• Opini
  • Wayang Golek, Ki Dalang, Cepot, Kabayan, tapi Nyi Iteung-nya Mana Kang Dedi?

Wayang Golek, Ki Dalang, Cepot, Kabayan, tapi Nyi Iteung-nya Mana Kang Dedi?

Kekuatan kritik seni wayang golek redup di hadapan kekuasaan, seperti di kanal Youtube Kang Dedi Mulyadi (KDM). Cenderung meminggirkan perempuan seperti Nyi Iteung.

Uwi

Warga pemerhati isu sosial

Pementasan wayang golek Rahwana Gugur oleh unit Kesenian Daerah Sunda (KDS) Lisma Unpas di Plaza Kampus II, Tamansari, Bandung, Sabtu (24/6/2023). (Sumber: Unpas)*

30 Mei 2025


BandungBergerak.idDi tengah riuhnya panggung politik, Dedi Mulyadi—akrab disapa Kang Dedi, KDM, atau bahkan bapak aing—tampil mencolok dengan pendekatan budaya yang memikat warga Jawa Barat. Ia kerap mengenakan iket di kepala dan baju pangsi putih, simbol visual yang langsung mengingatkan pada sosok tradisional Sunda. Pesonanya tak hanya hadir lewat tampilan fisik, tetapi juga melalui tutur kata yang khas, bahasa Sunda loma yang fasih dan cair, diselingi peribahasa buhun serta guyonan yang mengundang tawa. Dalam sejumlah video di kanal YouTube-nya, terlihat pula ketika Kang Dedi kerap memberikan uang dengan cara ngeupeulan, gestur yang memperlihatkan khas juragan Sunda.

Patut diakui, Kang Dedi bukan sekadar memanfaatkan budaya Sunda, tetapi menjelma menjadi perwujudan hidupnya. Namun di balik kelihaian tersebut, ada aspek yang perlu dikritik. Salah satu strategi komunikasinya yang paling menonjol adalah penggunaan pagelaran wayang golek—seni tradisional Sunda yang bukan hanya hiburan, melainkan ruang kritik sosial yang tajam dan reflektif. Melalui tokoh-tokoh seperti Cepot, Dawala, dan Garéng, isu-isu sosial, politik, dan moral disampaikan dengan jenaka namun mengena, menyentuh realitas rakyat dengan bahasa yang akrab dan membumi.

Sayangnya, kekuatan kritik itu kini meredup. Wayang yang dulu menjadi ruang perlawanan, kini justru dikendalikan oleh kekuasaan—dalam hal ini, oleh Kang Dedi. Alih-alih menjadi panggung bebas untuk menyuarakan keresahan rakyat, budaya kini dijinakkan menjadi alat legitimasi politik yang ramah dan mempesona. Pertanyaannya pun muncul, jika panggung budaya sudah dikuasai narasi tunggal, bagaimana perlawanan bisa hidup kembali?

Lebih dari itu, ada kegelisahan lain yang tak kalah penting, yaitu absennya representasi perempuan. Di berbagai pentas budaya, vlog, maupun tayangan wayang Kang Dedi di kanal YouTube—seperti dalam video “Ohang Teu Teurak Di Buly, Kadon Anu Ngabuly Kalabur” atau “Sule Larang KDM Ikut Melawak”—perempuan hadir hanya sebagai pemanis: cantik, bersuara merdu, tapi nyaris tak pernah menjadi subjek utama. Di sinilah kita layak bertanya, “Nyi Iteung-nya mana, Kang Dedi?”

Selain itu, kata-kata dan ungkapan dalam interaksi Kang Dedi kerap mereproduksi ketimpangan. Misalnya, dalam pagelaran wayang bersama pelawak Ohang, status “janda” sering dijadikan bahan candaan bukan sebagai kondisi sosial yang netral, tapi sebagai simbol kegagalan atau objek olok-olok. Ini bukan hanya tidak lucu, tapi juga menunjukkan budaya yang mestinya mengangkat martabat perempuan malah justru membungkam perempuan.

Narasi yang dibangun terlalu maskulin. Tokoh-tokoh utama yang tampil didominasi lelaki: Cepot, Kabayan, Ki Dalang. Perempuan—jika muncul—hanya jadi latar dan pelengkap. Padahal, budaya Sunda tidak kekurangan figur perempuan yang kuat: Nyi Pohaci, Nyi Roro Kidul, Dayang Sumbi, Nyi Anteh, hingga Nyi Iteung. Mereka bukan sekadar simbol kecantikan, tapi perlambang spiritualitas, kebijaksanaan, kesuburan, dan kekuatan.

Baca Juga: Wayang Golek di Tangan Orang-orang Muda, Menemukan Tantangan Berat di Era Digital
Pesona Seni dan Budaya di Kampung Giriharja, Menyelami Keindahan Wayang Golek dan Lukisan di Bandung Selatan

Wanoja Bukan Objek Laki-laki

Dalam analisis linguistik terhadap majalah Manglé periode 1958–2013, Susi Yuliawati, akademisi dari Unpad, menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lima nomina perempuan Sunda—geureuha, mojang, pamajikan, wanita, dan wanoja—merefleksikan pergeseran peran perempuan dari objek domestik dan seksual menuju sosok wanoja yang mandiri dan aktif di ranah publik. Istilah wanoja menjadi satu-satunya yang tidak memiliki pasangan maskulin, menandakan identitas perempuan yang otonom dan tidak terikat pada konstruksi laki-laki, hal ini mencerminkan kondisi perempuan Sunda di era modern.

Revitalisasi budaya lokal tak bisa hanya jadi topeng estetika. Ia harus menyentuh struktur dan nilai yang mendasarinya. Jika tidak, maka yang tersisa hanya romantisme masa lalu yang melanggengkan ketimpangan. Dalam hal ini, budaya yang diklaim dijaga justru menjadi alat untuk menutup ruang partisipasi perempuan dalam narasi besar masyarakat.

Pertanyaan “Nyi Iteung-nya mana?” bukan sekadar keresahan akan hilangnya tokoh perempuan. Ia adalah simbol dari absennya suara perempuan dalam narasi politik budaya Kang Dedi. Kritik terhadap panggung budaya yang timpang dan narasi yang bias. Jika Dedi Mulyadi sungguh ingin menjadikan budaya sebagai ruang pencerahan, ia harus berani membongkar warisan patriarki dalam kisah-kisah lama—bukan sekadar memainkannya ulang dalam kemasan baru.

Sebab budaya bukan hanya milik masa lalu, melainkan cermin dari masa depan yang sedang kita bangun bersama. Dan masa depan yang adil hanya akan terwujud bila semua suara—termasuk, dan terutama, suara perempuan—diberi ruang. Sebab budaya yang tak memberi ruang bagi perempuan adalah budaya yang pincang. Dan pemimpin yang hanya membawa separuh warisan budaya tanpa memperjuangkan keadilan, sejatinya sedang mempertontonkan panggung kosong—riuh oleh simbol, tapi hampa oleh makna—& tak layak kita tepuki.

*Kawan-kawan yang baik silakan menengok artikel-artikel lainnya tentang seni tradisional dalam tautan ini

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//