, kala pemerintah bertindak sewenang-wenang dalam merumuskan produk hukum yang berdampak bagi masyarakat luas.

“Kami, sebagai mahasiswa fakultas hukum, merasa memiliki tanggung jawab akademik untuk berjuang melalui jalur ini dan memastikan bahwa segala bentuk pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kaidah dan norma yang berlaku,” jelas Moch Rasyid, salah seorang mahasiswa, menjelang proses penyerahan berkas di Mahkamah Konstitusi RI.

Proses Legislasi Dinilai Cacat Formil

Sepanjang bulan April 2025, gerakan dari berbagai koalisi masyarakat sipil terus menyuarakan penolakan terhadap Revisi Undang-undang (RUU) TNI, yang disinyalir akan menjadi titik awal kembalinya doktrin Dwifungsi ABRI serupa era orde baru. Kendati demikian, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tetap mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-undang melalui Rapat Paripurna pada 20 Maret 2025 lalu.

Pengesahan tersebut kemudian dinilai oleh mahasiswa FH Unpad sebagai pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) dan Prinsip Konstitusional berdasarkan Pasal 22A UUD 1945.

Pelanggaran utama yang disorot adalah pelanggaran terhadap prinsip partisipasi publik yang bermakna, yang seharusnya menjadi bagian wajib dalam proses legislasi. Termasuk, minimnya akomodasi terhadap pendapat publik dan rapat pembahasan oleh Panitia Kerja (Panja) DPR RI yang dilakukan secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta pada 14-15 Maret 2025 silam.

“Hak kita sebagai pemerhati hukum kemudian dilanggar dan dicederai dengan tidak adanya partisipasi yang diberikan, ruang partisipasi yang tidak diberikan, dan tidak adanya keterbukaan dalam proses pembentukan revisi undang-undang TNI,” jelas Kartika, mahasiswa penggugat lainnya.

Kemudian, mereka juga mempertanyakan prosedur masuknya RUU TNI ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang dilakukan secepat kilat oleh DPR RI. Mekanisme yang dilakukan pun tidak memenuhi syarat dan peraturan, karena tidak melalui pertimbangan dari Badan Legislasi DPR RI dan nihilnya proses sosialisasi kepada publik.

“RUU TNI pada awalnya tidak masuk pada Prolegnas Prioritas Tahun 2025. Tapi, secara tiba-tiba, dengan Surat Presiden RUU tersebut masuk (Prolegnas) dan selama kurang dari satu bulan, undang-undang tersebut langsung disahkan,” lanjut Kartika.

Karenanya, para penggugat melayangkan empat tuntutan dalam petitum permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu:

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian formil untuk seluruhnya,
  2. Menyatakan pembentukan UU No. 3/2025 tidak memenuhi ketentutan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945,
  3. Menyatakan UU No. 3/2025 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
  4. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Draft yang Disembunyikan

Tak hanya mempersoalkan proses legislasi, mahasiswa yang menggugat juga turut mempertanyakan keterbukaan informasi mengenai draft RUU TNI yang sangat sulit diakses oleh publik. Termasuk, ketika DPR RI memutuskan untuk menyetujui draft tersebut menjadi undang-undang.

Selain itu, mereka juga mengindikasikan adanya upaya pemerintah untuk mempersempit ruang gerak masyarakat sipil dalam melakukan kontrol terhadap UU TNI. Hal ini dibuktikan dari proses pengesahan UU TNI yang dilakukan secara senyap oleh Presiden Prabowo Subianto pada 26 Maret 2025 lalu.

Dugaan tersebut didasari oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa pengajuan judicial review terhadap sebuah Undang-undang hanya dapat diajukan oleh masyarakat maksimal 45 hari sejak UU tersebut disahkan oleh Presiden.

“UU TNI telah disahkan dan diundangkan dalam lembaran negara oleh Prabowo tanggal 27 Maret. Tetapi, kami masyarakat baru mengetahui bahwa ternyata UU tersebut sudah diundangkan pada tanggal 17 April, melalui wawancara di media. Artinya, ada 21 hari kesempatan kita yang hilang untuk dapat mengajukan uji formil terhadap UU TNI sebagai objek perkara,” ucap Rasyid saat membacakan pernyataan sikap.

Budaya Legislasi Ugal-ugalan DPR RI

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andrie Yunus, turut menyatakan dukungannya kepada para mahasiswa yang menempuh jalur hukum dengan menggugat UU TNI. Dia menilai, beberapa tahun terakhir DPR RI memang kerap melakukan proses legislasi secara ugal-ugalan dan tidak memperdulikan suara publik.

Judicial Review itu muncul jelas bukan tanpa sebab, justru sebabnya banyak. Asas keterbukaan dan partisipasi publik di RUU TNI kemarin itu sangat minim, bahkan tidak ada. Proses legislasinya pun tidak cermat karena dilakukan secara terburu-buru,” terang Andrie.

Andrie, sebagai salah satu sosok yang turut menginterupsi rapat Panja DPR RI di Hotel Fairmont Jakarta pada 15 Maret 2025 lalu, menegaskan bahwa proses legislasi seharusnya mempertimbangkan suara-suara rakyat. Terlebih, gelombang aksi di berbagai daerah yang telah menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI menjelang  pengesahan RUU TNI menjadi undang-undang di rapat paripurna.

“Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan pada 2020, menurut hemat kami, itu mengawali budaya proses legislasi ugal-ugalan yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Kemudian, dilakukan juga di RUU Minerba dan RUU BUMN yang juga dikebut dan tidak menyertai partisipasi publik,” lanjutnya.

Dia pun meyakini bahwa salah satu jalur yang efektif untuk ditempuh dalam melakukan perlawanan terhadap UU TNI adalah melalui judicial review. Proses hukum di Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai masih bisa menjadi modal bagi masyarakat sipil mengambil kembali kontrol atas proses legislasi yang ugal-ugalan.

Baca Juga: Pasal 47 Revisi UU TNI Berpotensi Mengembalikan Dwifungsi TNI
Refleksi Represifitas Aparat dalam Aksi Tolak RUU TNI

Tekanan pada Masyarakat Sipil Menguat Ketika Mengkritik Legislasi UU TNI

Andrie yang juga tergabung dalam Koalisi Reformasi Sektor Keamanan dan Pertahanan mengaku bahwa doktrin militerisme sejatinya telah mengakar dalam pemerintahan Indonesia. Pasalnya, praktik-praktik pengembalian militer untuk masuk ke dalam sektor bisnis dan jabatan sipil sejatinya telah terjadi, bahkan sejak sebelum UU TNI disahkan.

“Jadi, sebenarnya ini (UU TNI) seolah sebagai stempel dan puncak bahwa militer dikembalikan lagi ke dalam urusan sipil. Misal, ada konflik agraria di daerah, terutama yang statusnya Proyek Strategis Nasional, itu militer akan dilibatkan,” ucapnya.

Andrie memperingatkan bahwa salah satu pasal yang paling berbahaya dalam UU TNI adalah mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dapat berdampak negatif pada penanganan kasus konflik antara masyarakat sipil dan negara. Ia mengaku kasus-kasus yang ditangani oleh KontraS maupun koalisi lainnya kerap kali dipenuhi tindak kekerasan karena penggunaan kekuatan militer yang berlebihan.

“Militer itu dilatih untuk perang, memegang senjata, serta menjaga kedaulatan, dan pertahanan negara, tapi seharusnya tidak untuk memerangi rakyat. Perlu digarisbawahi juga, senjata itu tidak bisa diajak berdebat, tidak bisa diajak berdiskusi,” tegasnya.

Militerisme juga semakin terlihat nyata, kala aparat-aparat TNI dilaporkan masuk ke dalam ruang-ruang pendidikan di sekolah maupun universitas. Praktik tersebut dinilai dapat menjadi bibit kembalinya program NKK-BKK yang sebelumnya digunakan untuk meredam suara kritis golongan mahasiswa pada era orde baru.

Masifnya sikap antikritik yang dilancarkan pemerintah untuk membungkam masyarakatnya menjadi alarm peringatan bahwa kebebasan berpendapat, kebebasan akademik, hingga kebebasan untuk bersikap kritis kini semakin sempit. KontraS bahkan sempat merasa terintimidasi dengan hadirnya kendaraan taktis TNI jenis Maung yang hilir mudik tepat di depan kantor mereka selama beberapa hari.

Kendati demikian, Andrie menegaskan bahwa semangat KontraS dan gerakan masyarakat sipil tak akan pudar oleh tekanan apa pun. Terlebih, KontraS juga tetap berpegang teguh pada salah satu tujuan pendiriannya, yaitu reformasi total industri militer.

“Teror adalah upaya culas penguasa untuk mengkerdilkan suara-suara warga negara yang kritis. Tapi, perlu ditegaskan bahwa teror apapun tidak akan melemahkan kami untuk terus mengadvokasi dan mendorong reformasi total institusi militer,” tutup Andrie.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut liputan Ridho Danu Prasetyo atau artikel lain tentang UU TNI

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//