• Kolom
  • CATATAN DARI BUKU HARIAN #37: Jejak Musikal Benny Soebardja, Sang Maestro Progrock Indonesia

CATATAN DARI BUKU HARIAN #37: Jejak Musikal Benny Soebardja, Sang Maestro Progrock Indonesia

Benny Soebardja legenda rock Indonesia. Namanya berdiri sejajar dengan God Bless, The Rollies, dan AKA.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Benny Soebardja dijuluki media asing sebagai The Godfather of Indonesian Progrock Underground. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

19 April 2025


BandungBergerak.id – Dalam alunan waktu yang terus berdetak, ada jiwa-jiwa yang tak sekadar hidup, tetapi menyala dan menyalakan. Mereka adalah pengelana sunyi yang meninggalkan jejak bukan di pasir, melainkan di palung sejarah. Salah satunya adalah Benny Soebardja, sosok yang namanya bergema dalam lorong-lorong kenangan musik tanah air. Dari sebuah kota di Jawa Barat, Tasikmalaya, pria kelahiran 4 Juli 1949 ini menorehkan kisah yang tak hanya keras, namun juga jernih seperti nada yang mengalun dari gitar kesayangannya. Ia adalah sang pejuang nada, yang oleh dunia dikenal sebagai “The Godfather of Indonesian Progrock Underground”, bukan karena glamor, melainkan karena dedikasi yang teguh tanpa kompromi.

Baca Juga: CATATAN DARI BUKU HARIAN #34: Jejak Miya Rumiyana Soelandjana, 60 Tahun Berkarya
CATATAN DARI BUKU HARIAN #35: Mengenal Joey Cardinal, Penyiar Senior yang Tetap Berkarya
CATATAN DARI BUKU HARIAN #36: Menyelami Jejak Karya Tatang Ramadhan Bouqie Selama Empat Dekade

The Peels, Jejak Awal Menuju Panggung Dunia

Benny Soebardja memulai petualangan musikalnya bersama The Peels, sebuah kelompok musik yang berdiri pada tahun 1966. Bersama Gumilang Kentjana Putra, Budhi Sukma Garna, dan Dedy Budhiman Garna, mereka mewarnai panggung-panggung musik di Jawa Barat dan Indonesia secara umum. Tak hanya di tanah air, denting musik The Peels merambat hingga Singapura dan Malaysia, sebuah capaian langka di masanya.

Album The Peels By Public Demand in Singapore menjadi tonggak penting, mengabadikan perjalanan mereka dalam format piringan hitam. Kini album itu menjadi barang langka, hanya tersimpan dalam peti kenangan para kolektor sejati. Meski masa kebersamaan mereka singkat, The Peels telah menjadi cikal bakal terbukanya jalan bagi musisi Indonesia ke panggung internasional.

Shark Move, Eksperimen dan Eksistensi

Usai perpisahan dengan The Peels, Benny bersama Soman Loebis mendirikan Shark Move, band yang menyatukan rock dan progressive (progrock) dalam harmoni yang magis. Album mereka, Ghede Chokra’s, menjadi manifestasi dari keberanian musikal. Lagu “My Life” adalah nyawa dari album ini, karya berdurasi sembilan menit yang menyajikan emosi dalam dinamika nada, dari petikan gitar yang lembut hingga ledakan drum dan keyboard yang menggugah.

Meski Shark Move hanya bertahan hingga 1971, warisan musikal mereka tetap lestari. Benny bahkan melakukan remastering atas album ini agar generasi kini bisa menyentuh kembali semangat masa lalu yang tak lekang oleh waktu.

Benny Soebardja bersama Giant Step. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Benny Soebardja bersama Giant Step. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Giant Step, Keteguhan Sang Maestro

Setelah Shark Move, Benny tak pernah mundur dari panggung musik. Ia mendirikan Giant Step, kelompok yang menjadi kendaraan kreatifnya selama lebih dari satu dekade. Formasi awal Giant Step yaitu Benny Soebardja, didukung musisi-musisi andal seperti Deddy Stanzah, Sammy Zakaria, dan Jockie Soerjoprayogo.

Di awal kemunculannya Giant Step lebih banyak membawakan lagu-lagu milik Emerson Lake and Palmer (ELP). Ketika Giant Step berusaha eksis dengan formasi perdananya, tak di nyana, Sammy Zakaria keluar, tetapi kemudian digantikan oleh Janto Diablo. Dengan formasi barunya, Giant Step masih membawakan lagu-lagu milik orang tetapi tidak Emerson Lake and Palmer saja, melainkan mulai merambah membawakan lagu-lagu Deep Purple.

Di tahun 1973, Giant Step memulai era bermusiknya dengan menampilkan double guitarist dengan masuknya Albert Warnerin. Formasi Giant Step ketiga ternyata tidak hanya menambah pemain gitar, tetapi juga kembali terjadi perubahan personel karena hengkangnya Deddy Stanzah yang digantikan oleh Adhy Sibolangit, dan masuknya Deddy Dores menggantikan posisi Jockie Soerjoprayogo yang hengkang membentuk Ogle Eye bergabung dengan Sammy Zakaria dan Micky Jaguar.

Di balik album-album bersama Giant Step, Benny Soebardja sempat sesaat bergabung dengan grup Fantastique bersama Chossy Pratama, J. Sarwono, Deddy Dores dan B. Hariadi. Di grup ini, Benny Soebardja hanya terlibat dalam album keduanya berjudul Hidup Seniman. Selepas album ini Benny Soebardja kembali ke Giant Step.

Di sela-sela aktivitas Giant Step, Benny Soebardja mengekspresikan energi musiknya yang berlebihan melalui album solo yang dihasilkannya, yaitu Give Me A Piece of Gut Rock (SM Recording), Night Train (SM Recording), Setitik Harapan (Duba Recording) dan Lestari (Paragon Recording). Sebuah proyek yang melibatkan grup Lizard menghasilkan album My Life (BB Record). Dalam album ini tiga buah lagu milik Shark Move pun dijadikan andalan yaitu My Life, Butterfly, dan Evil War. Di samping itu Benny Soebardja membantu sebuah album milik Deddy Dores dengan menyertakan lagu miliknya. Kiprah Benny Soebardja di dunia rekaman berakhir di album Giant Step berjudul Geregetan pada tahun 1985.

Tak hanya sebagai pemusik, Benny adalah jiwa dari band yang ia bentuk. Di tengah pergantian personel, sosoknya tak tergantikan. Ia adalah benang merah yang menyatukan perubahan menjadi kesinambungan. Musiknya adalah bentuk dari idealisme yang keras, jujur, dan tanpa topeng.

Eksplorasi Solo dan Warisan yang Ditinggalkan

Tak puas hanya dengan karya grup, Benny juga mengeksplorasi sisi personalnya lewat album solo seperti Give Me A Piece of Gut Rock, Night Train, Setitik Harapan, dan Lestari. Ia juga terlibat dalam proyek My Life bersama grup Lizard, di mana lagu-lagu lama Shark Move kembali dihidupkan. Bahkan pada tahun 2006, semangat bermusiknya kembali menyala ketika ia berduet dengan putranya, Rhamaditya Nalendra, dalam lagu “Hitam Putih –sebuah simbol estafet jiwa seni dari ayah ke anak.

Benny Soebardja juga merekam ulang beberapa lagu yang pernah hits, seperti lagu Apatis kolaborasi dengan Deddy Lisan, musik digarap Dewa Budjana, dan art cover oleh putra keduanya Rhamaditya Nalendra. Selain itu tembang Second Life digarap ulang berkolaborasi dengan Donny Suhendra, almarhum. Lagu My Life dirilis ulang bersama Andy Rif dan Dewa Budjana tergabung dalam Acoustic Strings Quartet.

Meski dunia rekaman tak lagi semeriah masa jayanya, Benny tetap menghidupi musik sebagai panggilan jiwa. Ia tak pernah benar-benar pergi, hanya beristirahat sejenak untuk kembali dengan bara semangat yang lebih terang.

Benny Soebardja bersama fans fanatik dari Jerman, Bodo dan Dave Theisen di Mall of Netherland, Negeri Belanda. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Benny Soebardja bersama fans fanatik dari Jerman, Bodo dan Dave Theisen di Mall of Netherland, Negeri Belanda. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Benny Soebardja dan Penggemarnya

Penggemar dan fans setia Benny Soebardja hingga kini masih banyak tak hanya berada di tanah air tetapi tersebar di mancanegara. Di antaranya Dave Theisen dan Bodo warga negara Jerman, dan banyak penggemar fanatik dari kalangan milenial. Mereka menyimpan dan memiliki komplit kaset, vinyl atau piringan hitam Benny Soebardja ketika bersama Giant Step, The Peels maupun Shark Move dan pernak-pernik lainnya yang berhubungan dengan Benny Soebardja.

Adapun perkenalan dan persahabatan antara penulis dan Kang Benny dimulai sejak adanya sosial media. Penulis menjadi bagian dari penggemar Kang Benny yang tergabung di komunitas Benny Soebardja World Friends dan Aktuil The Legend, penulis sering mengunggah foto-foto dan artikel yang memuat informasi seputar band-band yang pernah Kang Benny Soebardja gawangi yaitu The Peels, Shark Move, Fantastique, The Lizard, Giant Step Rhapsody dan Giant Step yang dimuat media cetak era tahun 70-an hingga tahun 90-an. Penulis pernah mengunggah pentas musik The Peels ketika berkiprah di Singapura, Pesta Musik Kemarau '75 di sekitar Lapangan Gasibu Bandung, pagelaran Rock Never Die di Balai Sidang Senayan Jakarta tahun 1984, serta pentas musik lainnya yang memuat berita yang berkaitan kiprah bermusik Kang Benny.

Bersyukur penulis bisa berjumpa dan bersilaturahmi dengan Kang Benny Soebardja saat mengadakan Konser Musik 3 Dekade, yang diselenggarakan pada bulan Juli 2023 di Hotel Horison Bandung.

Kang Benny menuturkan kepada penulis, perjalanan bermusiknya mulai dari The Peels, Shark Move, Giant Step of Rhapsody, Fantastique, The Lizard, dan Giant Step hingga bermain musik secara solo hingga saat ini, bahwa dirinya tidak pernah mengklaim sebagai pelopor musik rock. Dirinya hanya bagian dari generasi yang cinta musik rock, secara spontan membuat lagu sendiri dan membawakannya tanpa didikte oleh siapa pun.

Dan yang paling penting musik baginya adalah sarana mengekspresikan diri, bila melihat situasi yang dianggap tidak wajar, dituangkannya dalam lagu "Evil War" dari Shark Move yang menggambarkan balas dendam dari rezim lama oleh rezim baru. Lalu tembang  "Air Pollution" dari Giant Step yang menggambarkan pencemaran lingkungan. Juga lagu "A Fortunate Paradise" sebagai rasa kagum Bob Dook, seorang geologis dan penulis lirik asal Inggris yang kagum kepada hutan Kalimantan yang masih asri.

"Alam Tersiksa" dari Giant Step, sebuah ekspresi terhadap lingkungan yang rusak sehingga menyebabkan bencana alam. "Persada Tercinta" lagu Giant Step yang menggambarkan rasa cinta dirinya terhadap Persada Indonesia. Selanjutnya ada lagu "In 1965" solo album dari Benny Soebardja, yang bisa diinterpretasikan sendiri, dan lagu-lagu lainnya. Tetapi buat Kang Benny pribadi, musik adalah hobi dan kegemaran yang tak bisa ditinggalkan.

Benny Soebardja bersama istri tercinta, Tria Julianty dan kedua cucunya, Mansahel dan Lyla. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Benny Soebardja bersama istri tercinta, Tria Julianty dan kedua cucunya, Mansahel dan Lyla. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Seniman yang Kukuh Nan Teguh di Arus Zaman

Benny Soebardja sebuah nama yang terukir abadi di jagat rock Indonesia sejak era 1960-an hingga 1970-an. Namanya berdiri sejajar dengan ikon-ikon besar seperti God Bless, The Rollies, dan AKA. Namun, yang membuatnya berbeda adalah keberaniannya menolak arus. Ketika banyak musisi sibuk membawakan ulang lagu-lagu Barat, Benny memilih jalannya sendiri –menjadi pionir musik independen yang menciptakan dan memainkan karya orisinalnya.

Puncak pencapaiannya datang dengan Giant Step, sebuah mahakarya yang merangkum semangat progresif rock dan psychedelic dalam satu sajian yang penuh warna. Di dalamnya, lagu “Kukuh Nan Teguh” menjadi simbol keteguhan hati seorang seniman.

Setengah abad berlalu, legenda ini kembali bernyawa. Album Kukuh Nan Teguh dirilis ulang dalam format vinyl oleh label Kanada dalam jumlah yang sangat terbatas –hanya 50 keping tersedia untuk pasar Indonesia. Ini bukan sekadar rilisan ulang, melainkan penghormatan kepada mahakarya yang tak lekang oleh zaman. Benny sangat mengapresiasi langkah yang diambil oleh label Kanada, Strawberry Rain, yang menunjukkan ketertarikannya untuk merilis ulang karya ini. Meski dalam jumlah terbatas, niat mereka untuk menghidupkan kembali musik ini adalah hal yang patut dihargai.

Sebagai bentuk selebrasi, signing session dan peluncuran piringan hitam edisi terbaru ini telah digelar di Atlas Record, Kemang, Jakarta, pada Sabtu, 12 April 2025 lalu. Sebelumnya, acara serupa telah sukses digelar di Singapura, membuktikan bahwa gaung Giant Step masih menggema hingga ke mancanegara.

Dalam rangka merayakan warisan ini, Triawan Munaf juga menghibahkan satu keping vinyl untuk Museum Musik Indonesia. Semoga langkah ini menjadi inspirasi bagi generasi musik penerus Indonesia, agar mereka terus berkarya dengan semangat yang sama –kukuh, teguh, dan tanpa kompromi.

Prestasi yang cukup menakjubkan yaitu lagu Apatis yang di-remastered dan dinyanyikan oleh Benny Soebardja diikuti dan di-klik oleh 1.172.000 pengikut di platform musik digital Spotify.

Buah pernikahan dengan Tria Julianty istri tercintanya, Benny dikaruniai dua orang putra yakni Anggara Rhabenta dan Rhamaditya Nalendra yang memberinya dua cucu yaitu Mansahel dan Lyla.

Benny Soebardja bersama penggemarnya, Derek Hakim dan Kin Sanubary. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Benny Soebardja bersama penggemarnya, Derek Hakim dan Kin Sanubary. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Nada yang Tak Pernah Mati

Musik, bagi sebagian orang, adalah hiburan. Namun bagi Benny Soebardja, musik adalah jalan hidup, cermin batin, dan nafas yang tak bisa dipisahkan dari keberadaannya. Ia tak sekadar memainkan nada –ia menyatu dengannya. Dalam setiap petikan gitarnya, kita mendengar suara kejujuran, dalam setiap bait lagunya, ada gema perjuangan.

Kisah Benny Soebardja bukan hanya milik para penikmat rock atau penggemar musik era 70-an, tetapi juga milik setiap jiwa yang percaya bahwa seni sejati adalah tentang ketulusan, bukan ketenaran. Ia telah mengajari kita bahwa kesetiaan pada panggilan batin mampu mengalahkan arus zaman.

Dan selama musik masih mengalun di langit-langit ingatan, nama Benny Soebardja akan terus hidup, menjadi legenda yang tak akan pernah padam.

Diskografi Benny Soebardja dan Group

The Peels, 1967

Album : The Peels By Public Demand in Singapore, Gamada Records

Personel :

Gumilang Kentjana Putra (vokal, gitar)

Budhy Sukma Garna (vokal)

Dedy Budiman Garna (drum)

Benny Soebardja (gitar, vokal)

Karliana Kartasa G. (bintang tamu)

 

The Peels, 1968

Album: Selamat Tinggal Singapura (Mini Album), Gamada Records

Personel :

Gumilang Kentjana Putra (vokal, gitar)

Budhy Sukma Garna (vokal)

Dedy Budiman Garna (drum)

Benny Soebardja (gitar, vokal)

Soman Loebis (keyboard)

 

Shark Move, 1970

Album: Ghede Chokra's, Shark Move (SM Records)

Personel :

Benny Soebardja (vokal, gitar)

Bhagu Ramchand (vokal)

Sammy Zakaria (drum)

Janto Diablo (bass)

Soman Loebis (keyboard)

 

Fantastique Group, 1976

Album: Hidup Seniman-Vol.2 (Purnama Record)

Personel :

Chossy Pratama (keyboard)

  1. Sarwono (drum)

Deddy Dores (vokal)

  1. Hariadi (bass)

Benny Soebardja (gitar)

 

Giant Step, 1975

Album : Mark I (Lucky Records)

Personel :

Benny Soebardja (vokal, gitar)

Adhy Sibolangit (bass)

Janto Diablo (drum)

Deddy Dores (keyboard)

Albert Warnerin (gitar)

 

Giant Step, 1976

Album: Giant on The Move, Kukuh Nan Teguh (SM Records)

Personel :

Benny Soebardja (vokal, gitar)

Adhy Sibolangit (bass)

Haddy Arief (drum)

Triawan (keyboard)

Albert Warnerin (gitar)

 

Giant Step, 1977

Album: Giant On The Move, Kukuh Nan Teguh (Nova Records)

Personel :

Benny Soebardja (vokal, gitar)

Adhy Sibolangit (bass)

Haddy Arief (drum)

Triawan (keyboard)

Albert Warnerin (gitar)

 

Giant Step, 1978

Album : Persada Tercinta (Irama Tara)

Personel :

Benny Soebardja (vokal, gitar)

Adhy Sibolangit (bass)

Haddy Arief (drum)

Erwin Badudu (keyboard)

Albert Warnerin (gitar)

 

Giant Step, 1979

Album: Tinombala (lrama Tara)

Personel :

Benny Soebardja (vokal, gitar)

Adhy Sibolangit (bass)

Tommy (drum)

Erwin Badudu (keyboard)

Harry Soebardja (gitar)

 

Giant Step, 1980

Album: Vol. lll (Irama Tara)

Personel:

Benny Soebardja (vokal,gitar)

Adhy Sibolangit (bass)

Tommy (drum)

Erwin Badudu (keyboard)

Harry Soebardja (gitar)

 

Giant Step, 1985

Album : Geregetan (JK Records)

Personel :

Benny Soebardja (vokal, gitar)

Jelly tobing (drum)

Erwin Badudu (keyboard)

Triawan Moenaf (keyboard)

Albert Warnerin (gitar)

Uce F. Tekol (bass, additional)

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Kin Sanubary atau artikel-artikel lain tentang seni

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//