CATATAN DARI BUKU HARIAN #42: Mang Jaya, Maestro Dongeng Sunda Sang Pelestari Budaya
Mang Jaya menghidupkan kembali dongeng Sunda, kekuatan budaya lisan yang mulai terpinggirkan.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
24 Mei 2025
BandungBergerak.id – Di tengah denting waktu yang kian deras dan hiruk-pikuk zaman yang nyaris melupakan akar, masih ada suara lembut yang bergetar dari balik gelombang udara –suara yang tak hanya menghibur, tetapi menyembuhkan rindu, menanam hikmah, dan membangkitkan cinta terhadap budaya. Suara itu milik seorang maestro, Mang Jaya, sang pendongeng enteng dari tanah Sunda. Suara yang dulu mengalun lewat radio, kini menari dalam jagat digital, tak pernah padam oleh waktu.
Berasal dari daerah pegunungan Kuningan yang sejuk dan penuh cerita, Kuswadijaya Jamsari, atau yang lebih akrab disapa Mang Jaya, bukan sekadar pendongeng. Ia adalah penjaga warisan lisan Sunda, pelukis imaji yang merangkai roman, horor, silat, dan tawa dalam satu benang kisah yang utuh.
Di usianya yang hampir genap 80 tahun, Mang Jaya masih tetap aktif mendongeng untuk mengobati kerinduan para pendengar radio melalui sajian “Dongeng Enteng Mang Jaya” di Radio Siaran Linggarjati Utama Kuningan. Dedikasinya selama 50 tahun di dunia penyiaran, mampu menghantarkan dirinya menjadi sosok yang menginspirasi setiap orang di era digital saat ini.

Kuswadijaya alias Mang Jaya
Salah satu sosok sentral dalam pelestarian dongeng Sunda adalah Kuswadijaya Jamsari, lebih dikenal sebagai Mang Jaya. Lahir di Cigugur, Kuningan, 25 Agustus 1945, Mang Jaya merupakan anak sulung dari pasangan Warsih asal Kuningan dan Jamsari asal Garut. Ia mulai sekolah pada usia enam tahun di Sekolah Rakyat (SR) dan kemudian melanjutkan ke SMP BPI dan SMA Negeri 5 Bandung.
Mang Jaya sempat mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, namun mengundurkan diri sekitar tahun 1965 akibat maraknya demonstrasi di kampus. Sejak 1968, ia menekuni dunia penyiaran di radio-radio amatir seperti Radio Purnama dan Radio Leidya Bandung.
Pada 7 September 1970, ia menikah dengan Tati Sulastri, mojang Bandung, dan dikaruniai tiga anak serta beberapa cucu yang menyapanya dengan panggilan hangat: Papa Jay dan Yangki (Eyang Aki).
Pada tahun 1976, Mang Jaya kembali ke tanah kelahirannya dan mendirikan Radio Siaran Linggarjati Utama (Rasilima). Dari sinilah lahir program ikonik “Dongeng Enteng Mang Jaya”, yang kemudian disiarkan oleh berbagai stasiun radio di Jawa Barat.

Masa Keemasan Radio
Di masa keemasan radio tahun 1980-an hingga 1990-an, ketika televisi belum mendominasi, dongeng Sunda bukan sekadar hiburan. Ia adalah pengikat emosional warga, ruang temu batin yang merangkul dari dapur-dapur rumah hingga saung-saung kampung. Suara Mang Jaya, bersama para legenda lain seperti Abah Kabayan, Rachmat Dipradja, dan Mang Barna. Pun juru dongeng sohor lainnya seperti Uwa Kepoh, Djamar Media, Haji Dulacis, Tisna Suntara dan Andi Djohari menjadi pelita dalam gulita malam, menyemai nilai dan kearifan lokal dalam setiap tutur katanya.
"Dongeng Enteng Mang Jaya" lahir dari Radio Siaran Linggarjati Utama Kuningan, radio yang ia dirikan sendiri ketika kembali ke kampung halamannya. Dari sanalah mengalir kisah-kisah tentang Si Komod, Nyi Mas Komala, Jawara Gunung Manglayang, hingga Lutung dan Lodaya –cerita yang bukan hanya menghidupkan imajinasi, tapi juga merawat bahasa, mengajarkan undak-usuk basa Sunda, dan menyampaikan pesan etika yang halus tapi dalam.
Dongeng Sunda ketika itu, bahkan bisa menyaingi ketenaran tokoh publik di daerah. Keakraban pendengar dengan para pendongeng menjadikan acara ini sebagai jembatan kultural yang merajut kebersamaan lintas usia.

Dari Radio ke YouTube
Program "Dongeng Enteng Mang Jaya" telah tercatat hak ciptanya di Kemenkumham RI, memastikan keberlanjutannya sebagai warisan budaya yang terlindungi.
Mang Jaya bukan hanya setia pada kisah, tapi juga pada zamannya. Di usia senja, ketika banyak yang memilih diam dan menepi, ia justru melangkah masuk ke jagat digital. Melalui kanal @MangJayaOfficial, dongengnya kini hadir di YouTube, menjangkau puluhan ribu penonton dari berbagai penjuru, bahkan lintas generasi.
Dengan lebih dari 56 juta tayangan, dongeng Sunda tak lagi sebatas milik masa lalu –ia hidup, tumbuh, dan berkembang bersama teknologi. Sejak 24 Juni 2021, program “Dongeng Enteng Mang Jaya” hadir dan meraih sambutan luas, dengan lebih dari 112.000 subscriber, 2.400 video.
Beberapa judul populer di antaranya: Akibat Tina Kahayang; Babakti ka Lemah Cai; Balik ti Nusakambangan; Beurit Bodas; Cipanon Indung; Dedemit Curug Sanghyang; Dedemit Guha Sancang; Dodoja Ngahontal Bagja; Duriat Pegat ku Pati; Ganjaran; Getih Jurig Hulu; Hayang Beunghar; Jaka Tarung; Jawara Batu Karang; Jawara Gunung Manglayang; Jawara Haur Koneng; Jawara ti Kuburan; Kawin

ka Tuyul; Katideresa; Lalampahan Si Komod; Lodaya Mamalihan; Lodaya Sakembaran; Lodaya ti Pakidulan; Lutung; Mandraseta; Musuh Warisan; Maung Lodaya; Nyi Mas Komala; Marakayangan; Palagan Sumedang Larang; Panca Tunggal; Panji Wanara; Paremeun Obor; Rampok Gerot Ciharendong; Randa Bengsrat; Rukmini Nagih Pati; Sangsara Alatan Harta; Saur Karuhun; Si Kardun Munjung; Si Komod; Si Gagak Karancang; Si Gombrang; Si Tablo; Sirod Jelema Gaib; Talaga Hideung; Tarung di Galunggung; serta Tarung Pareubut Getih.
Durasi "Dongeng Enteng Mang Jaya" ini biasanya mengudara selama 30 menit hingga satu jam pada setiap episodenya. Satu episode cerita biasanya memakan waktu tayang antara dua minggu hingga dua bulan lamanya.
Baca Juga: CATATAN DARI BUKU HARIAN #40: Berkenalan dengan Pupung Prayitno, Seniman Multitalenta dari KarawangCATATAN DARI BUKU HARIAN #41: Emha Bay Sabar, yang Tak Lelah Menyuarakan Zaman
Pengakuan dan Penghargaan
Sejumlah penghargaan demi penghargaan menghampiri. Di antaranya penghargaan Pembangunan Daerah Kuningan (1981); Lifetime Achievement dari KPID Jawa Barat (2017); KWK Award (2018); serta Kuningan Award sebagai Penggiat Literasi Lisan (2022).
Mang Jaya juga dipercaya sebagai Anggota Dewan Pengawas PRSSNI Pusat (2023–2027), organisasi yang diketuai oleh Menteri BUMN, Erick Thohir.
Kini, mendekati usia 80 tahun, Mang Jaya masih aktif mendongeng, bercocok tanam, bersepeda, dan menjalani hidup sehat. Kepada penulis, ia berujar, “Beribadah, bersyukur, jalan sehat, gowes, dan berkebun – itu resep awet sehat Mang Jaya.”
Dalam setiap kisahnya, Mang Jaya menghidupkan kembali kekuatan budaya lisan yang mulai terpinggirkan. Ia adalah bukti bahwa dongeng bukan hanya milik anak-anak, tapi milik siapa saja yang masih percaya bahwa kata-kata bisa menyembuhkan, bisa menanamkan cinta, bisa menghidupkan akar yang nyaris lapuk digerus zaman.
Di tengah derasnya arus modernisasi yang sering kali menggusur yang tradisional, Mang Jaya adalah dermaga bagi yang ingin pulang. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara akar dan angin. Dongeng-dongengnya bukan sekadar cerita, tapi warisan jiwa.
Semoga dalam setiap kata yang terucap, dalam setiap kisah yang tertutur, suara Mang Jaya akan tetap mengalun di radio, di YouTube, di hati anak-anak Sunda, dan di sanubari kita semua yang masih percaya pada keindahan budaya sendiri. Selama Mang Jaya masih bercerita, maka dongeng Sunda akan tetap menggema dan kita tidak akan pernah kesepian.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Kin Sanubary atau artikel-artikel lain tentang seni