• Kolom
  • CATATAN DARI BUKU HARIAN #41: Emha Bay Sabar, yang Tak Lelah Menyuarakan Zaman

CATATAN DARI BUKU HARIAN #41: Emha Bay Sabar, yang Tak Lelah Menyuarakan Zaman

Emha Bay Sabar adalah mozaik dari banyak peran: wartawan, editor, pendidik, penulis TTS, juri seni, pelatih bahasa, hingga aktivis kampanye lingkungan.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Emha Bay Sabar, jurnalis senior. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

17 Mei 2025


BandungBergerak.id – “Setiap kata adalah denyut waktu, setiap tulisan adalah napas sejarah.”

Dalam setiap perjalanan, ada langkah yang tak hanya menapak tanah, tetapi juga mengukir makna di lembar zaman. Di antara derap dunia yang terus bergerak, nama Mochamad Sabar –yang dikenal dalam dunia pena sebagai Emha Bay Sabar– mengalun sebagai simfoni kesetiaan pada aksara, pada jurnalisme, pada makna kehidupan yang disulam dengan kata.

Lahir di Bandung, 10 Oktober 1959, Emha Bay Sabar bukan sekadar saksi zaman, melainkan pelakon utama dalam panggung sunyi dunia jurnalistik Indonesia. Ia mengabdi bukan untuk ketenaran, melainkan karena cinta pada bahasa, pada informasi yang jujur, pada tanggung jawab mencerdaskan bangsa.

Buku-buku TTS karya Emha Bay Sabar bersama tim. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Buku-buku TTS karya Emha Bay Sabar bersama tim. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Baca Juga: CATATAN DARI BUKU HARIAN #38: Senny Suzanna Alwasilah, Sosok Inspiratif di Dunia Pendidikan, Seni, dan Sastra
CATATAN DARI BUKU HARIAN #39: Jejak Riadi Darwis dalam Gastronomi, Rasa, dan Budaya
CATATAN DARI BUKU HARIAN #40: Berkenalan dengan Pupung Prayitno, Seniman Multitalenta dari Karawang

Menulis dengan Hati

Langkah pertamanya di dunia jurnalistik dimulai tahun 1988 di Tabloid Harian Mandala, Bandung—dalam lingkup Kelompok Kompas Gramedia (KKG), tempat ia mengasah kepekaan dan ketajaman pena. Di sana, ia belajar bahwa menjadi wartawan adalah menjadi mata dan telinga rakyat, bukan sekadar pengabdi berita.

Dari Mandala ke Bernas Yogyakarta, dari Tabloid Wanita Indonesia hingga Majalah Warta Kehati dan Warta Ekowisata, ia bukan hanya menyunting kata, melainkan menjaga ruh pesan yang hendak disampaikan. Dari lembaran ke lembaran, ia menjahit kisah-kisah rakyat, membentangkan wacana yang mendidik, meneguhkan semangat berpikir kritis.

Dan lebih dari sekadar wartawan, ia adalah penulis Teka-teki Silang (TTS), sebuah seni bahasa yang hanya mampu digoreskan oleh mereka yang paham bahwa kata bukan sekadar bentuk, melainkan rasa dan logika. Nama Emha Bay Sabar menghiasi Kompas, Pos Kota Minggu, hingga Republika dan Intisari, juga buku-buku TTS terbitan Kompas Gramedia tak henti mengajak pembaca berpikir dalam diam yang menyenangkan.

Emha Bay Sabar bersama sahabat ketika kuliah. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Emha Bay Sabar bersama sahabat ketika kuliah. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Guru yang Tulus Berbagi Ilmu

Namun, dunia Emha Bay Sabar tak hanya berpijak pada tinta. Sebelum larut dalam samudra jurnalisme, ia adalah seorang akademisi, guru yang membagi ilmu dengan tulus. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran (1985) dan Program Spesialisasi Jurnalistik LPDS Jakarta (1992) ini pernah menjadi dosen di Unpad, Uninus, dan Aktripa –mengajar dengan cara yang merakyat, menggugah, dan penuh cinta bahasa.

Ketika saat kuliah dan menjadi mahasiswa Unpad Bandung, Emha termasuk mahasiswa yang berprestasi dan senang berorganisasi.

Emha pernah menjabat sebagai Ketua II Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Unpad (1980-1982), Ketua Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unpad (1982-1984), Salah seorang pendiri "Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan Film" (GSSTF) Unpad (1983), Komisi Teknik "Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan Film” (GSSTF) Unpad (1983-1987) dan sebagai Pendiri dan Ketua BioCommunica Foundation (BioComm) Bandung (1997-2020).

Tak berhenti di ruang kuliah, ia melangkah lebih jauh sebagai trainer pelatihan jurnalistik dan penggunaan Bahasa Indonesia yang efektif. Ia adalah narasumber dalam berbagai pelatihan jurnalistik lingkungan, menyusun kurikulum, bahkan menjadi juri lomba menulis dan seni di Bandung, hingga menjadi bagian dari diskusi penting di Jambi dan Kalimantan.

Dari melukis badak hingga mengurai data kejahatan kehutanan, dari menilai puisi hingga membentuk pelatihan kampanye hutan lestari, ia hadir tak sekadar berbagi ilmu, tapi menyentuh nurani.

Liburan ke Ciwidey bersama keluarga. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Liburan ke Ciwidey bersama keluarga. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Dari Pena ke Generasi

Emha Bay Sabar adalah mozaik dari banyak peran: wartawan, editor, pendidik, penulis TTS, juri seni, pelatih bahasa, hingga aktivis kampanye lingkungan. Semua ia jalani bukan karena pamrih, tapi karena cinta yang besar pada bangsa ini. Ia adalah saksi dan penjaga kata –yang dalam sunyi pekerjaannya, telah menyentuh ribuan, bahkan jutaan jiwa.

Buah pernikahannya dengan Dr. Ir. Sri Rahayu, M.Si. Guru Besar Fakultas Peternakan dan Pascasarjana Bioteknologi, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dikaruniai dua anak dan tiga cucu, kini Emha menetap di kota mendoan, Purwokerto Kota SATRIA, Sejahtera-Adil-Tertib-Rapi-Indah dan Aman.

Ia bukan hanya pewaris ilmu, tetapi juga pewaris nilai. Lewat tulisan, lewat ajaran, ia meninggalkan jejak bagi generasi penerus –bahwa menulis adalah ibadah, bahwa jurnalistik adalah jalan juang.

Di tengah dunia yang sering silau akan sensasi, Emha Bay Sabar memilih setia pada kedalaman. Ia tidak berlari mengejar popularitas, tetapi berjalan mengiringi waktu dengan kesederhanaan yang agung. Ia mengukir sejarah dengan sunyi yang anggun.

Semoga setiap huruf yang pernah ia tulis menjadi cahaya bagi masa depan. Semoga ketekunan dan ketulusan Emha Bay Sabar menginspirasi generasi muda untuk kembali pada esensi: bahwa dalam tulisan, ada tanggung jawab. Dalam berita, ada nurani. Dan dalam pena, ada doa.

Karena sejatinya, sejarah bukan hanya ditulis oleh mereka yang besar, tapi oleh mereka yang tulus menuliskannya.

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Kin Sanubary atau artikel-artikel lain tentang seni

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//