Perempuan dalam Rumus yang Tak Pernah Netral
Aku menemukan bahwa menjadi perempuan dalam sains bukan kelemahan, ia adalah kekuatan yang terus bergerak maju.

Eisia Azzahra
Mahasiswa Fisika UIN Sunan Gunung Djati Bandung
25 April 2025
BandungBergerak.id – Aku tumbuh di rumah yang mencintai logika, di mana angka dipercaya tidak pernah berbohong. Ilmu pengetahuan dikenalkan sebagai sesuatu yang objektif, netral, dan adil. Tapi seiring aku menapaki dunia akademik sebagai mahasiswi Fisika, aku belajar: sains memang bicara fakta, tapi ia tumbuh di dunia yang tak selalu netral.
Di jurusanku, perempuan tidak banyak, tapi mereka hadir dengan daya yang luar biasa. Kami bukan hanya menempati kursi-kursi di ruang kelas, kami mengisi ruang-ruang diskusi dengan pemikiran tajam, membangun percakapan, menantang batas. Kami menolak hanya menjadi nama di absen. Kami memilih menjadi bagian dari sejarah.
Ilmu pengetahuan, konon, adalah ruang logis dan universal. Tapi aku belajar bahwa bahkan ruang paling ilmiah pun tak steril dari bias sosial. Masih ada yang bertanya “Yakin bisa?” bukan karena ragu pada fakta, tapi karena ragu pada siapa yang menyampaikannya. Tapi kami sudah terlalu terbiasa menjawab keraguan dengan kerja keras, dan menghadirkan jawaban lewat pencapaian.
Representasi perempuan dalam sains bukan sekadar tentang keberadaan, tapi tentang kekuatan. Ini tentang perempuan yang memimpin riset, memecahkan persoalan kompleks, dan membuktikan bahwa keberanian untuk berpikir kritis tidak mengenal jenis kelamin. Bahwa keakuratan bukan milik satu suara saja.
Perempuan tidak hanya menjadi subjek dalam ruang eksperimen, kami adalah penulis makalah, pemegang mikroskop, pemecah kode-kode kosmos. Kami bukan pengecualian; kami bagian dari pola besar yang pelan-pelan sedang ditata ulang.
Baca Juga: Perempuan-perempuan Pembela HAM dari Bandung Melawan Penggusuran
Wonoja Bandung Terus Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan
Perempuan dalam Bayang-bayang Agama, Perspektif Buddhis dan Bahai
Perempuan dalam Sains
Dan di balik semua rumus dan rumitnya logika fisika, ada juga peluh dan keteguhan yang tak tercatat dalam jurnal ilmiah. Ada perjuangan mengatasi rasa ragu yang disisipkan, bukan oleh data, tapi oleh narasi lama yang menganggap sains terlalu kaku untuk disentuh oleh kelembutan dan intuisi.
Tapi justru di situlah letak kekuatannya, perempuan dalam sains bukan hanya membawa logika, tapi juga empati, intuisi, dan perspektif yang memperkaya cara kita memahami dunia. Kami tak hanya menghitung perubahan, kami menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.
Aku percaya pada logika, pada eksperimen, pada kebenaran yang lahir dari pengamatan. Tapi aku juga percaya bahwa dunia yang lebih adil butuh keberanian untuk melihat ulang siapa yang diberi ruang, dan siapa yang masih harus mengetuk pintu.
Sains mengajarkan aku tentang gaya, energi, dan gravitasi. Tapi kehidupan mengajariku tentang tekad, ketangguhan, dan suara. Dan aku bersyukur, karena di antara persamaan-persamaan rumit itu, aku menemukan bahwa menjadi perempuan dalam sains bukan kelemahan, ia adalah kekuatan yang terus bergerak maju. Ia adalah bentuk baru dari rumus yang kita tulis bersama: lebih inklusif, lebih jujur, dan lebih berani.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya tentang perempuan