Nonton Bersama Twenty Four Eyes, Melihat Pedihnya Kehidupan Zaman Perang Dunia II di Pedalaman Jepang
Film Twenty Four Eyes dianggap membawa perubahan peta perfilman di Jepang, selain mengangkat tokoh perempuan yang progresif di zaman Perang Dunia II.
Penulis Fitri Amanda 27 Mei 2025
BandungBergerak.id - Laut tenang terhampar mengelilingi Shodoshima, pulau terbesar kedua di Jepang. Di kejauhan, kaki gunung menyentuh tepian laut dan perahu-perahu bergerak lambat. Nyanyian mengalun lembut mengisi latar belakang warga desa yang sibuk melakukan aktivitas rutin mereka. Pulau pedalaman itu juga merasakan masa-masa sulit krisis moneter, militerisme, dan Perang Dunia II.
Perlahan, teks putih bermunculan di layar: “Di antara pulau-pulau di laut pedalaman Jepang, yang terbesar kedua adalah Shodoshima… Kisah ini terjadi di sana lebih dari dua dekade lalu”.
Tanggal 4 April 1928 adalah waktu di mana kisah dalam film Twenty Four Eyes (1954) yang disutradarai Keisuke Kinoshita itu bermula. Film klasik Jepang bernuansa hitam-putih, adaptasi dari novel karya Sakae Tsuboi pada 1952 dengan judul yang sama, ini diputar di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 23 Mei 2025, dalam kolaborasi komunitas Kembang Kata bersama LayarKita.
Film yang memenangkan Golden Globe tahun 1955 dalam kategori Film Berbahasa Asing Terbaik ini menceritakan kisah Oishi, seorang guru perempuan sekolah dasar Pulau Shodoshima. Kisah Oishi berlangsung selama hampir dua dekade masa suram perang.
Oishi pertama kali datang ke sekolah mengenakan setelan pakaian “modern”, rok dan jas, bukan kimono selayaknya pakaian guru perempuan Jepang umumnya. Itu dilakukan karena ia harus bersepeda ke sekolah yang jaraknya jauh dari rumah. Penampilan Oishi mengejutkan penduduk desa. Tak jarang ia mendapatkan tatapan hingga omongan buruk.
Namun, seiring waktu, ia pun dapat meraih kasih sayang dari dua belas muridnya. Mereka adalah anak-anak yang kemudian terpapar kerasnya kehidupan dampak perang.
Kenyataan pahit kemudian secara terpaksa Oishi telan. Ia perlahan menyaksikan beberapa dari muridnya putus sekolah karena harus bekerja dan bersiap mengikuti wajib militer. Bahkan beberapa muridnya kemudian tewas di medan perang.
Film ini memperlihatkan perubahan murid-muridnya dari anak-anak hingga menjadi dewasa, serta kehilangan mendalam dialami Oishi.
Baca Juga: Mendekatkan Film dan Mengaktivasi Ruang Publik lewat Sinema Kuriling
NONTON FILM: Film Legally Blonde, Mengapa Perempuan Cantik Dipandang Sebelah Mata

Asgar, salah satu peserta nonton bareng, mengatakan film Twenty Four Eyes terasa sangat sederhana dengan alurnya yang terus bergerak maju tanpa banyak lompatan waktu atau kilas balik yang rumit. Kesederhanaan alur membuatnya masuk ke dalam kehidupan Oishi, juga kehidupan dan penderitaan murid-muridnya sampai mereka tumbuh dewasa.
Menurut Asgar, film ini juga memperlihatkan dinamika kehidupan sosial di Pulau Shodoshima. Kehidupan berjalan apa adanya, anak-anak, para murid Oishi, harus menghadapi dilema-dilema kehidupan yang berat. Salah satunya adalah ketika beberapa murid memutuskan berhenti sekolah demi bekerja, momen yang menurut Asgar menyayat hati.
“Itu tuh buat aku itu sangat menyedihkan. Bagaimana kita melihat linearnya kehidupan juga terkadang aku ngelihat tuh kehidupan sendiri itu pedih banget. Kalau kita lihat dari sisi kehidupan itu sendiri bagaimana kita terjun langsung tanpa kita bisa kembali ke masa kecil kita lagi,” ucapnya ,di sesi diskusi setelah pemutaran film Twenty Four Eyes.
Emma dari LayarKita menyampaikan bahwa Twenty Four Eyes adalah salah satu film yang turut menggeser arah perfilman di Jepang. Sebelum film ini hadir, sebagian besar film Jepang masih didominasi oleh cerita-cerita belatar belakang tradisional yang penuh aksi, seperti samurai dan semacamnya.
Kehadiran Twenty Four Eyes menjadi semacam titik balik penting perfilman Jepang yang membawa pendekatan yang jauh lebih humanis. “Jadi kemudian, setelah kehadiran film ini, muncul lah film-film humanis lainnya,” ungkap Emma.
Yanti, peserta lainnya dari LayarKita, dari sisi humanis film ini mungkin akan langsung dapat ditangkap oleh penontonnya sejak awal. Namun, hal yang ia sukai adalah bagaimana perjuangan perempuan benar-benar dihargai. Sosok Oishi dalam cerita digambarkan dengan kekuatan dan empati yang besar, sesuatu yang menurut Yanti jarang sekali diangkat dalam film Jepang, apalagi pada masa itu.
“Betapa film ini tuh sangat menghargai dan memperlihatkan perjuangan perempuan. Jadi secara raw, secara real, dan pokoknya perempuan di sini dikasih justice-lah,” ucapnya.
Selain itu, mengingat konteks sosial di Jepang pada saat film ini dirilis pada tahun 1954, Yanti mengatakan bahwa Twenty Four Eyes dapat dikatakan sebagai film progresif. Keisuke Kinoshita, sang sutradara, berani mengangkat isu-isu sensitif terkait perempuan, khususnya perempuan Jepang. Keisuke Kinoshita memberikan perempuan ruang untuk tampil sebagai individu yang kuat dalam situasi sosial yang penuh tantangan.
Melihat betapa populernya film dan juga novel ini, Yanti menyimpulkan bahwa karya ini mampu menyentuh masyarakat Jepang karena telah memperlihatkan dan menggambarkan perempuan dari sudut pandang yang sangat dekat dan manusiawi.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Fitri Amanda, atau artikel-artiikel lain tentang FILM