• Buku
  • RESENSI BUKU: Mendaki Gunung Tanpa Menghasilkan Sampah Bukan Mustahil

RESENSI BUKU: Mendaki Gunung Tanpa Menghasilkan Sampah Bukan Mustahil

Siska Nirmala lewat bukunya Zero Waste Adventure (2017) membuktikan aktivitas mendaki gunung bisa dilakukan tanpa menghasilkan sampah.

Sampul buku Zero Waste Adventure (2017) karya Siska Nirmala. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul27 April 2024


BandungBergerak.id – Sampah adalah jejak kehidupan. Tak perlu membantah fakta tersebut. Maka, ketika banyak sampah yang tercecer di gunung, itu artinya para pendaki sengaja meninggalkan jejak. Sebuah jejak yang bernilai dosa terhadap lingkungan. Sebab, bukan hanya sampah organik yang kerap dijumpai di jalur pendakian, ada juga sampah plastik maupun kaleng minuman energi yang baru bisa terurai setelah dimakan waktu selama puluhan hingga ratusan tahun.

Pikiran itu lekat dalam pikiran dan saya amini sebuah pernyataan dalam buku Zero Waste Adventure karya Siska Nirmala. Untuk tidak menghasilkan sampah, lalu tidak meninggalkannya begitu saja di jalur-jalur pendakian atau bahkan di puncak gunung, justru yang perlu dilakukan adalah dengan tidak memproduksinya sejak awal. Sebuah ide yang kuat, agaknya aplikatif, patut dicoba, dan sulit.

“Menyelesaikan persoalan sampah butuh sudut pandang pemikiran yang berbeda. Yakni, dengan tidak memproduksi sampah sejak awal. Meminimalisasi sampah ketika mendaki gunung adalah hal yang mudah,” tulis Siska pada halaman 40.

Zero Waste Adventure adalah buku pertama yang ditulis oleh Siska Nirmala, seorang pegiat alam, aktivis lingkungan yang mempraktikkan gaya hidup nol sampah sejak 2012, dan mantan jurnalis. Dari buku ini, setidaknya Siska membuktikan, kalau aktivitas mendaki gunung bisa dilakukan tanpa menghasilkan sampah sekalipun.

Gunung-gunung di Indonesia yang banyak ditinggali sampah oleh para pendakinya bukan masalah kemarin sore. Permasalahan ini pun masih terjadi hingga saat ini. Agaknya, kebiasaan sehari-hari yang minim kepedulian tentang pengelolaan sampah berimbas hingga ke gunung-gunung yang menjadi objek wisata bagi para pencari “dunia di atas awan”.

Makanya, saya pun sepakat, kalau budaya sehari-hari yang masih nyaman dengan apa pun yang serba instan, serba digunakan sekali pakai, perlu dilawan dengan budaya. Sebab, ketika mendaki gunung, memang mudah sekali tergoda untuk membawa makanan instan, seperti mie dan kopi saset. Modal seduh air panas saja perut yang keroncongan bisa diisi dan bisa menikmati matahari pagi dengan segelas kopi.

“Budaya membuang sampah itu karena gaya hidup yang selama ini serbainstan (makanan instan, minuman instan, dan lain-lain) akibatnya menjadi konsumtif. Budaya harus dilawan dengan budaya. Lawan budaya membuang sampah dengan budaya gaya hidup Zero Waste. Sesoenggoehnya konsistensi adalah koenci,” tulis Siska di halaman 32.

Zero Waste Adventure berisi sembilan bab yang ditulis singkat dan gampang dicerna. Siska menceritakan bagaimana pengalamannya “membuktikan” aktivitas mendaki gunung tanpa menghasilkan sampah. Pendakian ke gunung Gede, Papandayan, Tambora, Lawu, dan Argupuro menjadi saksinya.

Siska juga menceritakan mengapa ia memulai ekspedisi ini dan apa yang melatar belakanginya. Meski ringkas dan ditulis padat, sayangnya beberapa detail saya pikir luput ditulis, seperti bagaimana tip packing carier yang nyaman meski dipenuhi wadah-wadah makanan. Sebab, manajemen packing carrier ini krusial. Ia rentan dijadikan alasan sebab dinilai ribet. Setidaknya di pikiran saya. Saya yakin kawanbergerak juga demikian, wkwk.

Bagian dalam buku Zero Waste Adventure (2017) karya Siska Nirmala. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Bagian dalam buku Zero Waste Adventure (2017) karya Siska Nirmala. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Baca Juga: RESENSI BUKU: Kumpulan Reportase yang Menunjukkan Perjalanan Perubahan Peliputnya
RESENSI BUKU: Wreck This Journal dari Keri Smith, Membaca Dengan Cara-cara Tidak Konvensional
RESENSI BUKU: Cerita untuk Anak, antara Bebek dan Kematian

Hindari Potensi Sampah

Pertengahan Maret 2020, tepat di hari pengumuman libur kuliah sementara akibat Pandemi Covid-19, saya turun dari puncak Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Saya terkesima dan terheran-heran saat tiba di Basecamp Selo. Bagaimana tidak? Seluruh daftar makanan yang kami bawa mendaki didata ulang untuk dipastikan tak ada sampah yang tinggal di jalur pendakian, pos camping, maupun di puncak.

Petugas membuka kembali kantong sampah yang kami bawa turun. Membongkarnya, menghitung dengan saksama selisih jumlah yang dibawa pergi dan dibawa pulang. Saya lupa detailnya apa sanksi yang diberikan jika ada sampah yang tertinggal. Mestinya sanksi yang diberikan tegas untuk memberi efek jera. Sebab jika tidak, pendaki bisa saja kembali dan seenaknya meninggalkan sampah di gunung.

Pengelolaan sampah macam itu, saya pikir efektif. Cara itu membuat para pendaki harus bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan di gunung lalu menurunkannya. Tetapi, Siska memberi pencerahan. Sampah yang dibawa turun oleh pendaki, nantinya akan menjadi masalah baru di basecamp, entah bagi petugas atau hingga berdampak ke masyarakat sekitar. Sebab, sampah-sampah tercampur jejak kehidupan para pendaki di gunung itu bisa saja berujung dibakar atau berakhir ke TPA.

Makanya kemudian, gerakan yang diusung oleh Siska, yaitu #ZeroWasteAdventure yang kemudian menjadi “nama lain” dan judul bukunya layak untuk diaplikasikan oleh teman-teman pendaki. Setidaknya Siska memberi contoh, bekal apa saja yang cocok dibawa selama pendakian. Alih-alih membawa makanan instan seperti mi, air minum dalam kemasan (AMDK), Siska membawa sayuran, buah-buahan, dan membawa botol minum ukuran satu liter saat mendaki.

Seluruh bekal itu juga dimasukkan ke dalam wadah makanan maupun kantong-kantong kain. Mendaki tanpa menghasilkan sampah, setidaknya, sejak awal sudah diniatkan menghindari segala hal yang akan berpotensi menjadi sampah. Siska juga tak luput memberi detail menu-menu dan perbekalan apa yang ia konsumsi saat di gunung, sehingga cara ini bisa ditiru dan dimodifikasi sesuai selera.

Sebagai catatan, kebiasaan mendaki gunung tanpa menghasilkan sampah tidak serta-merta mudah dilakukan, jika tidak memulainya dari kehidupan sehari-hari. Siska sudah mempraktikkan gaya hidup nol sampah sejak 2012 hingga sekarang. Bukan hanya Siska yang mendapatkan manfaat, tetapi juga lingkungan. Maka, buku Zero Waste Adventure ini seharunya menjadi semacam buku wajib bagi para pecinta alam dan pendaki gunung baik individu maupun organisasi.

“Perjalanan tanpa sampah di Gede, Papandayan, Tambora, Lawu, dan Argopuro juga membisikkan fakta bahwa yang terpenting, bagaimana aplikasi meminimalisasi sampah harus menjadi budaya dalam keseharian. Jika kebersihan adalah sebagian dari iman, Zero Waste adalah ibadah,” halaman 110.

Informasi Buku

Judul: Zero Waste Adventure
Penulis: Siska Nirmala
Cetakan: Cetakan Pertama, Mei 2017
Tebal: 115 halaman

* Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang resensi buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//