Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Indonesia Masih Mengandalkan Energi Kotor Fosil
Menambah PLTU dalam RUPTL ibarat menuangkan bensin ke rumah yang sudah kebakaran. Indonesia akan semakin tergantung pada batu bara dan bahan bakar fosil lainnya.
Penulis Awla Rajul28 Mei 2025
BandungBergerak.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia resmi meluncurkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2025-2035, di Jakarta, Senin, 26 Mei 2025. Dokumen baru yang dirilis pemerintah itu mendapatkan kritikan dari sejumlah organisasi lingkungan, lantaran masih memasukkan rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga fosil, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara maupun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG).
Dokumen teknis itu, merencanakan penambahan pembangkit listrik tenaga fosil sebesar 16,6 Gigawatt atau 24 persen dari total rencana penambahan pembangkit sebesar 69,6 Gigawatt. PLTU akan ditambah sebanyak 6,3 Gigawatt dan PLTG sebanyak 10,3 Gigawatt.
“Di Eropa aja masih ada pake batu bara kok, di Turki masih ada. Kita aja yang terlalu kekinian. Tapi gapapalah, ini dalam rangka menjaga bumi kita kan, yang penting subsidi ke negara jangan banyak-banyak aja,” ungkap Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers peluncuran RUPTL yang disiarkan melalui channel YouTube Kementerian ESDM.
Keputusan pemerintah terkait RUPTL menuai kritik dari Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) Tata Mustasya. Ia menerangkan, masih besarnya porsi energi fosil dalam RUPTL terbaru menunjukkan rencana kelistrikan yang tidak sesuai dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang di KTT G20 Brasil sempat menyatakan bahwa Indonesia akan berhenti menggunakan pembangkit fosil pada 2040.
“RUPTL ini merupakan kemunduran dari pernyataan Presiden di KTT G20 akhir tahun lalu mengenai komitmen transisi energi Indonesia. Ini akan memberi ketidakpastian bagi publik, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang ingin beralih ke energi terbarukan. Dengan RUPTL seperti ini, komitmen Indonesia keluar dari ketergantungan pembangkit energi fosil di tahun 2040 mustahil tercapai,” kata Tata, dikutip dari siaran pers yang diterima BandungBergerak.id, Senin, 26 Mei 2025.
Menurut Tata, RUPTL terbaru ini perlu direvisi dalam kerangka industrialisasi hijau, di mana industry energy terbarukan mestinya menjadi andalan untuk mendorong industri manufaktur Indonesia yang mengalami kemandekan sejak awal 2000-an. Indonesia seharusnya dapat fokus mengembangkan industri rantai pasok panel surya, baterai, dan kendaraan listrik yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
“Kebijakan yang konsisten merupakan kunci, salah satunya RUPTL yang tidak memasukkan lagi pembangkit berbahan bakar fosil baru,” tegas Tata.
Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menambahkan, RUPTL 2025-2034 masih banyak mengakomodasi kepentingan energi fosil baik batu bara dan gas. Langkah tersebut menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia.
“Investor maupun pendanaan di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL, karena pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi. Misalnya mereka mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal. Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal,” kata Bhima.
RUPTL baru ini, lanjutnya, justru berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan dalam beberapa tahun ke depan. “Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8 persen? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil,” Bhima menegaskan.
Baca Juga: Pertanian di Mekarsari, Benteng Terakhir dari Ancaman Asap Batu Bara
Mempertanyakan Sejauh Mana Ketaatan Pengelola PLTU dalam Menjalankan Perlindungan Lingkungan Hidup
Tersangkut Kaki pada Fossil Energy
Meski hampir seperempat dari total penambahan pembangkit masih berasal dari energi fosil, pemerintah merencanakan porsi yang besar untuk listrik hijau. Penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan direncanakan sebesar 42,6 Gigawatt (61 persen) dan fasilitas penyimpanan listrik (storage) sebesar 10,3 Gigawatt (15 persen).
Energi baru terbarukan itu di antaranya tenaga Surya sebesar 17,1 Gigawatt, tenaga Air 11,7 gigawatt, tenaga Angin 7,2 gigawatt, tenaga Panas Bumi 5,2 gigawatt, tenaga Bioenergi 0,9 gigawatt, dan tenaga Nuklir sebesar 0,5 gigawatt. Sementara fasilitas penyimpanan listrik yaitu Baterai sebesar 6,0 gigawatt dan PLTA Pumped Storage sebesar 4,3 Gigawatt.
Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati mencermati, rencana penambahan pembangkit listrik berbahan fosil berisiko membuat sistem energi nasional tergantung pada energi kotor. Penambahan PLTU di tengah dominasinya yang mencapai 70 persen dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik bukan merupakan langkah yang tepat. Jika PLTU terus ditambah, maka pemerintah daerah, terutama yang selama ini ekonominya bergantung pada batu bara, semakin kehilangan waktu untuk membangun ekonomi alternatif di tengah sumber daya alam dan lingkungan yang telah terdampak.
“Menambah PLTU dalam RUPTL hari ini, sama seperti menuangkan bensin ke rumah yang sudah kebakaran. Di saat kita harus keluar dari dominasi batu bara, RUPTL justru memberi ruang baru. Padahal tanpa tambahan sekalipun dalam grid PLN, PLTU tetap tumbuh diam-diam lewat captive power,” terang Sartika, dalam siaran pers.
Sartika menegaskan, ekosistem ini akan membentuk ketergantungan struktural dan ekonomi yang sulit diakhiri. Masih adanya penambahan pembangkit energi fosil akan menciptakan insentif untuk mempertahankan operasi energi fosil lebih lama dari target ideal dalam skenario iklim. Jika upaya penambahan ini terjadi, ia khawatir, Indonesia akan sulit mengakhiri ketergantungan pada ekosistem PLTU yang sudah terlanjur dibangun.
Di samping PLTU, penambahan PLTG, yang memiliki umur teknis 25-30 tahun, biasanya akan diikuti investasi pembangunan pipa gas dan terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG), kontrak pasokan gas jangka panjang, peningkatan impor gas, dan subsidi pemerintah melalui harga gas bumi tertentu (HGBT).
“Ketika proyek infrastruktur gas sudah dibangun dan modal besar sudah tertanam (sunk cost), sangat sulit bagi pemerintah atau operator untuk menutupnya sebelum akhir umur teknisnya, kecuali dengan kompensasi besar,” kata Sartika.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain tentang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara