• Berita
  • Pergeseran Usia Nikah pada Perempuan, Menikah Bukan Agenda Perlombaan

Pergeseran Usia Nikah pada Perempuan, Menikah Bukan Agenda Perlombaan

Perempuan sering kali dituntut menikah di usia dini. Anggapan ini sedikit-sedikit mulai digeser. Perempuan berhak memilih mana prioritas dalam hidupnya.

Pernikahan Tina Kosasih dan Joi Rumengan diwakili dua pasang sepatu, di Goethe Institut Bandung, Minggu (24/09/2022). Pernikahan ini diadaptasi dari cerpen Tina Kosasih dan Joi Rumengan yang ditulis Suina Latersia dan Tegar Pratama. (Foto: Mawaddah Daniah/BandungBergerak.id)

Penulis Aqeela Syahida Fatara22 Mei 2025


BandungBergerak.id – Retty Rizda, perempuan yang saat ini berusia 28 tahun, mengaku masih ingin fokus pada kariernya dan belum terpikirkan untuk menikah pada waktu dekat. Sama dengan Retty, Donna Sita yang tahun ini juga menginjak usia 28 tahun, merasa masih memprioritaskan kariernya di salah satu perusahaan multinasional di Indonesia.

Keputusan Retty dan Donna menjadi potret sebagian perempuan yang menyatakan bahwa pernikahan bukanlah agenda main-main atau perlombaan. Mereka tidak khawatir dianggap terlambat menikah atau dituntut untuk menikah di usia tertentu. Bagi mereka, perempuan punya pilihan untuk hidup mapan dan meraih cita-cita di saat lajang.

Pendirian tersebut tidak lepas dari dukungan keluarga dan lingkungan sekitar, seperti yang dialami Retty. Keluarganya sadar akan pentingnya kebebasan bagi setiap perempuan untuk menentukan jalan hidupnya.

“Keluarga pun tidak memburu-burui harus nikah umur berapa,” ujar Retty, ketika menceritakan bahwa keluarganya cukup mendukung keputusan yang dia ambil, 14 Mei 2025. Bagi Retty, umur tidak mempengaruhi kesiapan seseorang dalam memutuskan untuk menikah.

Pengalaman senada disampaikan Donna Sita. Ia memiliki lingkungan dan keluarga yang menghargai setiap pilihan hidupnya. Ia bersyukur jarang mendapatkan pertanyaan menyebalkan seperti “kapan menikah?” dan “sampai kapan hanya ingin fokus pada karier?”.

Ketakutan untuk tidak memiliki jodoh jika terlalu lama menunda pernikahan, tidak berlaku baginya. Donna percaya, jika memang sudah waktunya maka ia akan menikah. Ia menepis asumsi umum yang menyatakan laki-laki tidak akan mau menikah dengan perempuan yang lebih mapan darinya.

“Aku punya prinsip bahwa kita akan memiliki pasangan yang sesuai dengan kita saat ini,” ucap Donna. Hal ini, karena memiliki pasangan yang sesuai impian, justru menjadi faktor pemicu untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Secara makro, memang ada tren pergeseran mengenai usia menikah perempuan di Indonesia, meskipun persentasenya jauh lebih kecil dibanding suara mayoritas. BPS 2024 mencatat, mayoritas perempuan di Indonesia menikah pada umur dibawah 24 tahun dengan persentase sebesar 82,82 persen.

Bahkan Good Stats mencatat angka penurunan pernikahan yang konsisten mencapai 28,63 persen atau sekitar 632.791 kasus pernikahan. Mereka memilih untuk melanjutkan karier dan pendidikan sebelum menikah. Mereka ingin mempersiapkan diri lebih baik sebelum memasuki tantangan-tantangan dalam kehidupan pernikahan.

Di luar negeri, fenomena penurunan angka pernikahan lebih besar lagi, misalnya di Jepang. Fakta ini diungkap jurnal berjudul “Fenomena Penurunan Angka Pernikahan dan Perkembangan Budaya Omiai di Jepang” yang ditulis Budi Mulyadi. Ia menyebut, salah satu faktor terjadinya fenomena ini adalah wanita yang memilih untuk bekerja dibandingkan dengan mengurus keluarga, apalagi memiliki anak.

Banyak perempuan Jepang juga merasa bahwa ekonomi akan lebih sulit jika sudah menikah. Berdasarkan sensus nasional pada tahun 2010, terdapat 34,5 persen perempuan di Jepang yang belum menikah di umur 30-34 tahun.

Fenomena pergeseran usia nikah diamati Fenny Aulia, perempuan berusia 19 tahun yang saat ini masih fokus dengan pendidikannya. Sebelumnya, ia memiliki target menikah muda atau sebelum berumur 25 tahun. Namun, seiring bertambahnya usia, ia merasa banyak terpapar dengan cerita-cerita pernikahan orang lain dan kondisi sosial masyarakat yang semakin mengkhawatirkan.

Peserta aksi membawa poster saat peringatan Hari Perempuan Intenasional di Bandung, 8 Maret 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak).
Peserta aksi membawa poster saat peringatan Hari Perempuan Intenasional di Bandung, 8 Maret 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak).


Prioritas selain Menikah dan Menjadi Ibu

Dorongan menikah lebih cepat tidak hanya muncul dari asumsi awam. Narasi ini juga muncul dari lembaga dan pandangan medis. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pernah merilis bahwa umur ideal bagi perempuan untuk menikah adalah saat menginjak 21 tahun.

Dari sisi medis, penelitian yang dilakukan McCarthy dan Maine (1992) menyebutkan, perempuan yang mengandung di usia 30 tahun memiliki kemungkinan terjadinya risiko tinggi. Hal ini berkaitan dengan faktor kesehatan reproduksi.

Syifa Khairunnisa, mahasiswi berusia 20 tahun asal Bandung yang memiliki target untuk menikah paling lambat ketika ia berusia 30 tahun, juga menyadari akan adanya risiko itu. Meskipun begitu, ia merasa bahwa masih banyak hal yang ingin ia lakukan sebelum akhirnya memilih untuk menikah.

Lahir dari seorang ibu yang juga memilih menikah di usia matang, membuatnya sadar bahwa perempuan boleh untuk memiliki prioritas selain menikah dan menjadi ibu. Tidak jauh berbeda dengan Retty dan Donna, Syifa mendapati keluarga dan lingkungan yang cenderung santai ketika membahas mengenai pernikahan.

“Tidak ada paksaan juga, jadi di keluarga-ku membebaskan anak-anaknya,” ungkap Syifa.

Pernikahan baginya adalah bagaimana menemukan laki-laki untuk menjadi teman hidupnya. Ia menyadari bahwa di masa depan ia tidak dapat hidup sendiri. Ia pun memimpikan kelak memiliki keluarga kecil yang dapat menemani hari tuanya, memiliki anak yang usianya tidak terlalu jauh dengannya.

Namun sebelum impian itu terwujud, ia kembali pada prinsipnya. Ia akan menikah ketika sudah merasa siap, karena baginya menikah bukan hanya sekadar untuk terlepas dari zinah atau menggugurkan kewajiban.

Baca Juga: Perempuan dalam Rumus yang Tak Pernah Netral
IWD 2025: Seruan Kesetaraan bagi Perempuan

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu, 8 Maret 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Peringatan Hari Perempuan Sedunia di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu, 8 Maret 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)



Tekanan Sosial pada Perempuan Lajang

Menikah bagi perempuan maupun laki-laki adalah pilihan jalan hidup. Namun, di tengah budaya kolektivistik yang melekat kuat dalam masyarakat Indonesia, perempuan lebih sering berhadapan dengan tekanan sosial. Dia dianggap belum lengkap sebagai perempuan jika belum menikah.

Penelitian yang dilakukan oleh Ema Septiana dan Muhammad Syafiq dari Program Studi Psikologi Universitas Negeri Surabaya mengungkap fenomena ini lewat studi fenomenologi terhadap perempuan lajang di Surabaya. Dalam budaya Indonesia yang masih sarat nilai patriarkis, perempuan yang belum menikah kerap dinilai belum memenuhi peran sosialnya secara utuh.

“Setiap orang diharapkan untuk memasuki pernikahan pada usia dewasanya,” tulis Septiana dan Syafiq [Jurnal Psikologi Teori & Terapan 2013, IDENTITAS “LAJANG” (SINGLE IDENTITY) DAN STIGMA: STUDI FENOMENOLOGI PEREMPUAN LAJANG DI SURABAYA, diakses Kamis, 22 Mei 2025]. 

Dalam kerangka budaya yang menempatkan pernikahan sebagai ritus penting, Septiana dan Syafiq menyatakan status perempuan lajang dianggap menyimpang dari harapan sosial yang mapan. Tekanan ini diperparah oleh pandangan bahwa peran utama perempuan adalah menjadi istri dan ibu. Masyarakat cenderung memandang perempuan yang belum menikah sebagai individu yang belum selesai menjalankan fungsinya. Dalam budaya Jawa, misalnya, perempuan yang belum menikah dianggap belum menjadi perempuan seutuhnya.

Penelitian Kumalasari (2007), yang dikutip dalam studi ini, memperlihatkan gambaran serupa. Sepuluh perempuan profesional berusia 30–50 tahun di Sleman, Yogyakarta, yang berprofesi sebagai pengusaha, guru, dosen, dan pengacara, mengaku lebih sering diingat sebagai "yang belum menikah" daripada sebagai profesional dengan capaian masing-masing.

Dorongan untuk menikah tidak hanya datang dari keluarga, tetapi juga dari lingkungan kerja dan sosial. Alih-alih mendapat dukungan atas profesi dan pilihan hidup mereka, para perempuan ini justru dihadapkan pada pertanyaan yang berulang dan mengusik: “Kapan menikah?”

Pertanyaan itu, menurut Indriana dkk. (2007), sering kali dipersepsi sebagai bentuk tekanan dan campur tangan terhadap urusan pribadi. Bagi banyak perempuan lajang, ini bukan sekadar pertanyaan basa-basi, tapi simbol ekspektasi budaya yang terus membayangi kehidupan mereka.

*Kawan-kawan yang baik silakan menengok artikel-artikel lain dari Aqeela Syahida Fatara, atau tulisan lain tentang Karier Perampuan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//