• Buku
  • RESENSI BUKU: Kumpulan Reportase yang Menunjukkan Perjalanan Perubahan Peliputnya

RESENSI BUKU: Kumpulan Reportase yang Menunjukkan Perjalanan Perubahan Peliputnya

Rangkaian reportase pada buku Kumpulan Reportase Satu Dekade: Komedi Sepahit Kopi karya Zaky Yamani menunjukkan bagaimana cara sang waktu mengubah seseorang.

Sampul buku Kumpulan Reportase Satu Dekade: Komedi Sepahit Kopi karya Zaky Yamani terbitan Svatantra (2013). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul14 April 2024


BandungBergerak.id – Mengetahui ada reportase tsunami Aceh 2024 membuat saya tertarik untuk memiliki buku Kumpulan Reportase Satu Dekade: Komedi Sepahit Kopi karya Zaky Yamani, mantan jurnalis Harian Umum Pikiran Rakyat. Saya penasaran bagaimana perspektif jurnalis yang melakukan peliputan saat bencana dasyat itu menerjang Serambi Mekkah, tanpa peduli reportase-reportase lainnya.

Kumpulan Reportase Satu Dekade: Komedi Sepahit Kopi berisi 10 reportase pilihan selama Zaky Yamani berkarir sebagai jurnalis. Membaca buku ini, selain tentu mendapatkan informasi bagaimana kondisi dan persoalan di Jawa Barat, saya juga bisa melihat perubahan gaya menulis dan perspektif Zaky Yamani terhadap isu dan persoalan yang diliputnya.

Dimabuk Santolo” adalah reportase pertama yang disajikan. Zaky detail menuliskan mulai dari persoalan dan kejadian para nelayan di Santolo, Garut, hingga proses ia terjun melakukan peliputan. Meski begitu, masih ada kesan kaku dari tulisan feature yang dikemas Zaky. Meliput keseharian nelayan di Santolo adalah ide iseng yang dilakukannya bersama seorang temanya yang merupakan wartawan RCTI. Betapa sebuah keisengan yang mendebarkan.

Sebagai jurnalis pemula, saya sempat terkesima mendapati informasi bagaimana tantangan ketika meliput di tahun 2000-an awal. Dari buku ini juga saya mendapati sebuah kenyataan, bahwa berprofesi sebagai wartawan akan sulit sekali mendapatkan kredit. Setidaknya beberapa gambaran sejarah masa lalu, baik dari kesulitan dan hambatan dalam melakukan peliputan, akan ditemui dari reportase pilihan Zaky. 

Membaca “Tsunami” sedikitnya memberikan gambaran bagaimana meliput bencana. Di reportase ini, Zaky bercerita mulai dari ia ditugasi meliput tsunami Aceh, hingga akhirnya ia mengalami semacam “gejala yang kurang baik dari kejiwaan”. Situasi Banda Aceh waktu itu luluh lantak dihempas ombak maha dahsyat. Tak ada sinyal. Korban jiwa bertebaran di jalanan. Saya jadi memahami, bagaimana sulitnya mengirim berita dan menyediakan makanan, hingga Zaky harus ke Medan untuk mendapatkannya.

Reportase ini menurut hemat saya ditulis dengan perspektif yang berbeda. Sebab, saya pikir Zaky akan banyak menceritakan tentang bagaimana kondisi masyarakat di tempat pengungsian, rusaknya bangunan-bangunan, maupun kisah human interest, dan persoalan lainnya. Zaky memilih lebih banyak bercerita proses meliput bencana, kesulitan yang dihadapi jurnalis saat melakukan peliputan tsunami di Aceh 2004 silam, hingga kondisi bencana yang dapat mempengaruhi si peliputnya.

“Saya melihat selama ini pembaca atau penonton berita media massa tidak tahu semua proses itu, dan berita dikonsumsi saat setelah jadi saja, tanpa mempedulikan apa yang terjadi di belakang layar,” tulis Zaky di halaman 314.

Ketika membaca reportase ini timbul pertanyaan, apakah memang naskah ini yang terbit di koran waktu itu? Sebab ceritanya lebih menyoroti perjalanan Zaky, alih-alih laporan kejadian maupun situasi di sana. Namun begitu, reportase ini sukses memberi pengetahuan, menggambarkan pengalaman meliput bencana, dan membangunkan memori masa lalu.

Sebagai korban tsunami, jalur tiba Zaky ke Banda Aceh dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Kab. Aceh Besar melalui kawasan Tungkop, pastilah melewati tempat saya dan keluarga mengungsi. Barangkali saja, dulu, Zaky Yamani sempat berpapasan dengan saya, saat sedang meliput di lokasi-lokasi pengungsian. Barangkali, wkwk.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Melihat Cililin Era Kolonial Belanda dalam The Belle of Tjililin
RESENSI BUKU: Menjadi Berani ala Platon
RESENSI BUKU: Memasak dengan Cara Ramah Lingkungan

Waktu Membangun Perspektif

Sepuluh reportase pilihan dalam buku ini masing-masing tidak memiliki keterkaitan. Mereka berdiri sendiri. Jika membacanya berurutan dari reportase paling awal hingga paling akhir, mudah saja menemukan perbedaan gaya menulis maupun perspektif Zaky ketika meliput suatu persoalan. Gaya menulis Zaky terlihat berprogres. Zaky terlihat sengaja menaruh perspektif dan keberpihakan dalam peliputannya.

Jika saat bercerita “Dimabuk Santolo” masih terkesan ada kekakuan, di reportase paling akhir “Dinding Kota, Kanvas Kami” terlihat jelas gaya tulisan Zaky yang “sudah mengalir”. Di bab penutup, Zaky juga sadar akan ini dan menilai proses pengumpulan reportase sebagai “refleksi” perjalanan kariernya selama satu dekade.

“Dan tampaknya proses pengumpulan dan pemilihan naskah itu, secara tidak disadari, didorong oleh keinginan saya untuk kembali melihat diri saya, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir,” tulis Zaky di halaman 311-312.

Meski beberapa reportase sudah terjadi belasan tahun yang lalu, cerita dan informasinya masih relevan untuk dikonsumsi sampai saat ini. Reportase seperti “Para Pemburu Air”, “Menggadaikan Citarum”, dan “Warga Difabel di Kota yang Tak Ramah” mungkin masih menjadi persoalan hingga kini.

Para Pemburu Air” merupakan reportase tentang persoalan air di Kota Bandung. Sebuah reportase yang kaya dengan data yang mengantarkan Zaky meraih penghargaan Developing Asia Journalism Awards (DAJA), penghargaan jurnalisme tingkat Asia-Pasifik yang diserahkan di Tokyo, Jepang. Zaky menjabarkan banyak data di reportase ini. Jika jurnalisme data sudah populer saat itu, infografisnya mungkin akan menarik.

Adapun penyandang difabel masih menghadapi banyak persoalan hingga kini. Beberapa kasus yang dijabarkan Zaky dalam reportasenya perlahan membaik, banyak yang masih perlu diperjuangkan. Demikian pula dengan persoalan Citarum Harum yang tahun 2025 nanti program pendanaannya akan berakhir, namun masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah.

Buku Kumpulan Reportase ini cocok menjadi bahan bacaan, referensi, maupun tempat “mencuri” pengalaman. Sayangnya, buku ini tidak mencantumkan satu pun foto jurnalistik yang bisa menjadi rujukan maupun gambaran situasi. Adapun sisanya, buku ini memberi informasi, kejadian, dan peristiwa yang dirajut dengan feature yang sederhana dan memberi penegasan, bagaimana waktu mengubah perspektif dan gaya menulis seseorang. 

Informasi Buku

Judul Buku : Kumpulan Reportase Satu Dekade: Komedi Sepahit Kopi
Penulis : Zaky Yamani
Penerbit : Svatantra
Cetakan : Cetakan Kedua, Oktober 2013
Tebal : 317 halaman
ISBN : 978-602-14321-2-9

* Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang resensi buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//