Wonoja Bandung Terus Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan
Bahaya femisida bergema di Taman Cikapayang, Kota Bandung. Kekerasan terhadap perempuan menjadi pintu masuk bagi femisida.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah26 Desember 2024
BandungBergerak.id - Kekerasan terhadap perempuan harus dihapuskan serta dicabut dari akarnya. Apalagi femisida, pembunuhan terhadap perempuan. Femisida sering kali dilatarbelakangi kekerasan berbasis gender.
Untuk mengingatkan publik tentang bahaya kekerasan terhadap perempuan khususnya femisida, Aliansi Simpul Puan Bandung pada Aksi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) memperingatinya dengan tema ‘Bandung Bermartabat Tapi Wanojana Dibabat’ di Taman Cikapayang, Kota Bandung, Sabtu, 14 Desember 2024.
Aksi ini merupakan acara pamungkas dari rangkaian kampanye antikekerasan terhadap perempuan yang biasa dilakukan selama 16 hari mulai 25 November hingga 10 Desember. Rentang waktu tersebut dipilih untuk menghubungkan secara simbolik antara kekerasan perempuan, hak asasi manusia (HAM), dan menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM.
Aksi ini diwarnai juga dengan orasi-orasi, pembacaan puisi, penampilan musisi, dan teatrikal. Beberapa poster tuntutan turut menghiasi, di antaranya menyuarakan "Tak ada damai untuk kekerasan seksual, tuntaskan kasus tanpa kompromi", "Hentikan pembunuhan terhadap perempuan", dan seruan lainnya.
Dinamisator lapangan 16 HAKTP Ainul Mardiyah mengatakan, aksi ini sebagai peringatan sejarah tentang bagaimana perempuan harus berkorban memperjuangkan pemenuhan haknya. Hingga saat ini, kondisi perempuan baik dari sektor ekonomi, sosial, dan politik masih terdapat diskriminasi.
Menurut Ainul, di sektor ekonomi perempuan di Indonesia menghadapi upah murah dengan nilai lebih rendah ketimbang laki-laki. Ditambah lagi tidak ada tunjangan khusus bagi perempuan hamil dan haid.
Sedangkan di sektor politik, perempuan masih menghadapi pembatasan dalam berorganisasi dan menyampaikan pendapat. Bahkan di pemerintahan atau politik perempuan hanya dikasih 30 persen kursi, itu pun selalu tak terpenuhi.
Ainul juga menyebut, perempuan rentan terjerat stigma dan terkungkung budaya patriarki. Ada pandangan bahwa perempuan tidak harus sekolah tinggi-tinggi. “Adanya budaya partiarki ini sehingga menjadikan perempuan itu mengalami penindasan yang berlipat ganda,” kata Ainul saat ditemui BandungBergerak.
Menyoal tema "Bandung Bermartabat Tapi Wanojana Dibabat", Ainul menuturkan saat ini Bandung sebagai kota yang besar namun masih banyak ditemukan persoalan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan, terutama kasus femisida.
“Dibabat itu maksudnya kan penindasan-penindasan banyak itu secara gamblang walaupun secara tidak langsung perempuan dibatasi pergerakan gitu loh. terus ada juga kasus perempuan yang dibunuh karena dia perempuan,” jelas Ainul.
Baca Juga: Menjaga Jejak Perjuangan Perempuan di Bandung Melalui Monumen Laswi, Sebuah Eksplorasi Ingatan
SABTU SORE #6: Perempuan di Panggung Politik, Dijegal Sistem dan Dipinggirkan Stigma Sosial
Bandung Melawan Femisida
Fenomena Femisida memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Peristiwa ini sering diberitakan di televisi dan media online. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 159 kasus femisida, dengan jenis terbanyak adalah femisida intim yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi.
Jumlah kekerasan terhadap perempuan di Kota Bandung pun cenderung meningkat. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung mencatat, dalam kurun 2019-2024 peningkatan jumlah kekerasan terhadap perempuan meningkat di tahun 2023, yaitu mencapai 433 kasus.
Maka, pada kampanye 16 HAKTP ini para aktivis menyerukan pembentukan ruang-ruang aman di Kota Bandung.
“Sebenarnya narasi-narasi tuntutan-tuntutan yang dibawa itu, untuk menciptakan ruang aman untuk perempuan, teman-teman queer, terus juga menghapuskan femisida, selain itu juga menciptakan Bandung yang aksesibilitas,” ungkap Dalwa, aktivis Simpul Puan.
Perempuan yang aktif di LBH Bandung ini menjelaskan, perbedaan antara femisida dan pembunuhan perempuan biasa. Femisida terjadi dengan motif pelaku didasarkan pada ego maskulinitas. “Jadi dia dibunuh hanya karena dia perempuan,“ beber Dalwa.
Untuk itu, penghapusan femisida harus terus disuarakan. Pelaku femisida mesti dihukum setimpal agar memberikan efek jera.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel Perempuan