PROFIL PERPUSTAKAAN JALANAN JATINANGOR: Ketika Buku dan Kopi Bertemu
Menjaga api literasi di pinggir jalan, Perpustakaan Jalanan Jatinangor yang sempat diusir kampus karena tak berizin. Kini masih eksis.
Penulis Aqeela Syahida Fatara30 Mei 2025
BandungBergerak.id - Minimnya kegiatan kampus dalam membuka ruang diskusi dan bertukar aspirasi, menjadi salah satu alasan lahirnya Perpustakaan Jalanan Jatinangor. Bermula pada Februari 2025, Perpusjal Jatinangor hingga kini masih terus melanjutkan pergerakannya: menabur benih-benih literasi di jalanan.
Rutin dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis setiap minggunya, Perpustakaan Jalanan Jatinangor yang biasanya membuka lapak di Tugu Makalangan, Universitas Padjadjaran (Unpad), kini mulai melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Selasa, 20 Mei 2025 lalu, Perpustakaan Jalanan Jatinangor berkolaborasi dengan Brocoffee, Jatinangor, dan membuka lapaknya di kedai kopi tersebut.
Tidak seperti biasanya yang digelar di jalanan, hari itu, buku-buku hasil donasi dan titipan dari kawan-kawan Perpusjal, digelar di meja panjang yang dekat dengan meja kasir. Orang yang datang ke kedai kopi ini secara tidak langsung dapat melihat dan membaca buku-buku yang terpajang, di bawah tagline “Lapak Membaca Sambil Ngopi”.
Lapak Membaca Sambil Ngopi ala Perpustakaan Jalanan Jatinangor membuat membaca menjadi lebih santai. Banyak pengunjung yang berdatangan dengan teman-teman terdekatnya sambil meneguk segelas kopi. Hangat dan menyenangkan.
Noki Dwi (22 tahun), selaku salah orang yang turut mengurus berjalannya Perpusjal dan merupakan mahasiswa Ilmu Politik, merasa kolaborasi ini sangat penting dan Perpusjal Jatinangor sangat terbuka untuk kolaborasi-kolaborasi lainnya.
“Namanya lapak ini bukan Perpustakaan Jalanan Unpad, namanya kan Perpustakaan Jalanan Jatinangor,” ujar Noki, di Brocoffee ketika lapak Perpusjal Jatinangor dibuka.
Dengan nama tersebut, membuat kegiatan yang dilakukan oleh Perpusjal terkesan tidak kaku dan bisa dilakukan di mana saja dengan memanfaatkan ruang publik yang ada.
Pernah Diusir karena Perizinan
Berangkat dari menurunnya literasi pada mahasiswa dan minimnya pemanfaatan ruang publik untuk menjadi wadah diskusi di kampus, beberapa mahasiswa dari berbagai fakultas di Unpad yang memiliki keresahan yang sama tergerak untuk membangun Perpusjal. Dari pertemuan-pertemuan yang terjalin, mereka meyakini dengan membuat Perpusjal tidak hanya membantu mendekatkan buku ke para pembaca yang membutuhkan, tetapi juga menjadi tempat pertemuan baru yang rutin bagi kawan-kawan untuk sekadar mengobrol maupun berdiskusi bersama.
Noki menambahkan, cerita-cerita dari kakak tingkat mengenai penurunan hadirnya kelompok-kelompok diskusi di kampus setelah terjadinya Covid-19, juga menjadi inspirasi terbentuknya Perpusjal. Dalam upaya keberlanjutannya, setiap kawan-kawan yang datang ke Perpusjal akan diajak bergabung ke dalam kelompok obrolan online. Hal ini dilakukan agar Perpusjal dapat terus melakukan regenerasinya di masa depan.
“Konsistensi juga sebenarnya jadi salah satu masalah yang paling menantang buat Perpusjal,” ungkap pegiat lainnya, Jadid Alfadlin (22 tahun) yang juga salah satu inisiator Perpusjal.
Mahasiswa Jurnalistik Unpad ini menambahkan, konsistensi tersebut dibangun Perpusjal atas dasar kesadaran kawan-kawan akan pentingnya tujuan utama mereka ketika membangun gerakan. Hingga kini, Perpusjal menekankan sistem kerja kolektif dan masih terus berjalan walau tanpa struktur kepengurusan maupun pembagian jaga lapak di setiap minggunya.
Buku-buku yang telah dititipkan kepada mereka agar dapat dibaca secara luas oleh banyak orang, menjadi amanah dan kesadaran bagi para pengurus Perpusjal untuk tetap konsisten hingga sekarang. Tidak hanya itu, pada dasarnya setiap anggota dalam Perpusjal juga memiliki motifnya masing-masing untuk terus melanjutkan pergerakan ini. Entah untuk berdiskusi membahas isu-isu tertentu, atau hanya sekadar untuk bertemu dan melepas penat usai selesai berkuliah.
Peminat Perpustakaan Jalanan Jatinangor seiring berjalannya waktu juga terus bertambah, dibuktikan dengan ramainya orang-orang yang menghampiri Perpusjal ketika membuka lapak di Tugu Makalangan, juga semakin bertambahnya anggota di kelompok obrolan online. Lokasi lapak yang strategis dengan turunnya mahasiswa ketika menggunakan Odong-odong atau angkutan dalam kampus Unpad, membuat tidak sedikit mahasiswa yang tertarik untuk menghampiri Perpusjal usai turun dari Odong-odong.
Perjalanan yang dialami Perpusjal tentu tidak selalu mulus, Perpusjal beberapa kali mendapatkan pertanyaan mengenai perizinan oleh satpam Unpad. Jika mengurus perizinan, Perpusjal harus menghadapi birokrasi kampus yang panjang dan lambat. Pernah satu kali mereka diusir akibat masalah perizinan ini.
Ke depan, selain membuka lapak baca, aksi kamisan, diskusi, dan cukur gratis, Perpusjal ingin menambah program bernama Nasi Gratis: setiap orang dapat memberi dan mendapatkan makanan gratis secara bebas. Dengan adanya kebaruan seperti ini harapannya Perpusjal dapat terus memberikan dampak yang signifikan dan konsisten dalam menyebarkan kebermanfaatan.
Baca Juga: Membuka Perpustakaan Literaksi Tamansari, Menghidupkan Ruang Perjuangan Warga
Menanam Demokrasi dari Bawah: Gerakan Orang Muda di Bandung Raya Berkumpul untuk Menyuarakan Hak Asasi Manusia

Perpustakaan Jalanan Bandung
Selain Perpustakaan Jalanan Jatinangor, gerakan serupa sebelumnya telah hadir di Bandung, yakni Perpustakaan Jalanan Bandung. Jurnal berjudul “Konstruksi Makna Pegiat Perpustakaan Jalanan: Studi Fenomenologi tentang Konstruksi Makna Pegiat Perpustakaan Jalanan di Kota Bandung” oleh Nugraha Dwi Saputra, Ninis Agustini Damayani, dan Asep Saeful Rahman memaparkan, Perpustakaan Jalanan Bandung berdiri pada 2010 dari inisiatif tiga mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang gelisah melihat sulitnya akses terhadap bahan bacaan.
Berawal dari kegelisahan itu, mereka menggelar lapak buku di bawah flyover Surapati, tepatnya di Taman Cikapayang, setiap malam Minggu. Tanpa keanggotaan, tanpa biaya, tanpa birokrasi. Pengunjung bebas membaca atau meminjam lebih dari 400 buku berbagai genre yang disediakan: dari novel populer, buku politik, keagamaan, hingga literatur kiri yang jarang dijangkau toko buku.
Perpustakaan Jalanan Bandung kini dikenal sebagai pelopor perpustakaan jalanan tertua di Indonesia, dan menjadi rujukan gerakan serupa di kota-kota lain sejak fenomena ini mencuat di akhir 2016. Konsepnya sederhana: mendekatkan buku ke masyarakat luas, langsung di ruang publik. Namun nilai yang dibawa jauh melampaui sekadar kegiatan membaca. Perpustakaan ini menumbuhkan ruang belajar kolektif, dialog, seni, serta kegiatan berbagi dan solidaritas.
Gerakan ini lahir dari dua jenis motif. Pertama, motif alasan atau “because motive”: masyarakat kesulitan mengakses informasi, banyak buku pribadi yang tidak terpakai, dan kritik terhadap minimnya ruang publik yang fungsional. Kedua, motif tujuan atau “in order to motive”: memperluas akses informasi dan menciptakan ruang baca alternatif yang merdeka dari sekat-sekat institusional.
Sebagai ruang bebas, perpustakaan jalanan dimaknai para pengelolanya sebagai penyedia ruang alternatif, penyegar pikiran, dan media pembentukan diri menjadi manusia baru. Aktivitas ini memberi mereka pengalaman bertemu orang baru, membangun jejaring, serta melepas diri dari rutinitas yang stagnan. Mereka tidak hanya memberi, tapi juga tumbuh bersama komunitas.
Namun, menjalankan perpustakaan jalanan bukan tanpa hambatan. Para pegiat sempat mengalami tindak kekerasan dari aparat militer pada akhir 2016 yang menyebabkan turunnya jumlah pengunjung. Mereka juga menghadapi stigma negatif: dianggap mengganggu ketertiban umum, dikaitkan dengan geng motor, atau dituduh menyebarkan bacaan terlarang. Tak sedikit buku yang hilang karena tidak dikembalikan, dan kredibilitas isi buku kerap dipertanyakan oleh sebagian pihak.
Situasi itu mencerminkan rendahnya budaya literasi di Indonesia. Berdasarkan survei Central Connecticut State University tahun 2016 yang dikutip dalam Media Indonesia (30/08/2016), Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Data UNESCO yang dikutip Sragen Pos (07/09/2015) bahkan menunjukkan indeks membaca hanya 0,001—artinya dari 1.000 orang, hanya satu yang berminat membaca. Dua penyebab utama rendahnya minat baca ialah faktor personal (dari dalam diri) dan institusional (minimnya fasilitas).
Kondisi itu diperparah oleh kenyataan bahwa perpustakaan umum dan taman bacaan masyarakat masih terbatas jumlah dan jangkauannya, termasuk di Bandung. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Bandung (DISPUSIP BDG) sendiri mengakui keterbatasan fasilitas yang tersedia. Dalam situasi seperti itulah, perpustakaan jalanan muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap ketimpangan literasi. Ia menjawab kebutuhan nyata masyarakat akan ruang baca yang inklusif dan mudah diakses.
Para peneliti, Nugraha Dwi Saputra dkk, merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Komunikasi, Unpad. Mereka menggunakan pendekatan fenomenologi untuk menggali pengalaman subjektif empat pegiat yang telah aktif minimal tiga tahun. Data diperoleh lewat wawancara, observasi, dan dokumentasi. Validasi dilakukan dengan triangulasi sumber, termasuk narasumber Neti Supriyati dari DISPUSIP BDG dan Adri Yanto dari Prodi Ilmu Perpustakaan Unpad.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perpustakaan jalanan tidak sekadar distribusi buku di pinggir jalan. Ia adalah kerja kolektif yang merebut kembali ruang publik dan merawat kesadaran literasi. Meski menghadapi hambatan fisik maupun stigma sosial, para pegiat tetap menghidupi makna yang mereka bangun sendiri: menjadi penyala obor pengetahuan di tengah gelapnya minat baca.
*Kawan-kawan bisa menyimak reportase Aqeela Syahida Fatara, atau tulisan-tulisan menarik lain PERPUSTAKAAN JALANAN