Mempertanyakan Aktivitas Mendaki Gunung Hari Ini: Mencintai Alam atau Merusaknya?
Semakin banyak jumlah pengunjung gunung, semakin banyak pula volume sampah yang dihasilkan.

Siti Nuzulia Astiti Purwanto
Pencinta alam dan sastra, Ig @nuzuliaas
30 Mei 2025
BandungBergerak - Belakangan ini aktivitas di alam terbuka seperti mendaki gunung telah menarik perhatian banyak orang. Tren ini tidak terbatas usia. Anak-anak, orang dewasa, dan bahkan lansia terpapar virus mendaki gunung, dengan alasannya masing-masing.
Siapa tak terpikat? Mendaki gunung adalah sebuah pengalaman luar biasa. Angin yang berembus di antara dedaunan memberikan kesejukan, udara dingin yang menyentuh kulit, suara alam yang khas, dan pemandangan yang magis. Gunung bagi siapapun yang merindukan sentuhan alam atau sekadar lari dari hiruk-pikuk perkotaan.
Lentingan popularitas mendaki gunung tidak lepas dari peran media sosial sebagai alat penyebar informasi yang sangat masif. Banyak konten yang memamerkan keindahan khas alam pegunungan secara efektif menumbuhkan keinginan khalayak untuk dapat menikmati dan mengabadikan momen. Entah untuk pribadi atau membagikannya di akun media sosial.
Memang mendaki gunung, selain menikmati alam, adalah juga sarana berolah raga. Saat bergerak pada medan yang sulit dan beragam, tubuh akan bekerja lebih keras, membakar lebih banyak kalori, dan melatih kelincahan. Ketika sampai di puncak, tubuh yang semula stres akan melepaskan hormon endorphin, dopamine, dan serotonin atau yang lebih dikenal sebagai hormon kebahagiaan. Tak ayal rasa lelah hilang seketika. Keringat yang diproduksi dan keluar dari tubuh menjadi media ekskresi untuk membuang racun. Secara signifikan, tren mendaki gunung juga secara langsung menggerakkan roda perekonomian di kawasan.
Namun ibarat pisau bermata dua, lonjakan aktivitas pendakian harus diakui telah menjadi ancaman untuk gunung dan alam. Semakin banyak jumlah pengunjung gunung, semakin banyak pula volume sampah yang dihasilkan.
Gunung Menjadi Tempat Sampah
Merujuk pada kajian environmental behaviour theory, kita tahu bahwa peningkatan volume aktivitas manusia di daerah pegunungan secara langsung akan berdampak pada peningkatan volume sampah. Bukannya menjaga, masih banyak di antara kita yang tidak segan-segan untuk membuang sampah di kawasan pegunungan. Padahal, berbeda dengan area perkotaan yang sudah memiliki sistem pengelolaan sampah, meski banyak yang gagal juga, gunung tidak memiliki mekanisme seperti itu. Sampah, apalagi plastik, akan menumpuk dan mencemari tanah, air, serta mengganggu ekosistem selama puluhan atau bahkan ratusan tahun.
Jejak-jejak masalah akut ini bisa dengan mudah kita temukan lewat penelusuran pemberitaan di media-media daring. Pada September 2023, ratusan relawan menurunkan 500 kilogram sampah dalam tiga hari kegiatan Bersih Gunung di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Di kawasan yang sama, pada Januari 2022 aksi serupa mengumpulkan sampah hampir 1 ton. Pada Juni 2024, dua hari aksi mengumpulkan 250 kilogram sampah di kawasan wisata Bromo. Pada September 2024, Aksi Bersih Gunung Prau dan Kawasan Wisata Alam Dieng yang digelar selama dua hari mengumpulkan total 934 kilogram sampah. Dari Gunung Prau saja, sampah yang terkumpul mencapai 409 kilogram. Daftar ini bisa dibuat lebih panjang lagi.
Di luar pemberitaan, kita tahu bahwa ada masalah pengelolaan sampah di hampir semua gunung Taman Wisata Alam (TWA) di Indonesia. Dari sampah yang berukuran kecil seperti bungkus permen hingga yang besar seperti jas hujan sekali pakai. Tumpukan-tumpukan sampah di gunung adalah dosa kolektif sekaligus sindiran keras bagi manusia yang melabeli dirinya sebagai pecinta alam.
Mengelola Sampah secara Mandiri
Beberapa pengelola wisata pendakian gunung sudah menerapkan kebijakan yang tegas dengan sanksi keras kepada pendaki yang tidak bertanggung jawab pada sampah yang diproduksinya sendiri. Pengelola pendakian Gunung Merbabu, Jawa Tengah, misalnya, menggulirkan program Aksi Nol Sampah sejak 2020. Dijelaskan dalam situs web Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb), sebelum memulai pendakian, setiap pendaki harus melakukan pendaftaran barang-barang logistik, dan mendapatkan edukasi tentang pemilahan sampah organik dan anorganik serta cara pengelolaannya. Setelah pendakian, sampah mereka akan dihitung dan dicocokkan dengan data yang sudah dicatat sebelumnya. Langkah konkret seperti ini mestinya bisa diterapkan di gunung-gunung lain untuk mendorong pendaki yang lebih berkesadaran lingkungan.
Gerakan membangun kesadaran pendaki terkait permasalahan sampah juga datang dari inisiatif personal. Beberapa pemengaruh (influencer) secara aktif mempromosikan pendakian nol sampah (zero waste). Salah satunya, Siska Nirmala. Dia banyak membagikan pengalaman mendaki tanpa menghasilkan sampah, termasuk tips-tips praktis, di akun Instagram @zerowasteadventure. Produksi sampah di gunung yang tidak terkelola, menurut Siska, adalah bom waktu.
Membangun kesadaran kolektif dan aksi nyata adalah kunci menghadirkan dampak yang baik dalam sengkarut masalah sampah terkait aktivitas mendaki gunung. Pada akhirnya ini bukan lagi tentang bagaimana pengelola membuat kebijakan, tetapi lebih jauh dari itu: tentang kesadaran dalam diri setiap pendaki gunung sebagai manusia yang juga merupakan bagian dari alam. Jangan sampai status pecinta alam berubah menjadi perusak alam hanya karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan dasar dalam pengelolaan sampah.
...
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB