• Literasi
  • NONTON FILM: Film Legally Blonde, Mengapa Perempuan Cantik Dipandang Sebelah Mata

NONTON FILM: Film Legally Blonde, Mengapa Perempuan Cantik Dipandang Sebelah Mata

Lewat karakter Elle Woods di film Legally Blonde kita melihat bagaimana masyarakat menentukan standar kecantikan, bahkan menghubungkan dengan kecerdasan.

Film Legally Blonde (2001). (Sumber: Youtube Netflix)*

Penulis Salma Nur Fauziyah21 Juni 2024


BandungBergerak.idBeberapa hari ini saya sedang kepincut menonton film-film lama bergenre komedi romantis. Berawal dari Flipped (2010) yang saya temukan di Netflix, hingga merambah untuk nonton film sejenis yang tersedia di platform itu. Tiba-tiba, ada sebuah dorongan bahwa saya merasa perlu menyelami genre-genre sejenisnya sebagai cara mengalihkan kepenatan duniawi.

Akhirnya, saya mencoba menonton film berjudul Legally Blonde (2001). Film ini cukup terkenal. Terkadang cuplikan videonya nyangkut di linimasa media sosial. Namun, tidak saya duga. Film yang dibintangi aktris Hollywood Reese Witherspoon ini sangat seru dan penuh dengan makna mendalam.

Alur ceritanya sangat sederhana. Tipikal film komedi romantis ala-ala Hollywood. Berkisah tentang Elle Woods, seorang cewek primadona yang ingin masuk ke Sekolah Hukum Harvard demi mengejar mantan pacarnya. Meski berhasil menjadi siswi Harvard dan dapat bertemu kembali dengan Warner, sang mantan, Elle masih perlu membuktikan diri bahwa dia benar-benar mampu dan pantas untuk belajar di Sekolah Hukum Harvard.

Sepintas kehidupan Elle kelewat sangat beruntung. Lahir sebagai anak orang kaya. Berparas cantik, berambut pirang, dan bermata biru. Sesuai dengan standar kecantikan perempuan Amerika pada saat itu.

Ia disukai dan dipuja-puji oleh teman-temannya di Delta Nu. Selalu menang kontes kencantikan. Bahkan menjadi ratu dalam perkumpulan sosial.

Namun, semua itu sirna saat Elle masuk ke Sekolah Hukum Harvard. Meski mendapat IPK 4.0, awalnya Elle diragukan saat mendaftar ke sana. Cuma karena dia lulusan dari jurusan fashion merchandising. Jurusan yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hukum, meski sebenarnya Sekolah Hukum Harvard terbuka bagi segala lulusan S1.

Di Harvard, tidak ada teman-teman yang menyukainya. Rambut pirang dan gaya busana mewah bernuansa merah mudah yang mencolok membuat Elle dipandang sebagai orang bodoh.

Meski diremehkan, Elle berusaha untuk tidak menyerah. Berkat dukungan dan kepercayaan dari Emmett dan Paulette, Elle mampu membuktikan bahwa pintar atau tidaknya dia bukan ditentukan lewat warna rambut dan gaya busananya. Di samping semua stigma yang melekat, Elle bisa menjadi siswi teladan seantero Sekolah Hukum Harvard angkatan 2004.

Saya terkesima dan terpana dengan cara Elle membuktikan dirinya. Sekaligus bertanya-tanya, mengapa perempuan berparas cantik dan feminin sering kali dianggap sebelah mata.

Baca Juga: NONTON FILM: Taruh Nyawa, Drama Seorang Perawat Merawat Ayahnya yang Dimensia
NONTON FILM: Dune, Ketika Masyarakat Menjadi Komoditas Bagi Duet Maut Kekuasaan dan Agama
Film Eksil, Putusnya Generasi Intelektual di Indonesia

Stereotipe Perempuan Cantik (dan Berambut Pirang)

“Elle! If I’m gonna be a senator, well, I need to marry a Jackie, not Marilyn.”

“So you’re breaking up with me because I’m too… blonde?”

Di atas merupakan salah satu dialog antara Elle dan Warner, Film Legally Blonde (2001) pada menit 07:55 - 08:04.

Menonton film ini sebenarnya memantik sebuah pertanyaan, mengapa perempuan cantik, modis, dan suka merawat diri selalu dikategorikan sebagai seseorang yang dungu. Ditambah lagi jika dia masuk ke dalam standarisasi kecantikan masyarakat, mereka otomatis hanya akan dilihat dari segi fisiknya yang rupawan saja tanpa mempedulikan kemampuan mereka yang mumpuni terhadap bidang tertentu.

Elle Woods memang hadir sebagai tokoh yang menjadi representasi perempuan yang memenuhi standar kecantikan di Amerika. Paling jelas adalah ia perempuan berkulit putih dan berambut pirang. Banyak orang di Amerika yang rela mewarnai rambutnya menjadi pirang untuk memenuhi standar kecantikan tersebut.

Namun, dalam kebudayaan populer Amerika, kerap kali penggambaran perempuan kulit putih dan berambut pirang sebagai orang berparas cantik tapi kurang cerdas. Stereotipe yang melekat pada mereka adalah dumb blonde atau si pirang bodoh. Selain Elle, penokohan Marilyn Monroe dalam film Gentlemen Prefer Blondes atau Karen Smith dalam film Mean Girls (2004) menjadi contoh bagaimana industri film Hollywood menebarkan stereotipe dumb blonde ini.

Mitos hubungan rambut dan IQ pernah dibahas dalam sebuah penelitian yang digagas oleh seorang peneliti dari Universitas Ohio, Jay L. Zagorsky. Penelitiannya yang terbit tahun 2001 silam berangkat dari sebuah pertanyaan, apakah para orang berambut pirang benar-benar bodoh?

Jay meneliti dengan menggunakan hasil data sebuah lembaga survei bernama National Longitudinal Surveys (NLS). Ia mengambil data soal warna rabut dan IQ. Hasil penelitiannya membuktikan jika apa yang selama ini media atau industri film Hollywood gambarkan mengenai orang-orang berambut pirang itu bodoh adalah sebuah kebohongan besar.

Rata-rata posisi pemilik IQ tinggi ditempati oleh orang berambut pirang. Ini membuktikan bahwa warna rambut seseorang tidak menjadi penentu apakah dia pintar atau tidak. Bahkan dalam hasil penelitian Jay, orang-orang berambut pirang malah lebih melek literasi karena mendapat privilese atau mudahnya akses membaca dari lingkungan keluarganya.

Bak mengoyak stereotipe ini lebih dulu, film yang sebenarnya berasal dari sebuah novel berjudul sama, menekankan bahwa kecantikan bukanlah menjadi sebuah barometer kecerdasan seorang perempuan. Keyakinan akan kemampuan diri sendiri dan membuktikannya menjadi sebuah pesan yang kuat dari film ini.

You must always have faith in people. And most importantly, you must always have faith in yourself. Congratulations, class of 2004. We did it!”

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel lain tentang Nonton Film

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//