Yang Rusak Bukan Rumput, tapi Cara Pandangmu: Jalan Sesat Logika Dedi Mulyadi
Suporter bukan residu sosial yang perlu “dibina” oleh tentara. Mereka adalah warga kota yang menghidupkan stadion, menyemarakkan ekonomi mikro setiap akhir pekan.

Rizki Febrianto
Seorang primata yang menyukai sepak bola
29 Mei 2025
BandungBergerak - Ketika Dedi Mulyadi melempar wacana untuk memasukkan Bobotoh ke barak militer sebagai bentuk hukuman atas kerusakan fasilitas Stadion GBLA, yang terasa bukan lagi kejutan, melainkan kelelahan. Kelelahan melihat tingkah konyol pejabat publik yang masih saja gagal memahami serta menyikapi sebuah persoalan. Apa-apa barak, apa-apa masuk barak—seolah seluruh persoalan sosial bisa selesai dengan pendekatan ala militer! Ini bukan cuma gak lucu, tapi juga menunjukkan betapa jauhnya jarak pemahaman mereka terhadap realitas sosial termasuk di tribun dan sepak bola.
Wacana ini bukan sekadar problematik dari sisi pendekatan, tapi juga memperlihatkan kekosongan perspektif dalam memahami suporter, tata kelola olahraga, dan peran komunitas dalam membentuk kehidupan kota. Ia lahir dari cara pandang lama yang menganggap keteraturan sosial hanya bisa ditegakkan melalui ketakutan dan represi. Padahal, baik sejarah maupun berbagai studi ilmu sosial telah berkali-kali menunjukkan: komunitas tak bisa dikendalikan dengan intimidasi. Mereka hanya bisa tumbuh dan bertahan melalui partisipasi, kepercayaan, dan rasa memiliki.
Dalam konteks itu, Bobotoh bukan sekadar kerumunan orang yang datang ke stadion. Mereka adalah sebuah ekosistem sosial yang kompleks. Meminjam istilah sosiolog Prancis Michel Maffesoli, mereka termasuk dalam communitas passional—sebuah komunitas emosional, di mana ikatan antarindividu dibentuk bukan semata karena rasionalitas, tapi oleh emosi kolektif yang menyala: cinta pada klub, solidaritas, dan ritus stadion yang membentuk identitas bersama. Inilah yang membuat mereka bertahan, bahkan ketika klub tak selalu menang, atau bahkan ketika mereka sering tak diberi ruang.
Ketika sebagian suporter melakukan apa yang disebut sebagai pelanggaran, pertanyaan pertama seharusnya bukan "siapa yang harus dihukum?", melainkan "bagaimana sistem bisa mencegah hal itu terjadi?" Apakah tata kelola stadion sudah partisipatif? Apakah ada kanal komunikasi terbuka antara manajemen dan komunitas suporter? Dan, yang tak kalah penting: apakah ormas-ormas liar yang selama ini berkeliaran di sekitar GBLA—yang kerap membuat resah—juga sudah ditindak dengan tegas?
Melempar Kesalahan
Perlu diingat, saat ini pengelolaan Stadion GBLA secara resmi telah berada di bawah manajemen PT PBB. Maka segala hal yang menyangkut pemeliharaan fasilitas, pengawasan keamanan, hingga regulasi internal stadion adalah tanggung jawab penuh pihak klub. Jika benar-benar ingin mewujudkan stadion yang tertib dan fasilitas yang terjaga, perbaikannya harus dilakukan secara menyeluruh hingga penertiban oknum-oknum aparat serta ormas yang selama ini justru lebih sering menjadi biang keributan atas nama jatah keamanan.
Dalam hal ini, Bobotoh sebenarnya bukan bagian dari masalah, melainkan bagian dari potensi solusi. Mereka punya rasa memiliki yang kuat terhadap klub dan stadionnya. Maka, alih-alih menyalahkan, lebih bijak bila justru memperbaiki komunikasi dan menggandeng Bobotoh dalam menjaga atmosfer stadion tetap kondusif. Karena bila bicara soal tanggung jawab, semua pihak seharusnya bercermin—termasuk manajemen klub sendiri.
Kita tidak mungkin bisa lupa terhadap peristiwa tragis yang terjadi pada 2022 lalu, ketika dua Bobotoh meninggal dunia akibat desak-desakan saat mengantre masuk ke stadion GBLA. Peristiwa memilukan itu dengan jelas menunjukkan adanya kelalaian kontrol oleh manajemen. Namun hingga hari ini, tak satu pun pihak yang benar-benar bertanggung jawab. Tidak ada investigasi menyeluruh, tidak ada evaluasi terbuka. Hal ini mencerminkan ketimpangan akut dalam cara tanggung jawab ditegakkan: begitu cepat menyalahkan suporter, namun begitu lambat melakukan introspeksi ke dalam.
Pernyataan Dedi Mulyadi bahwa “anak-anak atau orang dewasa saya tidak tahu umurnya berapa yang mencabut rumput dan menggunting jaring di GBLA sudah ditangani kepolisian,” serta usulannya untuk menempatkan mereka di barak militer agar dibina, bukan hanya absurd, tapi juga berbahaya. Menggunakan instrumen militer untuk “membina” warga sipil yang tidak bersenjata adalah langkah mundur yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Apalagi, kenyataan bahwa satu orang Bobotoh telah ditangkap dan lainnya masih diburu seolah-olah mereka pelaku kejahatan besar, menunjukkan kecenderungan negara yang selalu bernafsu terburu-buru melempar kesalahan ke individu. Mereka gagal membaca konteks: bahwa ini bukan tindakan kriminal terencana, melainkan ekspresi euforia kolektif dalam momen emosional.
Padahal, dalam banyak negara dengan kultur sepak bola yang sudah matang, kejadian serupa justru ditangani dengan pendekatan berbasis komunitas. Di sana, aksi seperti mencabut rumput, memotong jaring gawang, atau membawa pulang bagian dari stadion setelah momen besar tidak serta-merta dianggap sebagai vandalisme. Ia dilihat sebagai bentuk spontanitas emosional dan cinta yang begitu besar terhadap klub.
Sebagai pembanding, mari tengok apa yang terjadi di Hamburg, Jerman, pekan lalu. Ketika Hamburg SV berhasil promosi ke Bundesliga, ribuan suporter menyerbu lapangan. Rumput stadion dicabut, jaring gawang dipotong dan dibawa pulang sebagai kenang-kenangan. Jika memakai logika Dedi Mulyadi, aksi seperti ini mungkin cukup untuk membuat seluruh stadion dibawa ke barak militer. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—manajemen Hamburg SV tidak marah, apalagi represif. Mereka memahami bahwa luapan emosi itu adalah bagian dari ritual kolektif kemenangan. Mereka tahu bahwa yang lebih penting dari rumput yang rusak adalah rasa keterhubungan emosional antara klub dan suporternya.
Bahkan saat ada korban luka dalam insiden pitch invasion tersebut, pihak keamanan dan pemadam kebakaran sudah siaga. Tugas mereka bukan memburu pelaku, tapi menjaga keselamatan, memastikan euforia tidak berubah menjadi tragedi. Karena di sana, fans bukan dianggap beban, melainkan bagian utuh dari klub yang harus dipeluk, bukan diperangi.
Contoh serupa juga terjadi di West Ham. Saat klub memainkan laga terakhir di stadion lamanya sebelum pindah, fans diperbolehkan menyimpan ataupun membeli kursi, potongan rumput, hingga papan penunjuk arah stadion sebagai memorabilia. Klub mendistribusikannya secara resmi karena mereka paham: ini bukan perusakan, tapi bentuk cinta.
Semua ini menunjukkan satu hal penting: bahwa kecintaan suporter bisa dikelola dengan kearifan, bukan dengan ketakutan. Bahwa stadion bukan ruang steril yang hanya bisa dinikmati dengan diam dan duduk manis. Ia adalah ruang publik emosional, tempat identitas kota dan rakyatnya bertaut. Dan karena itulah, yang pertama dipahami adalah memahami konteks mereka, bukan mengancamnya layaknya kriminal.
Baca Juga: Dari Tegallega ke Sukahaji dan Persib sebagai Belati
Dari Barak ke Vasektomi: Fantasi Kekuasaan dalam Format Vertikal
Nostalgia Otoritarian
Retorika “barak militer” yang dilontarkan Dedi Mulyadi mencerminkan nostalgia otoritarian yang salah tempat. Kita bukan sedang hidup di era darurat militer, Bung! Stadion bukan kamp latihan disiplin, dan suporter bukan tentara cadangan yang harus diluruskan barisannya.
Suporter bukan residu sosial yang perlu “dibina” oleh tentara. Mereka adalah warga kota yang menghidupkan stadion, menyemarakkan ekonomi mikro setiap akhir pekan, dan membawa nama Persib ke mana-mana dengan penuh kebanggaan. Jika ada kerusakan, perbaiki sistemnya. Jika ada pelanggaran, lakukan investigasi yang transparan dan adil. Tapi menjadikan ancaman sebagai kebijakan hanya akan menjauhkan klub dari nyawanya.
Sebab sepak bola bukan sekadar olahraga. Ia adalah ranah budaya populer yang kompleks, seperti yang dijelaskan Franklin Foer dalam Memahami Dunia Lewat Sepak Bola. Sepak bola merepresentasikan kelas sosial, identitas kolektif, ruang emosi, dan bahkan arena politik. Dalam kerangka itu, suporter tidak bisa dipandang sebagai massa irasional yang siap dihardik. Mereka adalah aktor kultural aktif yang menjaga nyawa klub tetap berdenyut. Mengelola mereka bukan soal represi, tapi soal dialog, partisipasi, dan penghargaan terhadap ruang publik.
Wacana memasukkan Bobotoh ke barak militer sejatinya memperlihatkan kegagapan pejabat publik dalam memahami dan merespons dinamika sosial melalui cara yang manusiawi. Ini cermin dari apa yang pernah dibahas Michel Foucault dalam konsep biopolitik—bagaimana negara mengelola tubuh-tubuh warganya melalui mekanisme kontrol, disiplin, dan pengawasan. Barak, dalam hal ini, bukan sekadar tempat. Ia simbol kekuasaan yang ingin membungkam, bahkan menjinakkan tanpa memahami persoalan.
Bobotoh bukan sekadar penonton. Mereka adalah komunitas yang membentuk ekosistem emosional, kultural, bahkan ekonomi untuk klub. Dalam istilah moral economy, Bobotoh adalah jaringan nilai yang menopang eksistensi klub—nilai yang tidak selalu bisa dikalkulasi secara material, tapi sangat nyata daya hidupnya.
Stadion bukan sekadar bangunan, ia adalah public sphere tempat bertemunya banyak kepentingan: politik, hiburan, ekonomi, kebanggaan, dan bahkan ruang pelampiasan kekecewaan sosial. Merespons kompleksitas itu dengan “pendekatan militer” adalah pemikiran simplistik yang menihilkan kerja-kerja sosial yang sudah dibangun oleh komunitas suporter selama bertahun-tahun.
Dialog Terbuka
Sejak era Orde Baru, negara memang terbiasa memandang rakyat—dalam hal ini, suporter—sebagai entitas yang harus dijinakkan. Warisan cara pandang inilah yang tampaknya masih hidup dalam diri sebagian pejabat hari ini, termasuk yang merasa segala persoalan bisa ditebus dengan barak.
Sudah waktunya kita move on dari cara berpikir semacam itu. Sepak bola bukan hanya sebagai pertandingan di atas lapangan, melainkan ruang hidup yang sarat makna sosial dan kultural.
Memperlakukan mereka dengan mengkriminalisasi ekspresi spontan yang lahir dari cinta terhadap klub, justru menunjukkan dangkalnya pemahaman kita terhadap kultur sepak bola itu sendiri. Kita tidak sedang membela sebuah kesalahan, tapi sedang menuntut proporsionalitas dalam menilai dan merespons.
Sepak bola yang sehat hanya bisa tumbuh dari relasi yang sehat antara klub dan suporternya. Jika ada kekeliruan, maka yang dibutuhkan adalah pendekatan yang manusiawi dan dialog terbuka, bukan represi. Karena tak mungkin ada suporter yang ingin klubnya menderita. Mereka mencintai klubnya dengan cara yang mungkin tak selalu rapi, tapi selalu tulus.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB