• Berita
  • Pedagang di Pasar Sehat Banjaran Mengeluhkan Jualannya tidak Laku

Pedagang di Pasar Sehat Banjaran Mengeluhkan Jualannya tidak Laku

Pasar Sehat Banjaran merupakan pasar hasil revitalisasi yang sempat menuai penolakan dari para pedagang. Omzet para pedagang memprihatinkan.

Situasi di Pasar Sehat Banjaran, Kabupaten Bandung, 16 Mei 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam18 Mei 2025


BandungBergerak.idGedung Pasar Sehat Banjaran berdiri megah. Di atas lahan seluas 1,3 hektare, bangunan pasar anyar ini menjulang dilengkapi kubah bergaya masjid. Meski telah lebih dari dua tahun dibangun, proyek revitalisasi ini belum sepenuhnya rampung.

Pasar yang dibangun melalui skema kerja sama Bangun Guna Serah (BGS) antara Pemerintah Kabupaten Bandung dan PT Bangun Niaga Perkasa (PT BNP) ini terdiri atas tiga lantai dan tiga blok. Blok pertama diperuntukkan bagi komoditas nonsembako seperti pakaian, emas, dan kosmetik. Blok kedua dan ketiga diisi pedagang bahan pangan, mulai dari daging, sayuran, hingga makanan basah.

Namun di balik kemegahan fisik pasar ini, para pedagang merasakan tekanan besar. Sejak dipindahkan dari lokasi relokasi di Alun-Alun Banjaran, banyak di antara mereka yang mengeluhkan merosotnya omzet, terutama mereka yang berjualan di lantai dua.

Ajah, pedagang kerudung dan pakaian anak, menempati kios bernomor SB–10 B di lantai dua Blok 1. Sejak pagi hingga sore pada Kamis, 15 Mei 2025, tak satu pun dagangannya laku. Ia bahkan harus menawarkan langsung dagangannya kepada setiap pengunjung yang lewat.

Namun, lantai dua tampak lengang. Hanya para tukang yang terlihat sibuk menyelesaikan kios-kios yang masih dalam proses pembangunan.

“Kalau di lantai dua untuk sekarang kondisinya sangat prihatinlah,” kata Ajah sambil menyesap kopi dari traktiran temannya.

Ia menilai pengunjung enggan naik ke lantai atas, apalagi banyak kios yang masih tutup. Sejak awal Januari ketika ia mulai menempati kios baru, pendapatannya terus menurun. "100 persen," ujarnya, soal penurunan omzet.

Padahal, Ajah telah membayar kontan kios berukuran 2x3 meter seharga 75 juta rupiah. Ia awalnya menolak revitalisasi karena keberatan dengan harga kios yang dianggap terlalu tinggi. Namun setelah pasar lama dibongkar, ia merasa tidak punya pilihan lain.

Ia menduga sepinya pengunjung juga disebabkan minimnya promosi dari pihak pengembang. “Jadi pengunjung juga bingung, banyak yang tutup dibandingkan yang buka,” ujarnya. Ia berharap kios-kios yang sudah dibeli segera diisi untuk menciptakan keramaian.

Masalah lainnya adalah akses parkir lantai dua yang belum dimanfaatkan maksimal. Seharusnya, jika pengunjung memarkir kendaraan di lantai atas, kemungkinan mereka untuk berbelanja di sana meningkat. Realitanya, pengunjung enggan masuk pasar karena tarif parkir dianggap terlalu mahal.

“Sekali parkir itu bayarnya empat ribu (rupiah),” keluh Ajah. Ia berharap harga parkir bisa disesuaikan agar tak menjadi penghalang bagi konsumen.

Sebagai pedagang lama yang telah berjualan di Pasar Banjaran selama 23 tahun, Ajah mengaku masa revitalisasi ini adalah periode terberat. Pernah, selama satu minggu, tak satu pun barang dagangannya laku. Sementara itu, ia tetap harus membayar retribusi harian 5.500 rupiah kepada pengelola pasar.

Namun karena kondisi keuangan yang terbatas, ia hanya mampu membayar 2.000 rupiah per hari. Selisihnya bisa ditagih kembali di akhir bulan. Selain retribusi, ia juga harus membayar biaya listrik sebesar 20 ribu rupiah setiap minggu. Demi bertahan, Ajah bahkan rela menjual kerudung seharga 100 ribu rupiah untuk sepuluh potong, padahal harga normalnya mencapai 200 ribu rupiah.

Baca Juga: Pasar Banjaran dalam Angka, Kebijakan yang tidak Memihak Rakyat akan Meningkatkan Angka Kemiskinan di Kabupaten Bandung
Pasar Banjaran Melawan

Situasi Pasar Sehat Banjaran, Kabupaten Bandung, 16 Mei 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Situasi Pasar Sehat Banjaran, Kabupaten Bandung, 16 Mei 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Kondisi serupa dialami Rohayati, yang akrab disapa Yati. Ia menjual baju seragam sekolah dan pakaian perempuan. Sejak tiga bulan terakhir menempati kios di lantai dua pasar baru, dagangannya sepi pembeli.

“Kalau di lantai 2 jauhlah dari pasar Banjaran yang dulu,” katanya, Jumat, 16 Mei 2025. “Lantai 2 mah kebanyakannya jadi duduk, yang lewatnya juga enggak ada,” tambahnya.

Yati menyebut penurunannya omzetnya mencapai 90 persen, kondisi terburuk yang ia alami sejak mulai berdagang pada 1986. Ia merasa seperti memulai usaha dari nol lagi. Belum lagi beban retribusi harian yang tetap harus dibayar meski tak ada pemasukan.

“Kalau sekarang mah semenjak pindah ke pasar baru apalagi di lantai dua, jadi ngalamin tuh jualan dari nol,” ujarnya.

Masalah lain yang mencuat adalah ketidaksesuaian penempatan kios. Sejumlah pedagang lama seperti Ajah dan Yati semestinya diprioritaskan untuk menempati lantai dasar Blok 1. Tersedia 254 kios di lantai tersebut, sementara jumlah pedagang hanya 214. Namun mereka tetap diarahkan ke lantai dua.

“Awalnya mah gini, saya kan dari awal mau di bawah. Tapi katanya penuh,” kata Ajah. Ia ditawari opsi di lantai dua dengan janji akan ada tangga dari terminal yang langsung mengarah ke atas. Namun hingga kini, ia harus berjuang sendiri mempromosikan dagangannya.

Yati pun pernah protes. Ia dijanjikan akan mendapat tempat di lantai dasar karena termasuk pedagang eksisting. Namun saat hendak membeli kios, ia diberi tahu bahwa semua unit di lantai satu sudah terjual. Akhirnya, ia membeli dua kios ukuran 2x2,5 meter seharga total 180 juta rupiah.

Ia bahkan merasa lebih baik saat masih berjualan di pasar relokasi alun-alun. Di sana, setiap hari dagangannya laku. “Daripada sekarang diam di lantai dua, mendingan di tempat relokasi,” ujarnya.

Baik Ajah maupun Yati menduga ada pihak  yang membeli kios dalam jumlah besar untuk disewakan atau dijual kembali. “Jadi kebanyakan satu orang atau ada yang punya 24 (kios), yang 12, yang 10, nah gitulah,” ujar Yati.

Diberitakan sebelumnya, revitalisasi Pasar Banjaran dilakukan Pemkab Bandung menggandeng swasta. Pada 2023, banyak pedagang yang menolak langkah ini karena khawatir harga kios melambung tinggi. Revitalisasi juga dinilai kurang berpihak kepada kepentingan para pedagang. Aksi penolakan revitalisasi dilakukan melalui berbagai rangkaian unjuk rasa, menggugat ke PTUN Bandung, dan mengadu ke Komnas HAM.

Pihak Pengelola Pasar Banjaran

Anggi, tim pemasaran PT BNP, membenarkan bahwa memang ada pihak-pihak yang memiliki lebih dari satu kios di pasar baru ini. “Karena memang dari awal pun mereka memiliki kepemilikan lebih dari satu,” ujar Anggi, saat ditemui di ruangannya di lantai tiga Pasar Sehat Banjaran.

Anggi menyatakan bahwa semua kios di lantai satu Blok I sudah habis terjual, meskipun banyak yang belum ditempati. Ia juga menyebut bahwa beberapa pedagang eksisting tidak mampu membeli kios, sehingga kepemilikannya berpindah ke pihak lain. “Itu sah-sah aja,” katanya.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa semua pedagang lama tetap diakomodasi. “Pedagang yang eksisting jangan sampai tidak ada yang kebagian dan sejauh ini alhamdulillah semuanya sudah terakomodir,” tambahnya.

Sebagai upaya meramaikan pasar, Anggi mengatakan akan digelar grand opening dan berbagai acara, terutama di lantai tiga. Pihak pengembang juga berencana menampung aspirasi pedagang dan memperkuat promosi. “Itu kita sedang jalankan,” ujarnya.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Yopi Muharamatau artikel-artiikel lain tentang Pasar Banjaran

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//