• Berita
  • Keluhan Para Pedagang Pasar Sehat Cileunyi: Dagangan Sepi, Omzet Anjlok

Keluhan Para Pedagang Pasar Sehat Cileunyi: Dagangan Sepi, Omzet Anjlok

Pasar Sehat Cileunyi direvitalisasi pada 2011. Para pedagang mengeluh jumlah pengunjung berkurang. Musim hujan dan persaingan memperparah situasi.

Kondisi Pasar Sehat Cileunyi. Kabupaten Bandung, Sabtu, 24 Mei 2025. Para pedagang mengeluh sepi pembeli. (Foto: Vallencya Susanto/BandungBergerak)

Penulis Vallencya Susanto 27 Mei 2025


BandungBergerak.idPasar Sehat Cileunyi merupakan salah satu pasar tradisional terbesar di kawasan Cileunyi dan Jatinangor. Sejak lama pasar ini menjadi tumpuan ekonomi masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan pokok. Namun, kondisi pasar yang direvitalisasi pada 2011 itu justru mengundang keluhan dari para pedagang. Pengunjung pasar semakin sepi dan omzet pun merosot tajam.

Partiyem (60 tahun), pedagang sayuran yang telah berjualan di pasar tersebut lebih dari empat dekade, mengungkapkan bahwa sejak beberapa waktu terakhir penghasilannya terus menurun. Banyak sayuran yang akhirnya terbuang karena tidak laku dan sudah busuk. Keuntungannya dari jualan sehari kadang tidak cukup untuk menutup modalnya.

Musim hujan yang berkepanjangan turut memperparah situasi. Sayuran berdaun menjadi cepat layu dan pembeli pun enggan membeli dalam jumlah banyak. Akibatnya, omzet pedagang sayuran seperti Partiyem makin tergerus.

Keluhan senada juga datang dari Ani (40 tahun), pedagang ayam potong yang telah menekuni usahanya sejak remaja. Ia mengaku, penurunan omzet yang dialaminya mencapai 70 persen dibandingkan dengan masa sebelumnya.

“Kalau sekarang mah omzet justru turun banget. Kaya dulu mah ibu juga waktu ada almarhum bapak, bisa motong ayam sampai tiga mobil, sekarang mah jauh turunnya jadi harus ambil dari orang lain buat dijual lagi,” tutur Ani, Sabtu, 24 Mei 2025.

Kondisi ini diperparah oleh menjamurnya pasar tumpah di wilayah sekitar Jatinangor dan Cileunyi. Pasar tumpah adalah pasar dadakan yang biasanya muncul di lokasi-lokasi strategis, beberapa kali dalam seminggu, dan sering kali menjual barang serupa dengan yang ada di pasar tradisional.

“Pasar tumpah teh pasar yang dadakan, makanya jualan di sini sekarang sepi,” kata Partiyem.

Ia menambahkan, jika sebelumnya ia dapat pulang pada pukul 10 pagi setelah dagangannya ludes, kini ia harus bertahan hingga pukul 11 siang dan masih banyak dagangan tersisa. Pembeli pun kini hanya ramai sejak pukul 3 pagi hingga 8 pagi, itu pun dengan volume pembelian yang lebih kecil.

Situasi ini menimbulkan keresahan di kalangan pedagang. Mereka menilai, Pasar Sehat Cileunyi pasca-revitalisasi tak lagi memberikan kenyamanan berdagang seperti dahulu. Selain lokasi yang tak strategis, pesaing dari luar pun semakin banyak.

Baca Juga: Cerita Pedagang Pasar Banjaran Penolak Proyek Revitalisasi: Tidak Didengarkan Bupati, Takut Pasar Dibakar
Pasar Gedebage: Pasar Tradisional yang Digandrungi Milenial

Riwayat Revitalisasi Pasar Sehat Cileunyi

Pasar Sehat Cileunyi merupakan hasil dari program revitalisasi Pasar Cileunyi yang diresmikan November 2011. Program ini merupakan kerja sama antara pemerintah daerah dan pihak swasta, yakni PT Biladi Karya Abadi, sebagai pengembang dan pemegang hak manajemen. Luas pasar diperluas dari sebelumnya 0,3 hektare menjadi 1,7 hektare, lengkap dengan pembangunan sekitar 685 unit kios dan los untuk dagangan basah dan kering.

Namun revitalisasi ini tidak berjalan mulus. Banyak pedagang lama yang tidak sepakat dengan relokasi dan penataan ulang yang diterapkan. Menurut jurnal ilmiah berjudul “Dampak Pelaksanaan Program Revitalisasi Pasar Tradisional Terhadap Interaksi Sosial dan Biaya Produksi Pedagang” yang ditulis oleh Zumi Saidah dan Radinal Hakam dari Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, sebagian besar pedagang menyatakan merasa nyaman berdagang di lokasi lama karena dekat dengan jalan raya dan mudah dijangkau pembeli.

Setelah revitalisasi, para pedagang dipindahkan ke lokasi baru yang berjarak lebih dari 30 meter dari jalan utama, sehingga hanya pembeli yang benar-benar berniat masuk pasar yang datang. Hal ini berdampak pada turunnya kunjungan dan daya beli.

Pihak swasta yang ditunjuk pemerintah melakukan berbagai sosialisasi sejak 2004, termasuk melalui tokoh masyarakat dan komunitas pedagang P3C (Paguyuban Pedagang Pasar Cileunyi). Namun, upaya sosialisasi itu tetap mendapat penolakan dari sebagian besar pedagang.

“Tahun 2008 merupakan waktu peletakan batu pertama,” tulis peneliti, menandai dimulainya pembangunan fisik pasar. Surat edaran mengenai relokasi mulai dibagikan oleh pengembang dan memicu reaksi keras dari para pedagang. Kerja sama antarpedagang pun terbentuk kembali melalui P3C yang aktif melakukan penolakan dan menggalang dukungan.

Salah satu informan dari kalangan pedagang yang menjadi aktivis P3C mengatakan, “P3C sudah terbentuk sejak lama Pasar Cileunyi didirikan, hanya saja mulai aktif kembali karena pedagang tidak setuju dengan adanya pembangunan dan relokasi.”

Masalah lain juga muncul dalam penempatan los dan kios. Para pedagang berharap dapat kembali mendapatkan posisi strategis sebagaimana sebelumnya, terutama mereka yang sudah lama menempati tempat berdagang di sisi depan. Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya diakomodasi oleh pengelola pasar.

Kini, Pasar Sehat Cileunyi berdiri megah, namun kehilangan denyut ekonomi seperti dulu. Pedagang mengeluh sepinya pembeli. Dengan semakin banyaknya pesaing seperti pasar tumpah dan lokasi kios yang kurang strategis, mereka berharap pemerintah kembali mendengar suara para pedagang kecil yang menjadi tulang punggung pasar tradisional.

*Kawan-kawan silakan membaca artikel dari Vallencya Susanto, atau tulisan lain tentang Pasar Tradisional

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//