• Kolom
  • KELAKUAN NETIZEN: Bahaya Laten Nonton Pejabat Konten

KELAKUAN NETIZEN: Bahaya Laten Nonton Pejabat Konten

Apakah kita tak pernah kapok merasakan kebijakan yang dikeluarkan untuk popularitas semata, tak bagus dalam keberlanjutan dan eksekusi lapangannya?

M. Fasha Rouf

Per 2025 mahasiswa S3 Komunikasi Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Media sosial, yang sekarang banyak digunakan oleh para pejabat, bukan teknologi netral. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

16 Mei 2025


BandungBergerak -Pemilihan langsung kepala daerah tahun 2024 lalu melahirkan ragam sosok pemimpin. Dibanding memilih kriteria pimpinan ideal dengan ketat di antara banyak kandidat, tentu rakyat lebih mudah memilih sosok yang paling akrab. Hasilnya, mendapatkan kemenangan melalui taktik kampanye dan tawaran program populis jadi kunci kemenangan. Para politisi berlomba-lomba untuk menjadi tersohor, baik melalui sosok maupun program pokok.

Selebritas papan atas masih diminati untuk meraup kesuksesan. Setidaknya enam pimpinan daerah lahir dari artis Ibu Kota. Borokoknya, lima di antaranya memimpin daerah di Jawa Barat.

Selain selebritas tulen, para politisi tradisional juga kini harus berupaya keras untuk menjadi selebritas bagi konstituennya. Saluran paling mudah dan murah adalah melalui media sosial. Pemenang di beberapa daerah dapat dipastikan sudah berinvestasi sejak lama untuk mendapatkan popularitas yang tinggi di media sosial.

Di antara strategi yang saya amati, konten emosi masih menjadi kunci keberhasilan menggayung suara rakyat. Para politisi berupaya menampilkan sosok yang sangat humanis. Humanis dapat diartikan peduli terhadap kaum yang lemah dan perlu pertolongan, tetapi bisa juga tiba-tiba menjadi maung yang menerkam berbagai ketidakberesan. Sekali lagi, kuncinya adalah emosi.

Media Sosial Tak Netral

Sayangnya, masih banyak rakyat yang menganggap bahwa media sosial adalah teknologi yang netral. Teknologi yang simsalabim dapat menggaungkan suara kita hingga istana negara menyerap aspirasinya. Justru anggapan itulah yang pertama kali harus dirobohkan. Media sosial bukan teknologi netral. Ia lebih menguntungkan bagi mereka yang memiliki modal, baik untuk membayar iklan maupun memanipulasi pesan.

Merlyna Lim, seorang mojang Bandung yang kini jadi sarjana komunikasi di Carleton University Kanada, membedah titik-titik buruk yang fatal dalam medan pertempuran politik di media sosial Asia Tenggara. Ia menguraikan hal tersebut dalam buku terbarunya, Social Media and Politics in Southeast Asia (2024).

Pertama-tama, menurutnya media sosial tidak pernah memberikan keadilan: “First and foremost, the internet is never inherently egalitarian” (hlm. 4). Dalam sebuah diskusi di STF Driyakara, dia menuturkan analogi menarik. Sistem dasar media sosial seperti sihir pemasaran yang mereduksi pilihan warna baju: merah muda untuk perempuan, dan biru untuk laki-laki. Pembatasan pilihan warna konsumen ke dalam dua pilihan (binary option) tersebut bertujuan mempermurah biaya produksi dan mempermudah kita dikuasai.

Oleh sebab itu, Lim berargumen (hlm. 69) bahwa ide dasarnya adalah bahwa para pemilih, seperti halnya konsumen dalam konteks komersial, lebih dipengaruhi oleh daya tarik emosional sebuah merek politik daripada janji dan kebijakan nyata yang ditawarkan. Konten-konten yang dikeluarkan oleh para kandidat menjadi sihir emosi. Ia menyebutnya sebagai mekanisme algoritma pemasaran yang kemudian bergeser menjadi algoritma politik. Di algoritma politik, konten harus dibuat sepopulis mungkin untuk meraih keterbacaan, popularitas, dan viralitas.

Karenanya, tangisan, cacian, pembelaan, dan beragam simbol emosi lain terus membanjiri kanal media sosial Indonesia sepanjang 2024. Sudahlah Pilpres yang penuh drama, ditambah Pilkada serentak yang tak kalah melelahkan.

Celakanya, algoritma politik tersebut tak hanya berhenti pada saat masa pemilihan, tetapi justru bahayanya masih berlanjut ketika pejabat konten tersebut duduk di bangku kekuasaan. Lim (2024) mencontohkan beberapa pimpinan di Asia Tenggara memelihara pasukan media sosialnya untuk menjaga kebijakan. Contohnya terjadi polarisasi yang kuat saat saat pelemahan KPK di Indonesia. Antara netizen pro-KPK dan buzzer yang membelanya. Inilah yang perlu kita waspadai saat ini.

Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: E(x)-Commerce
Pelajaran dari #PeringatanDarurat

Lebah Penjaga Kebijakan

Pertama, kita sebagai rakyat harus menyadari bahwa kita bukanlah pasukan penjaga politisi. Kita adalah pemilih dan orang yang paling terdampak atas apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Namun, kesadaran ini memang sulit terbangun. Di bisnis baju, rakyat harus mengeluarkan uang untuk menjadi konsumen loyal. Di dalam bisnis politik digital, rakyat gratis menonton dan mendukung pejabat idolanya. Rakyat dengan sukarela terjebak menjadi lebah penjaga politisi. Mereka siap menyengat siapapun yang mengusik konten pejabat idolanya.

Padahal tugas kita sebagai rakyat adalah menjadi kumpulan lebah yang menjaga kebijakan agar menjadi kebajikan bersama. Secara kolektif kita harus menjadi gerombolan lebah yang siap menggigit jika ada kebijakan serampangan.

Kedua, musabab mengidolakan pemimpin dalam setiap kebijakan populisnya, kita seringkali justru kehilangan debat kebijakan yang sehat. Saya sempat menonton debat soal pengiriman siswa yang dicap nakal ke barak militer. Dalam diskusi itu, seberapa kuat pun argumen yang dilontarkan oleh orang yang kontra atau meminta kajian dalam keputusan politik itu, justru dikencingi oleh rakyatnya sendiri. Padahal debat yang sehat untuk menghasilkan kebijakan yang terbaik justru akan menguntungkan kita sebagai rakyat biasa.

Ketiga, jika keasyikan menonton konten pejabat beken, kita akan terbiasa menonton rakyat yang ditelanjangi pejabatnya sendiri. Hal ini didorong oleh pergeseran medium konten pejabat. Sebelumnya, bentuk media sosial yang lebih banyak digandrungi dan efektif untuk komunikasi politik adalah teks dan gambar. Sementara saat ini, medium yang lebih banyak diminati adalah video. Di sana, rakyat seringkali dijadikan objek konten. Baik atau buruk. Sedih atau senang.

Pola ini akan menimbulkan ketakutan sendiri bagi rakyat untuk mengritik atau berdebat langsung dengannya. Dibandingkan dengan dialog yang dibuat vlog, rakyat bisa jadi lebih berani untuk berdiskusi tanpa sorot kamera. Dalam vlog, kalaupun ada warga yang berani mencoba memberi masukan pada kebijakannya, fans beratnya pasti langsung menghabisi di dalam konten yang diunggah dan dimonetasi tersebut. Baik dengan doxing maupun komentar-komentar aneh lainnya.

Keempat, kita menjadi tak lebih hati-hati akan kerapihan birokrasi dan keberlanjutan setiap keputusan yang dikeluarkan dalam sebuah konten. Saya tak bisa membayangkan bagaimana mekanisme teknokrasi yang berjalan ketika pemimpinnya seringkali memutuskan secara reaktif dan menayangkannya langsung di media sosial. Di dalam kantor pemerintahannya, apakah ada tim media monitoring khusus yang melihat setiap ujaran dari pimpinannya sendiri? Lalu tim media monitoring tersebut harus merinci tindak lanjut yang harus dilakukan?

Saya tak menampik bahwa setiap birokrasi harus adaptif, termasuk mungkin karena disrupsi gaya kepemimpinan dan hadirnya teknologi digital. Namun, apakah kita tak pernah kapok merasakan kebijakan yang dikeluarkan untuk popularitas semata, tak bagus dalam keberlanjutan dan eksekusi lapangannya?

Di era media sosial, perjuangan rakyat semakin sulit. Kita seringkali terjebak pada gerakan emosional dan reaktif atas suatu kejadian politik. Napas panjang kita makin susah terjaga karena bisa teralihkan karena lahirnya bermacam isu baru di media sosial. Atau bisa jadi kita pun sudah terlalu ruwet dan rumit untuk menghadapi kehidupan nyata di luar sosial media.

Alamak, tidak cukupkah kita tertipu oleh sihir pejabat populis yang melesat ketenarannya karena media sosial? Baik yang di ujung jabatannya mengangkangi hukum maupun yang mencuri uang.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//