• Kolom
  • JALIN JALAN PANTOMIM #6: Nyusur History Bandoeng Bebarengan, Ketika Seni dan Sejarah Berjalan Beriringan

JALIN JALAN PANTOMIM #6: Nyusur History Bandoeng Bebarengan, Ketika Seni dan Sejarah Berjalan Beriringan

Menyusuri bangunan bersejarah dengan segala peninggalannya merupakan bagian integral upaya menyelami peristiwa masa lalu sebagai ingatan juang.

Wanggi Hoed

Seniman pantomim

Repertoar Berjalan Melawan di Tepian Sejarah ditampilkan di pelataran Gedung Merdeka, Bandung, dalam kegiatan Nyusur History Bandoeng Bebarengan, Sabtu, 30 April 2011. (Foto: Dokumentasi Wanggi Hoed)

26 Mei 2025


BandungBergerak - Empat belas tahun lalu, Sabtu, 30 April 2011, rintik hujan gagal menghalangi semangat saya dan teman-teman muda yang sudah berkumpul di pelataran bangunan bersejarah Gedung Merdeka, Kota Bandung. Hari itu kami menggelar kegiatan bertajuk "Nyusur History Bandoeng Bebarengan", berkat inisiasi secara mandiri Mixi Imajimime Theatre dan kawan-kawan lintaskomunitas. Ada tiga titik bangunan cagar budaya yang menjadi tempat aktivasi: Gedung Merdeka dan Gedung De Vries di Jalan Asia Afrika serta Rumah Bata Merah di depan Bikers Brotherhood MC di Jalan Braga.

Ketika itu ruang ekspresi publik di Bandung kian hari makin sempit, makin hilang. Maka kami menciptakannya.

Repertoar Kami di Braga dalam kegiatan Nyusur History Bandoeng Bebarengan, Sabtu, 30 April 2011. (Foto: Dokumentasi Wanggi Hoed)
Repertoar Kami di Braga dalam kegiatan Nyusur History Bandoeng Bebarengan, Sabtu, 30 April 2011. (Foto: Dokumentasi Wanggi Hoed)

Tiga Repertoar

Pukul tiga sore kami mulai berjalan kaki menyusuri sepanjang Jalan Asia Afrika, jalan bersejarah dengan atmosfer yang berbeda. Tiba di pelataran tiang-tiang bendera Gedung Merdeka, saya dan Irwan Nu’man, musisi flute dan trompet, bersiap untuk membawakan sebuah repertoar pantomime: “Berjalan Melawan di Tepian Sejarah" sembari menunggu kawan-kawan lain. Pantomim dan trompet kami pilih sebagai upaya menciptakan ruang pelatihan sekaligus berbagi pendekatan seni dan sejarah.

Melalui repertoar ini, kami bercerita tentang seseorang yang melawan arus globalisasi di tepi sejarah, dengan membayangkan segala yang ada di sekitarnya: jalanan, kendaraan lalu lalang, bangunan tua, dan orang-orang kebingungan arah. Wajah-wajah hanya sekejap tampak bahagia, lalu bingung dan mempertanyakan dirinya sedang berada di mana dan mengapa melakukan ini.

Di sisi lain, kesadaran sebagai aktor membuat saya mencoba melawannya dengan keberanian kecil yang tumbuh. Bukan untuk menabrak, tapi memahami dan mempelajari peristiwa yang terjadi. Kita sebagai manusia janganlah menghindar atau takut pada lajunya peradaban zaman. Zaman boleh berubah, tapi kekayaan khazanah cagar budaya juga harus dilindungi dan dirawat.

Dari Gedung Merdeka, kami bergeser ke Rumah Bata Merah di Jalan Braga. Kawan-kawan dari berbagai kalangan lintasdisiplin hadir: seniman, fotografer, musisi indie, paguyuban sapedah baheula (onthel), serta komunitas sepeda kampus. Hadir juga para ahli, pemerhati, dan pecinta cagar budaya. Mereka saling bertukar informasi dan berbagi pengetahuan tentang segala hal ihwal penyelamatan cagar budaya.

Menimpali pertemuan hangat itu, dengan latar jejeran lukisan-lukisan yang dijajakan, saya dan Irwan mementaskan repertoar “Kami di Braga”. Setelah membagikan kisah sunyi itu, kami bergerak ke titik selanjutnya: Gedung De Vries.

Hujan menguyur lagi. Penampilan di titik terakhir, dengan repertoar berjudul "Sampai di Sini, dan Sepi", selesai pada pukul 10 malam. Cahaya lampu gedung-gedung bersejarah tercermin pada aspal yang basah sehabis hujan, ketika semua yang hadir bergegas pulang.

Saya kembali menatap Gedung Merdeka yang ada di seberang jalan. Pernah sekali saya masuk, menikmati foto-foto, buku-buku tentang KAA 1955, kliping koran, kartu-kartu pos, kamera jadul, dan arsip serta artefak lainnya. Benda-benda sejarah yang sunyi dengan narasi besarnya. Dia hidup, tapi sayang kita tak pernah menghidupkannya.

Menatap Gedung Merdeka yang kaya dengan artefak dan arsip bersejarah. (Foto: Dokumentasi Wanggi Hoed)
Menatap Gedung Merdeka yang kaya dengan artefak dan arsip bersejarah. (Foto: Dokumentasi Wanggi Hoed)

Baca Juga: JALIN JALAN PANTOMIM #5: Pantomim dan Musik sebagai Kekuatan yang Liyan
JALIN JALAN PANTOMIM #4: Marcel Marceau, Perlawanan dan Kemanusiaan melalui Bahasa Pantomim

Mencintai Cagar Budaya

Menyusuri bangunan bersejarah dengan segala peninggalannya merupakan bagian integral upaya menyelami peristiwa masa lalu sebagai ingatan juang. Bukan sekadar mengenal.

Namun di sepanjang kegiatan, masih banyak para pejalan kaki yang acuh. Hanya melintas, menengok, setelah itu jalan lagi. Seperti ada rasa enggan untuk berkunjung ke museum atau cagar budaya. Di sisi lain, pemerintah hanya berbicara anggaran, revitalisasi, dan segala citra yang membungkusnya dengan program dan agenda festival dan semacamnya. Itu selalu terjadi dan berulang dari tahun ke tahun. Bahkan kelak sepertinya kita akan melihat bangunan cagar budaya ini menjadi sekadar ruang transaksional, tempat hiburan, atau tujuan liburan di tanggal merah.

Itulah peradaban kini. Cagar budaya, yang seharusnya menjadi ruang pengetahuan, selalu kalah oleh kekuasaan dan ambisi. Orang-orang semakin sulit menumbuhkan cinta dan memiliki sejarahnya sendiri. Tidak seperti kalimat Kuntowijoyo: “Dengan sejarah, kita belajar jatuh cinta.”

Kiranya cinta semacam itulah yang 14 tahun lalu mendorong Mixi Imajimime Theatre dan kawan-kawan lintaskomunitas menginisiasi kegiatan Nyusur History Bandoeng Bebarengan. Kami meyakini siapapun, dari berbagai lapisan, bisa turut serta dalam usaha menyelamatkan khazanah bangunan cagar budaya dan warisan sejarah budaya yang kita miliki saat ini dan masa yang akan datang. Kami mengajak siapa saja yang peduli untuk terus menyuarakannnya.

Kegiatan sejak sore hari itu seperti siklus hidup dengan segala pertemuannya. Saya mengingat omongan Bapak Ilmu Sejarah Herodotus: “Sejarah tidak bergerak maju dengan tujuan tertentu, melainkan bergerak melingkar. Sejarah merupakan kajian tentang siklus jatuh bangunnya masyarakat dan peradaban, mencakup seluruh peristiwa yang terjadi dari masa lalu hingga kini”.

Hari itu, sekitar pukul 11 malam, hujan perlahan reda di kawasan Asia Afrika. Udara Bandung terasa dingin. Inilah kota tempat saya kini tinggal dan belajar tentang proses juga tentang pertaruhan kehidupan. Belajar secara kritis, tentu saja.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//