Tradisi, Haji, dan Hiji
Ibadah haji tidak bersifat ritual semata, tapi memberikan dimensi sosial (horizontal). Mulai dari status sosial, gerakan perubahan sosial, hingga legitimasi politik.

Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
23 Mei 2025
BandungBergerak.id – Saat asyik membaca tulisan Haji Ilegal karya Ija Suntana, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang dimuat di Kompas edisi Senin, 12 Mei 2025, tiba-tiba seorang kawan bertanya, “Naha bet hente ngiring ka pangajian walimatussafar Pa Ahmad?”
Kujawab dengan singkat, “Pan teu diulem!”
Dalam tulisan bertajuk Mengenal Tradisi Walimatussafar Sebelum Berangkat Haji dijelaskan bahwa umat Muslim di Indonesia memiliki tradisi turun-temurun yang disebut walimatussafar, sebagai bentuk syukuran sebelum berangkat ke Tanah Suci.
Jejak Walimatussafar
Tradisi ini berakar dari masa ketika ibadah haji merupakan sebuah perjalanan panjang dan penuh pengorbanan. Tidak hanya soal harta dan benda, tapi erat kaitannya dengan kesiapan jiwa menghadapi perjalanan jauh ke Arab Saudi. Maka, sebagai bentuk permohonan keselamatan, masyarakat mengadakan walimatussafar.
Secara leksikon, istilah walimatussafar berasal dari bahasa Arab, walimah (hajatan) dan safar (perjalanan). Ya secara sederhana, bermakna hajatan untuk perjalanan. Namun secara konteks, walimatussafar adalah bentuk syukuran sekaligus doa bersama yang dilakukan sebelum bepergian jauh, khususnya untuk ibadah haji.
Dalam publikasi Tradisi Haji dalam Masyarakat Beberapa Daerah di Indonesia, disebutkan bahwa walimatussafar biasanya digelar sebulan (beberapa hari) menjelang keberangkatan. Tradisi ini menjadi bentuk ungkapan syukur, mengingat betapa sulitnya menunaikan ibadah haji di masa lalu. Akses ke Tanah Suci tidak semudah sekarang, yang bisa dijangkau dengan pesawat.
Dahulu, bahkan ada yang menumpang kapal dagang VOC demi bisa berhaji, sebagaimana dicatat Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia.
Pelaksanaan walimatussafar umumnya melibatkan banyak orang. Untuk yang berhajat biasanya mengundang keluarga, kerabat, dan warga sekitar. Persiapan dilakukan bersama-sama, penuh semangat gotong royong. Acara diisi dengan doa bersama, tausiyah, dan jamuan makan. Walhasil, ada yang menyembelih dua (tiga) ekor kerbau sebagai sajian.
“Untuk menyiapkan acara walimatussafar itu kira-kira menghabiskan biaya sekitar Rp 16.125.000, belum termasuk tenda dan kebutuhan lainnya. Menurut informasi Hafidz (narasumber penelitian), ada rekannya yang pada tahun 2017 mengundang 1.000 orang dan menyembelih dua ekor kerbau,” tulis Dadi Darmadi dan tim dalam publikasi tersebut.
Setidaknya ada empat makna utama dalam tradisi walimatussafar: Pertama, Menguatkan silaturahmi antar kerabat, tetangga, dan masyarakat. Kedua, Kesempatan untuk saling memaafkan, terutama antara calon jemaah haji dan orang-orang yang ditinggalkan, agar berangkat dalam keadaan bersih dari dosa. Ketiga, Permohonan doa bersama, agar yang berhaji diberi keselamatan, kesehatan, dan keberkahan dalam menjalankan ibadah. Keempat, Berbagi sedekah, baik dalam bentuk hidangan dari yang berhajat, maupun doa dari para tamu.
Tradisi ini masih lestari hingga kini, menjadi warisan budaya yang sarat makna spiritual dan sosial. (Tempo, Minggu 11 Mei 2024).
Baca Juga: Pawai Obor, Syiar, dan Syair
Pemandu, Pendidik, dan Sosiolog
Gusti, Toleransi, dan Narasi
Hikayat Haji
Perlu diingat, ibadah haji tidak bersifat ritual (syariah, ibadah vertikal) semata, tetapi memberikan dimensi sosial (horizontal), mulai dari status sosial, gerakan perubahan sosial sampai legitimasi politik.
Ini dibenarkan oleh Martin van Bruinessen yang menulis Mencari ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji. Ada kesan orang Indonesia lebih mementingkan haji (kuota tetap haji untuk tahun 2025 sebanyak 221.000 jemaah yang terdiri dari 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus) daripada bangsa lain dan penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi.
Keadaan ini erat kaitannya dengan budaya tradisional Asia Tenggara. Dalam kosmologi Jawa, (Asia Tenggara) pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana kita dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu, tempat angker lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja tetapi dikunjungi untuk mencari ilmu ngelmu (kesaktian) dan legitimasi politik. Pasca orang Jawa mulai masuk Islam, Makkah dianggap sebagai pusat kosmis utama.
Kita tidak tahu kapan orang Jawa yang pertama naik haji, tetapi menjelang pertengahan abad ke- 17 raja-raja Jawa mulai mencari legitimasi politik di Makkah. Pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar Sultan.
Para raja itu beranggapan ihwal gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan Madinah) saja, memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam.
Rombongan utusan dari Banten pulang pada tahun 1638 dan dari Mataram baru sampai pada tahun 1641. Selain gelar Sultan mereka membawa berbagai hadiah dari Syarif Besar kepada sang raja; suatu potongan dari kiswah, kain hitam yang menutup Ka`bah dan yang setiap tahun diperbaharui –yang tentu saja dianggap sebagai jimat yang sangat mangkus.
Untuk pertama kalinya seorang pangeran Jawa naik haji. Putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahhar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Fungsi haji sebagai legitimasi politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten, Hikayat Hasanuddin, yang dikarang sekitar 1700.
Sunan Gunung Jati mengajak anaknya;
“Hai anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karena sekarang waktu orang naik haji, dan sebagai pula santri kamu tinggal juga dahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerti anakku!” Setelah sudah ia berkata-kata, maka lalulah ia berjalan dengan anaknya dan dibungkusnya dengan syal. Maka tiada beberapa lamanya di jalan lalu ia sampai di Makkah, maka lalu di Masjidul Haram. Serta sampai di Masjidul Haram maka lalu dikeluarkannya anaknya dari dalam bingkisan, lalu sama-sama ia thawaf ke Baitullah serta diajarnya pada kelakuan thawaf dan doanya sekalian, serta mencium pada hajarul aswad, dan ziarat kepada segala syaikh, dan diajarkannya rukun haji dan kesempurnaan haji. Setelah sudah ia mendapat haji, maka lalu ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir. Setelah sudah ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir itu, lalu ia pergi ke Medinah serta mengajarkan anaknya ilmu yang sempurna, beserta dengan baiat demikianlah silsilah dan wirid dan tarekat Naqsyabandiyah serta dzikir dan talkin dzikir, dan khirqah serta syughul”
Upaya meningkatkan kharisma naik haji secara supranatural ramai dilakukan. Di sebuah gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan), salah satu pusat penyebaran Tarekat Syattariyah di pulau Jawa, para juru kunci masih menunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui Syaikh Muhyiddin untuk pergi ke Makkah setiap hari Jumat. Di Cibulakan (Pandeglang, Banten) ada sumur yang konon berhubungan dengan sumur Zamzam di Makkah. Menurut riwayat, Maulana Mansur, seorang wali lokal yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui Zamzam dan muncul di sumur ini.
Sampai sekarang masih ada kyai di Jawa yang fanatik, setiap Jumat secara ghaib pergi sembahyang di Masjidil Haram. Semua ini membuktikan betapa kuatnya peranan haji dan hubungan dengan Makkah sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorang dalam pandangan orang Jawa. (Jurnal Ulumul Quran Volume II No 5, 1990:42- 49)
Tapak Tilas Ibrahim
Padahal haji merupakan tonggak awal lahirnya peradaban Islam berbasis keimanan yang kukuh. Serangkaian perintah qurban, thowaf, wukuf, sai, melempar jumrah pun menjadi petanda peradaban Rasul untuk menegakkan keadilan, kemerdekaan, persaudaraan sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Bagi John L. Esposito menguraikan hari adalah menapaktilasi penolakan Ibrahim atas segala godaan setan untuk mengabaikan perintah Tuhan dengan beberapa kali melempari setan dengan batu, di sini disimbolkan dengan tiang batu. Setalah itu, mereka mengorbankan ternak (domba, kambing, sapi, unta) sebagaimana Ibrahim akhirnya diizinkan untuk mengganti anaknya dengan seekor biri-biri jantan. Ini melambangkan para jemaah haji ingin mengorbankan sesuatu yang paling penting bagi mereka.
Aktivitas mengenakan kain putih tanpa jahitan, simbol penyucian diri dari segala kesombongan, keangkuhan; Wukuf di Arafah untuk bertobat, memohon pengampunannya sekaligus merasakan persatuan dan kesetaraan yang mendasari umat Islam seluruh dunia yang melampaui perbedaan-perbedaan ras, ekonomi dan jenis kelamin; Haji wada guna mengulangi ajakan Nabi Muhammad kepada perdamaian dan keharmonian di kalangan kaum muslim. (John L. Esposito,2004:114-116)
Pentingnya ibadah rukun kelima bagi yang mampu, Ali Syariati mengingatkan kepada kita yang diawali dengan cara luruskan niatnya. Halalkah uang yang kita gunakan untuk membiayai keberangkatan kita? Jiwa mana yang kita bawa? Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan di hadapan Tuhan, ataukah jiwa yang hendak memperalat Tuhan demi status baru sebagai manusia yang gila hormat dan sanjungan? Ataukah sekadar memperpanjang gelar yang kita sandang?
Setibanya di Miqat makanya gerbang ritual ibadah haji dimulai dengan memakai baju ihram, segala perbedaan dan pembedaan ras, bangsa, kelas, subkelas, golongan dan keluarga harus ditanggalkan supaya merasa kan dalam satu kesatuan dan persamaan. Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya.
Kaum muslim dari seluruh penjuru dunia setiap tahun diajak untuk berpartisipasi dalam pertunjukan akbar (haji) ini. Semua orang dianggap sama. Tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelami atau pun status sosial. sesuai dengan ajaran Islam "semua adalah satu dan satu adalah semua." Barang siap menyelamatkan hidup seseorang manusia berarti menyelamatkan hidup semua manusia, barang siap membunuh seorang manusia berarti membunuh semua manusia.
Memang benar, haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen (penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi Islam dan ummah) revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagai manusia. Orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Ini sebuah kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke tanah suci di musim haji. Tidak lebih!
Untuk itu, wahai manusia, kembalilah ke asalmu. Tunaikan ibadah haji dan temuilah sahabat terbaikmu yang menciptakanmu dengan sebaik-baiknya makhluk dan Dia sedang menantikan kedatanganmu. Tinggalkan istana-istana kekuasaan, gedung-gedung kekayaan dan kuil-kuil yang menyesatkan. Menyingkirlah dari kawanan binatang yang gembalanya adalah serigala, lalu bergabunglah dengan rombongan Mi'ad yang sedang mendatangi rumah Allah atau rumah umat manusia (Ali Syariati, 2001:19, 20, 30, 33).
Kabah dan Arafah, misalnya, adalah dua simbol yang turut mengaitkan Islam dengan agama monoteis sebelumnya, yang dibawa nabi Ibrahim dan Nabi Adam AS, seperti ditulis Azyumardi Azra. Kabah dibangun atas perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang merupakan Nabi dari agama-agama monoteis (Q.S al-Haj: 78), yang oleh banyak ahli sosiologi dan perbandingan agama sekarang disebut sebagai western religious agama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Arafah adalah simbol dari pertemuan kembali Adam AS dan Hawa setelah mereka terlempar dari surga karena tergoda bisikan Iblis. Wuquf di Arafah, dengan demikian sekaligus merupakan simbolis dari penyatuan kembali nenek moyang manusia dan keturunannya di bawah naungan bukit kasih sayang (jabal al-rahmah).
Ibadah haji itu sendiri melibatkan proses perpindahan dari dataran kehidupan profan kepada keseharian (Ibrahim) disimbolkan dengan pakaian ihram yang serba putih tanpa jahitan. Seluruh ritual-ritual persiapan ini bertujuan untuk menghilangkan perbedaan sehari-hari yang memisahkan kaum muslim satu sama lain, perbedaan jenis gender, sosial, ekonomi, kebudayaan, etnisitas, posisi sosial, mereka semua sama di depan Tuhan dan secara bersama-sama menempuh pengalaman kesatuan umat.
Dengan demikian, ibadah haji memberikan kesempatan yang unik bagaimana umat Islam seharusnya egaliter, multietnis, kultural dan mengabdikan kesatuan umat itu untuk pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan dan agama sebagaimana terkandung dalam wahyu Ilahi. (Mingguan PESAN No 61/Th.II/03/2000)
Saat sedang mencari referensi tentang haji dan segala keunikannya, tiba-tiba istri bertanya, “Bagaimana hukum melaksanakan ibadah haji untuk kedua, ketiga, dan seterusnya?”
Saya tidak langsung menjawab, malah balik bertanya, “Kunaon, Bu?”
Istri pun bercerita, “Ada kawannya yang tahun lalu menunaikan ibadah haji sambil menjadi pembimbing. Qadarullah, tahun ini berangkat lagi, kali ini bersama istrinya karena memang jadwal haji mereka. Nah, itu gimana hukumnya?”
Saya hanya tersenyum dan berkata, “Nya urang silih doakeun, mugia lancar, salamet, janten haji mabrur.”
Ya dalam buku Haji dan Umrah Bersama M. Quraish Shihab dijelaskan soal Hukum Haji dan Umrah, ulama sepakat menyatakan bahwa haji wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim dan Muslimah sekali seumur hidup, selama ia memunyai kemampuan. Umrah pun demikian, menurut banyak ulama, walau ada di antara mereka yang tidak menilainya wajib, tetapi sunah. (M. Quraish Shihab, 2012:217)
Justru pikiranku melayang ke kampung halaman di Bungbulang Garut Kidul yang terkenal dengan sebutan Kandangwesi, terbayang suasana pengajian di masjid Darussalam dengan kokolot Haji Hasan. Suatu waktu Ajeungan pernah berkata, "Ari ngalaksanakeun ibadah haji cukup sakali saumur hirup, eta oge ari mampu isi pesak jeung fisikna!" Cag Ah!
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang tradisi