• Opini
  • Dari Tegallega ke Sukahaji dan Persib sebagai Belati

Dari Tegallega ke Sukahaji dan Persib sebagai Belati

Bobotoh tidak sekadar mengisi kota, tetapi juga membentuknya.

Zen RS

Pemimpin Redaksi Narasi, penulis buku Simulakra Sepakbola

Bobotoh menyatakan sikap atas kasus-kasus penggusuran dalam laga di Stadion GBLA, Bandung, 9 Mei 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

24 Mei 2025


- buat Pilar Parrhesia yang sering menemani bapak keliling Bandung menemui teman-teman

BandungBergerak - Aku belum menulis apa pun tentang Persib sejak 2014. Bukan karena tak ada yang layak ditulis, tapi karena tak ada lagi yang ingin aku simpan dalam kata-kata. 

Hari itu, aku berdiri di belakang gawang. Achmad Jufriyanto mengeksekusi penalti terakhir ke gawang Dede Sulaiman dari Persipura. Persib juara Liga Indonesia setelah 19 tahun. Orang-orang di Jakabaring meledak dalam sorak-sorai, tapi aku hanya duduk. Di dekat bench yang sudah sepi. Di sana, seorang kitman Persib juga diam. Tak ada yang berkata-kata. Kami hanya menatap lapangan. Mungkin karena kami tahu: tak semua kemenangan perlu dirayakan dengan histeria. Ada yang cukup disimpan di dada. Di dada, dan dalam diam. 

Tulisan terakhirku tentang Persib adalah tentang momen itu. 2014 memang akhirnya menjadi momen hening antara aku dan sepakbola. Saking heningnya, aku bisa membacakan lineup Persib di final 2014 di luar kepala seperti mendeklamasikan sajaknya Rendra. 

Lalu waktu berlalu. Tragedi GBLA terjadi. Dua bobotoh meninggal karena inkompetensi manajemen dan panpel. Tak ada yang dihukum. Dua nyawa hilang, dan tak ada satu pun yang merasa perlu minta maaf. Seperti biasa. Lalu tragedi Kanjuruhan datang, membunuh 135 orang. Dibunuh gas air mata. Tak ada lagi yang sama. Stadion tak lagi rumah. 

Gairah menonton bola memudar. Bahkan untuk Persib. Padahal Persib adalah satu-satunya penghubungku dengan sepakbola. Sepakbola Eropa dan dunia sudah tak menarik lagi sejak 2008. Saat segalanya jadi lebih industri hiburan daripada pertandingan. Sejak stadion jadi panggung bagi branding dan investasi, bukan lagi tempat anak-anak belajar berteriak dan laki-laki menangis diam-diam.

Makanya aku datar saja ketika Persib juara musim 2023-2024. Itu gelar keenam yang kusaksikan langsung: 1986, 1990, 1994, 1995, 2014, dan 2024. Tapi yang 2024 terasa kosong. Tak ada yang bergerak di dada. Seperti menonton kemenangan dari layar kaca di ruangan kedap suara. Tak ada rasa, tak ada gaduh, tak ada luka yang sembuh. Hanya skor dan tayangan ulang.

***

Namun musim 2024-2025 terasa sedikit berbeda. Aku kembali menengok Persib, tapi lewat jalur yang memutar: karena insiden kekerasan yang dilakukan pemain dan staf manajemen terhadap bobotoh, karena pelecehan seksual oleh match steward terhadap bobotoh perempuan. 

Persib kembali menjadi urusan. Saat luka bukan menjadi nostalgia, tapi malah membakar alasan. Aku menonton Persib lagi, tapi tidak sendiri. Aku bersama kawan-kawan lain yang marah, yang menggugat. Dari garis belakang aku bersama mereka yang berkata TIDAK atas semua yang tak masuk akal. Mereka bernegosiasi, menuntut penyelesaian kasus-kasus, memastikan kawan-kawan yang ditahan kepolisian bisa segera bebas. 

Kawan-kawan itu bukan suporter yang hanya tahu menuntut menang. Mereka suporter yang menghendaki kehormatan.

Lalu datang keanehan lain: manajemen ngotot mengganti tahun kelahiran Persib dari 1933 menjadi 1919. Tanpa transparansi. Sejarah diperlakukan seperti dokumen akta palsu. Seperti orang yang ingin menulis ulang hidupnya agar tampak lebih tua, lebih penting, lebih pantas dicintai. 

Gairah meledak. Belasan diskusi digelar bersama kawna-kawan dari berbagai penjuru Bandung: tentang sejarah Persib, modernisasi sepakbola, sepakbola sebagai permainan kelas pekerja, tentang tiket yang semakin mahal, tentang Bandung yang semakin rungkad, tentang sepakbola sebagai alat perjuangan. 

Lalu, ancaman penggusuran di Sukahaji dan Cicalengka meledak. Dua titik itu membuat Persib hadir dengan cara yang lebih dalam dan lebih liar. Kami menonton Persib di atas puing-puing kampung Sukahaji yang dibakar. Di sana, Persib menjadi bahasa terbuka—bagi siapa saja, termasuk orang-orang kecil—untuk bertahan hidup, berjuang, dan melawan. 

Karena memang ada banyak cara membunuh kota. Tapi yang paling bangsat: menggusur tempat bocah-bocah main bola. Di ujung-ujung kota yang tinggal nunggu dibuldoser, sepakbola adalah ritual perlawanan. Anak-anak main bola sebelum pagar seng berdiri. Setiap gerak tubuh mereka adalah bentuk melawan. Setiap sorakan itu deklarasi perang: ini kota kami juga, dan kami belum mati.

Makanya jangan heran kalau Persib, Persebaya, PSIM, Persija, PSM dicinta mati-matian. Mereka berantakan dengan segala macam persoalan. Tapi justru di situ cintanya: karena mereka tumbuh dari lapangan-lapangan yang digusur. Mereka lahir dari bola sobek, sendal jepit, dan tanah merah yang dibabat. 

Dan Persib, jangan pernah kau kira lahir dari stadion mulus. Bukan. Ia lahir dari Tegallega. Dari anak-anak pinggiran yang main bola di sela-sela tanah kosong. Sidolig itu dulu punya kolonial. Tapi Persib? Persib lahir di luar pagar itu. Ia bukan anak kandung negara. Ia anak pungut kota. Hidup karena rakyat yang menjaganya.

Persib bagi warga di Sukahaji tahun ini, juga warga Taman Sari pada 2019, tidak lagi soal menang atau kalah. Ia adalah bagian dari siasat bertahan hidup. Ia adalah kalimat perlawanan yang tak bisa disensor. Ia adalah wajah anak kecil yang menatap layar TV sambil memegang bendera robek dengan sepasang sandal yang merk dan warnanya berbeda.

Dan jangan lupa juga: Bandung bukan cuma dibangun dari aspal dan semen. Kota ini juga tersusun dari kaki-kaki kecil yang terus berani main walau diteriaki Satpol PP. Bandung juga dibangun oleh anak-anak yang tetap datang walau lapangan dikunci, walau bola bolong, walau digebuk aparat, padahal hanya bermain bola plastik di Cikapayang atau Saparua pada Jumat malam. Mereka datang. Mereka main. Karena itu satu-satunya cara mereka bertahan.

Makanya Persib itu penting. Ia adalah kosa kata bersama bagi orang Bandung dan Jawa Barat. Seperti rokok yang ditawarkan dua orang asing di trotoar—satu tak punya korek, yang lain memberi api. Persib memulai percakapan. Persib jadi jembatan yang mempertemukan kelas sosial yang berbeda. Itu penting, di zaman ketika setiap orang dipaksa menderita sendiri-sendiri, bahagia sendiri-sendiri, oleh sistem yang senang memelihara segregasi. 

Pada rentetan demonstrasi menjelang lebaran lalu, aku menyaksikan suporter turun ke jalan. Mereka tidak datang sebagai penonton, tapi sebagai bagian dari para pemilik hak yang hendak mempertahankan apa yang menurut mereka pantas dipertahankan. Nyanyian yang biasa terdengar di tribun kini berpindah ke jalanan, menyatu dengan pekikan dan asap flare yang memerahkan udara. Dari stadion ke aspal, dari chant ke sikap.

Tragedi-tragedi itu, terutama Kanjuruhan, justru mempertemukanku dengan banyak kawan baru dari berbagai kota.

Tentu akan selalu ada suporter yang memikirkan gengsi dan permusuhan sebagai primus inter pares, sebagai awal dari semua permulaan, tapi sudah jelas bahwa titik-titik kesadaran itu sudah mulai menyebar. Bahwa sepakbola, seperti puisi dan musik, bisa jadi ruang picu untuk menciptakan apa pun yang dulu dianggap mustahil. Ruang untuk bersuara, berpikir, dan saling menjaga di luar sekat warna jersey atau rivalitas stadion. 

Dan itu tampak pada puluhan zine sepakbola yang aku saksikan di acara Campus Bois di Sleman. Pada gugatan yang mencuat dari obrolan melingkar di Pancoran Buntu, Kampung Bayam dan Tongkol Dalam di Jakarta Utara. Pada pertanyaan-pertanyaan tajam dari suporter Persija dalam diskusi yang diselenggarakan Jakonline dan Jakampus. Pada tatapan penuh semangat dari bobotoh yang menyimak diskusi di Baleendah, Jatinangor, Lembang, Cigondewah, Cimahi, Majalaya, Tenjolaya. Pada pesan-pesan pendek yang datang dari berbagai kota tentang rencana menggelar pemutaran film bahkan menerbitkan buku.

Sepakbola, bila benar ia lahir dari jalanan, maka jalanan juga berhak memilikinya kembali. 

***

Sebagai kelompok yang paling rutin membangun pertemuan, mengorganisasi logistik, dan menciptakan ekspresi publik bersama, bobotoh memiliki infrastruktur sosial yang sangat khas. Mereka memiliki ritme keterhubungan yang melampaui banyak lembaga formal. Dalam hal ini, bobotoh – sebagaimana kelompok suporter lainnya di berbagai kota – bukan sekadar komunal dalam arti kultural, tetapi juga dalam arti politis: mereka membentuk solidaritas horizontal, menciptakan bentuk-bentuk redistribusi afeksi, tenaga, dan waktu yang tidak disediakan oleh negara maupun pasar. 

Dalam pengertian ini, mereka adalah bagian dari apa disebut sebagai "insurgent citizenship": kewargaan yang tidak dilembagakan oleh negara, tetapi tumbuh dari bawah, dari praktik kehidupan sehari-hari di kota.

Bobotoh adalah subjek kota Bandung karena mereka mengisi ruang publik bukan dengan klaim kekuasaan, tetapi dengan kehadiran kolektif yang teratur dan berulang. Mereka menciptakan counter-space yang menciptakan ruang lewat praktik sosial yang tidak tunduk sepenuhnya pada logika kapital atau negara. Chant yang terus diulang, bendera yang berkibar setiap minggu, mural yang diperbarui secara gotong royong; seGanti judul link
mua ini bukan hanya ritus emosional, tetapi juga artikulasi ruang. Bobotoh tidak sekadar mengisi kota, tetapi juga membentuknya.

Dan itulah yang akan kalian saksikan dalam dua hari ini di seantero jalanan Bandung. 

***

Makanya juara musim ini lebih terasa. Tidak semendalam 2014, tapi lebih hidup dari 2023-2024. Mungkin karena satu hal kecil: anakku, yang tak pernah kutuntun mencintai sepakbola, tiba-tiba ingin berlatih sepakbola. Tiba-tiba minta dibelikan bendera Persib. 

Dan saat kulihat wajahnya yang gembira saat menerima bendera Persib pagi ini, aku ingat bapak yang sudah pergi yang di atas pangkuannya aku menyaksikan Persib vs Perseman pada final 1986. Aku ingat Abah Juli, guru ngaji kami yang membebaskan kami dari tugas mengaji demi nonton final Persib vs Persebaya di 1990. Aku ingat Wa Ono, yang wafat tahun lalu, yang rumahnya jadi tempat kami semua nonton final Persib vs Persebaya tahun 1994. Aku ingat Yudi dan Tori, dua sohib masa SMA, yang menemaniku menyaksikan kemenangan Persib di final 1995. Aku ingat Syarif, yang berdiri di sampingku bersorak saat Rodrigo Sanhueza mencetak gol ke gawang PSIM pada 16 Oktober 2003 pada babak playoff di Manahan—gol yang memastikan Persib tak terdegradasi.

Memori itu hidup semuanya. Tak pernah mati. Ia menunggu saat untuk menyala lagi. Karena ingatan bukan museum. Ia bukan benda mati yang dibingkai. Ia adalah belati. Ia bisa dipakai untuk membelah zaman. Atau menikam balik siapa pun yang mencoba menghapusnya. Dan musim ini, ia menyala lagi. Sekaligus menikam. 

Seperti peluit akhir: ia bukan isyarat sepakbola sudah berhenti, tapi justru tanda bahwa sepakbola baru saja dimulai.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//