RESENSI BUKU: Menjadi Berani ala Platon
Buku Lakhes (Keberanian) (2021) karya Platon berupaya menjelaskan sekomprehensif mungkin mengenai apa itu keberanian. Buku ini layak dibaca para pelajar filsafat.
Penulis Muhammad Akbar Darojat Restu Putra7 April 2024
BandungBergerak.id – Sering kali kita mendengar nasehat atau petuah dari orang tua atau guru bahwa keberanian merupakan aspek terpenting yang mesti dimiliki oleh manusia. Setiap insan yang masih bisa menghembuskan nafas harus memiliki keberanian dalam menghadapi kerasnya hidup ini. Tanpa memiliki keberanian, orang akan terseok-seok dan tak mendapatkan pengakuan di dunia ini. Ia akan cenderung dicela, dicerca dan diejek dengan sematan pengecut. Lalu, apa sebenarnya yang disebut dengan keberanian? Seperti apakah pribadi yang memiliki jiwa pemberani?
Anak kecil dengan imajinasinya yang liar, barangkali akan melekatkan keberanian pada sosok Superman, Batman, Thor atau para super hero Marvel lainnya. Para super hero tersebut dengan kekuatan super manusiawi mempunyai cita-cita untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan.
Lebih maju dari itu, kaum mahasiswa dengan impian akan pembebasan dan kemerdekaan yang hakiki, melihat keberanian pada sosok Wiji Thukul, Munir Said Abi Thalib atau Tan Malaka. Mereka adalah sosok yang berani mempertaruhkan hidupnya untuk mengangkat harkat dan martabat orang-orang kecil di sekitarnya.
Berbeda dengan itu, para agamawan yang fanatik dan revivalis, barangkali akan melekatkan keberanian pada sosok Imam Samudra, Mohammad Atta, atau Usama bin Laden. Para teroris tersebut dengan prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang diinterpretasikan secara reduktif , rela mengorbankan dirinya walaupun dengan cara mengorbankan orang-orang yang dianggap liyan.
Di antara definisi keberanian yang beragam seperti di atas, agaknya perlu untuk mendemonstrasikan secara ontologis apa itu keberanian. Di sinilah letak krusial buku Lakhes: Keberanian. Buku yang merupakan dialog muda Platon ini berupaya untuk menjelaskan sekomprehensif mungkin mengenai apa itu keberanian. Dengan terjemahan yang cukup apik dan komentar yang bernas dari Romo Setyo Wibowo, buku ini layak dibaca oleh para pelajar filsafat.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Meninjau Ulang Konsep Manusia Ekonomi
RESENSI BUKU: Bagaimana Penguasa Beromansa dengan Orang Kaya dan Bersenggama dengan Media Massa
RESENSI BUKU: Melihat Cililin Era Kolonial Belanda dalam The Belle of Tjililin
Mencari Makna Keberanian
Sekitar 2000 tahun yang lalu, barangkali pada tahun 424 SM terjadi dialog yang cukup menegangkan mengenai keberanian antara Sokrates, Lakhe, Nikhias, Lysimakhos, dan Melesias di Palaistra atau gymanasium. Dialog yang awalnya membicarakan tentang keprihatinan Lysimakhos dan Melesias terhadap krisis pendidikan anak muda di Athena secara perlahan menjurus pada persoalan keberanian.
Belum ada kesimpulan yang tepat mengenai pergeseran tema tersebut, namun yang patut dicatat ialah dialog tersebut berakhir secara aporetik (buntu). Penyebabnya ialah karena Argumen-argumen yang diberikan Lakhes dan Nikias terus disanggah oleh Sokrates. Seperti biasanya, filsuf besar Yunani tersebut berambisi untuk mencari definisi yang universal mengenai keberanian. Artinya, definisi itu bisa dipakai dalam semua kasus: setiap orang dan setiap tempat.
Padahal, keberanian adalah pengalaman otentik dan konkret yang hampir mustahil untuk terulangi. Ia bisa saja tiba-tiba muncul dan pelakunya bekerja di bawah alam sadar. Namun, tak jarang pula ia muncul karena ditekan oleh sebuah kepentingan. Dari sini muncul definisi keberanian yang beragam. Maka, menggunakan analisa deduktif untuk menguniversalisasi keberanian memang sangat susah.
Meski demikian, terdapat kriteria-kriteria tertentu mengenai apa yang disebut dengan keberanian. Dalam dialog Lakhes, keberanian tidak direpresentasikan sebagai tindakan heroik dalam konteks perkelahian, pertempuran atau peperangan. Bahkan, tindakan gembong teroris yang berani mempertaruhkan nyawanya tak dapat disebut keberanian.
Keberanian tidak boleh tidak harus disertai dengan episteme (sains, ilmu dan pengetahuan). Orang mesti tahu tentang “Apa yang harus ditakuti dan apa yang harus dipercayai” untuk bisa disebut sebagai sosok pemberani. Percuma orang siap menghadapi apapun atau bahkan mengorbankan dirinya bila tak disertai dengan pengetahuan. Tindakannya kelak bisa terjerumus dalam level epithumia yang mengurusi persoalan perut dan seks. Artinya, keberaniannya hanya digunakan untuk mencari makan, minum dan melampiaskan nafsu seks belaka.
Ada yang lebih maju dari level tersebut yakni, thumos. Namun, sekali lagi, level ini belum bisa dikatakan sebagai manifestasi dari keberanian. Pasalnya, level ini masih terjerembap dalam euforia kegagahan, kemegahan atau mementingkan ego. Dengan lain kata, keberaniannya di determinasi oleh sifat ingin dikenal, merengek minta pujian atau merasa paling benar sendiri.
Keberanian yang hakiki berada pada level logostikon. Orang yang berada pada level ini adalah orang yang sudah bisa mengendalikan level epithumia dan thumos. Karena itu, ia sudah tak lagi terpedaya oleh nafsu bawah perut (makan, minum dan seks) atau nafsu dada (kegagahan atau harga diri) dan menggunakan rasionya untuk memilih mana yang benar-benar baik sebelum bertindak.
Melawan Musuh Dalam Diri Sendiri
Berbicara mengenai keberanian, rasio yang digunakan tentu bukan hanya untuk menghasilkan pengetahuan teoritis, melainkan juga pengetahuan praktis yang disebut sebagai “keteguhan yang berhikmat” (phronesis). Dalam arti ini, pengetahuan diproduksi melalui pertimbangan atau refleksi atas pengalaman sehingga mampu mengontrol epithumia dan thumos. Sehingga, orang mampu memilih secara objektif mana perbuatan yang baik, mulia dan patut dipuji. Artinya, keberanian tidak boleh mengusung netralitas yang mengosongkan nilai dan moralitas.
Setelah hal tersebut dilakukan, orang mesti meneguhkan dirinya secara stabil. Dengan lain kata, orang akan melaksanakan apa yang menurutnya paling benar dan tak peduli dengan setiap ocehan atau tentangan orang-orang yang tak sepakat dengannya. Dan sikap ini akan tetap ia pegang hingga titik darah penghabisan.
Dalam konteks tersebut, Platon mencontohkan Sokrates yang memilih menenggak racun ketimbang meninggalkan kota Athena. Ia tak takut mati karena ia berusaha untuk menerapkan apa yang menurutnya benar. Juga untuk menunjukkan bahwa tuduhan-tuduhan yang disematkan kepadanya adalah tidak benar.
Sehingga, keberanian pada dasarnya ialah melawan musuh yang ada dalam diri sendiri seperti, rasa takut, khawatir, cemas dsb. Ia bukanlah tindakan heroik yang menyeruak secara sesaat, tetapi tindakan yang justru menuntut integritas diri dan pengendalian sikap. Hal ini senafas dengan tujuan filsafat menurut Sokrates yakni, merawat diri. Jadi orang mesti selalu merawat/mengevaluasi dirinya karena “hidup yang tak dievaluasi, tak layak untuk dihidupi”.
Informasi Buku
Judul Buku: Lakhes (Keberanian)
Penulis: Platon
Penerjemah dan Penafsir: Setyo Wibowo
Penerbit: Kanisius
Kota: Yogyakarta
Tahun Terbit: 2021