CATATAN DARI BUKU HARIAN #38: Senny Suzanna Alwasilah, Sosok Inspiratif di Dunia Pendidikan, Seni, dan Sastra
Senny Suzanna Alwasilah membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pelita bagi sekitarnya.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
26 April 2025
BandungBergerak.id – Di lembah-lembah kesibukan kota Bandung yang tak pernah lelap, di antara derap langkah para pencari ilmu dan cahaya, tersebutlah nama yang menyala lembut seperti mentari sore yang menyusup lewat tirai jendela kelas, Senny Suzanna Alwasilah. Sebuah nama yang tak hanya menandakan identitas, namun menjelma menjadi suluh dalam dunia pendidikan, seni, dan sastra.
Dalam setiap langkah yang diayunkan perempuan tangguh ini, tersimpan jejak perjuangan panjang yang penuh makna-kisah tentang dedikasi, cinta pada ilmu, dan ketekunan yang tak kenal lelah. Ia bukan sekadar akademisi dan seniman, tapi simbol semangat perempuan yang menyalakan lentera perubahan. Ia adalah nyanyian lirih dari semangat Kartini yang tak pernah padam, hanya menjelma rupa menjadi lebih lantang, lebih berani, namun tetap setia pada kelembutan yang menjadi hakikat perempuan. Sebuah kekuatan yang tak melawan dengan amarah, melainkan mendidik dengan kasih dan mendewasakan dengan cinta.

Lahir di Bandung pada 11 Oktober 1962, di tanah yang akrab dengan keteguhan dan ketulusan, Senny tumbuh dalam pelukan nilai-nilai yang mengakar: kesederhanaan, ketekunan, dan kemuliaan budi. Nilai-nilai inilah yang ia bawa hingga kini, saat ia mengemban amanah sebagai Ketua Kantor Urusan Internasional Universitas Pasundan (Unpas) – sebuah peran yang bukan sekadar jabatan, melainkan bentuk cinta dalam diam kepada dunia yang membesarkannya.
Tak hanya pada dunia akademik, kehidupan Senny juga berkelindan dengan kisah cinta yang puitis bersama almarhum Prof. Adeng Chaedar Alwasilah, seorang Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang mendunia dalam diamnya kini, tetap hidup dalam jejak ilmu yang ia wariskan. Dari pernikahan mereka, lahirlah lima cahaya: Indiana Ayu, Autumn Windy, Mentari Qorina, Yuzaki Adam, dan Fabil Haq. Dan dari cahaya-cahaya itu, sembilan bintang kecil kini turut bersinar: Semesta, Kelanabumi, Alineasenja, Labiqa, Sabdalangit, Jenggala, Layyina, Aksara, dan Kisah Rembulan. Nama-nama yang seakan ditulis dengan tinta puisi dan doa-doa yang panjang.

Baca Juga: CATATAN DARI BUKU HARIAN #35: Mengenal Joey Cardinal, Penyiar Senior yang Tetap Berkarya
CATATAN DARI BUKU HARIAN #36: Menyelami Jejak Karya Tatang Ramadhan Bouqie Selama Empat Dekade
CATATAN DARI BUKU HARIAN #37: Jejak Musikal Benny Soebardja, Sang Maestro Progrock Indonesia
Dosen, Ibu di Rumah, dan Menulis Buku
Senny mengenyam pendidikan Doktor dalam Pengembangan Kurikulum di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung dan sebelumnya Magister dalam Pendidikan Bahasa Inggris, didapat pula dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Beberapa jurnal sudah ia publikasikan, baik nasional maupun internasional, Sinta dan Scopus. Di tengah kesibukannya mengajar, beberapa kali Senny mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan postdoc di luar negeri, di antaranya sebagai peserta Fulbright Visiting Scholar di Indiana University Amerika Serikat (2021), Program Sandwich-like, University of Sydney, Australia (2011), dan Teaching Best Practice di East West Center, University of Hawaii, Amerika Serikat (2005).
Memiliki peran sebagai dosen serta menjadi ibu di rumah terkadang dibenturkan oleh sejumlah agenda tertentu, sehingga harus piawai membagi waktu satu sama lain. Kendati demikian, Senny selalu menyempatkan diri untuk selalu produktif dan berkarya. Beliau telah melahirkan banyak karya, baik itu karya tulis ilmiah maupun karya sastra, di antaranya, buku teks untuk mahasiswa Studi Kasus 2.0: Qualitative Research (2025), Reading-Writing Connections: Menulis Kolaborasi (2024), Merangkul Dua Takdir yang Saling Berpapasan: Antologi Puisi Indonesia-Korea (2024), Rhyme of Tears (irama Air Mata): Antologi Haiku Indonesia-Inggris (2023), dan Ziarah Rindu: The Pilgrimage of Longing. Antologi Puisi Indonesia-Inggris (2021).
Keterkaitan antara menulis dan membaca layaknya gula dan manisnya yang tak bisa dipisahkan. Apabila sering membaca akan mampu mempermudah seseorang untuk dapat menulis. Ia juga menekankan "A good writer is a good reader". Menulis juga perlu dilatih sehingga harus dilakukan terus menerus, berulang-ulang, dan akan mendorong seseorang menjadi terbiasa. Begitu pula dengan membaca, baik itu membaca buku maupun membaca keadaan lingkungan sekitar.
Senny yang saat ini juga menjabat sebagai President Asian Women Writers Association (AWWA) perkumpulan perempuan penulis se-Asia, sempat berkolaborasi menulis Haiku dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia bersama Dr, Sharon Pugh, ketika ia sedang menjadi visiting scholar di Indiana University Amerika Serikat. Dr Sharon Pugh adalah pembimbing disertasi suaminya saat kuliah S-3 di Indiana University, Bloomington, AS.
Senny senang menulis haiku karena kecintaannya akan budaya Jepang. Haiku adalah puisi Jepang yang singkat tetapi sarat makna. Salah satu yang menginspirasinya menulis haiku ini adalah Daisaku Ikeda Sensei, tokoh perdamaian yang sangat dikagumi di Jepang. Semasa hidupnya, Ikeda Sensei selalu berkabar, bahkan mengirim buku dan kartu ucapan selamat saat hari-hari besar di Indonesia.

Langkah Senny dalam dunia akademik adalah rangkaian musim yang berganti tanpa pernah henti. Dari mulai menjadi ketua laboratorium bahasa, sekretaris jurusan, hingga jabatan dekan Fakultas Ilmu Seni dan Sastra –ia menapaki semuanya dengan elegan, tanpa hingar, tanpa pamrih. Kini, di KUI Unpas, ia menjadi jembatan antara budaya, bahasa, dan bangsa.
Ia tak hanya mengajar, tetapi membelai pikiran dengan mata kuliah seperti Imaginative Writing, Cross Cultural Understanding, hingga Feature Writing. Ia mengajak mahasiswa bukan hanya menulis, tetapi merasakan, menghidupkan, dan mengalir bersama kata-kata. Jejaknya pun tertulis di berbagai jurnal ilmiah, dari yang terindeks Scopus hingga jurnal lokal yang penuh cinta. Ia menulis tentang kreativitas, tentang strategi pengajaran, tentang anak-anak didik yang tak ingin hanya bisa mengeja tapi juga bermimpi lewat tulisan.

Begitulah Senny, sebuah harmoni antara dedikasi dan kelembutan. Ia bukan perempuan biasa, ia adalah puisi yang tak lekang oleh waktu. Kartini yang tak hanya berbaju kebaya, tetapi berbaju makna, membalut jiwa-jiwa muda dengan kasih dan ilmu. Dari ruang kelas hingga lembar-lembar puisi, dari hati yang mencintai ilmu hingga tangan yang tak pernah lelah menulis, Senny Suzanna Alwasilah membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pelita bagi sekitarnya.
Semoga kisah dan karya beliau menginspirasi kita semua untuk terus belajar, berkarya, dan bermakna karena sejatinya, hidup adalah tentang meninggalkan jejak yang memberi cahaya bagi generasi selanjutnya.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Kin Sanubary atau artikel-artikel lain tentang seni