• Berita
  • Aksi Aliansi Mahasiswa Papua di Bandung, Pentingnya Pendekatan Kemanusiaan untuk Menghindari Korban Rakyat Sipil di Wilayah Konflik

Aksi Aliansi Mahasiswa Papua di Bandung, Pentingnya Pendekatan Kemanusiaan untuk Menghindari Korban Rakyat Sipil di Wilayah Konflik

Aliansi Mahasiswa Papua di Bandung menegaskan, pendekatan militer bukan solusi untuk mengatasi konflik.

Aliansi Mahasiswa Papua menggelar aksi untuk menyikapi pendekatan militer di Tanah Papua, di Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jumat, 30 Mei 2025. (Foto: Selsha Gunawan/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam31 Mei 2025


BandungBergerak.id“Kami menegaskan bagaimana penguasa atau negara saat ini menindas Rakyat bangsa Papua,” seru Jan, anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), di aksi unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Ikatan Mahasiswa Se-Tanah Papua (IMASEPA BJB), dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI) yang berlangsung di Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jumat, 30 Mei 2025.

Aksi ini mengusung tema menolak militerisme di Tanah Papua. Menurut Jan, penindasan di Papua terjadi dengan senjata, masuk ke ranah pendidikan maupun kesehatan.

Aksi yang berlangsung di pelataran gedung Merdeka ini menuntut menghentikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Hal senada diungkapkan Pilamo, yang menyoroti kekerasan yang menewaskan warga sipil di Intanjaya, Papua, 14 Mei lalu. 

“Sehingga kawan-kawan kita respons untuk mengutuk kekerasan negara di Papua,” terangnya.

Dia mengkritik pendekatan militer terus-menerus dilakukan di Papua. Seharunya, pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi permasalahan di Papua adalah pendekatan kemanusiaan.

“Di Papua itu kan ada manusia, kenapa tidak secara humanis? Kenapa tidak dengan pendekatan dialog itu?” tanyanya.

Pendekatan dialog dengan rakyat Papua, menurut Pilamo bakal membuat korban berkurang. Setidaknya bisa menghentikan kontak senjata yang sering terjadi.

Menurutnya, banyak daerah yang dihimpit oleh area peperangan. Misalnya kejadian yang sering terjadi di Wamena, Papua, di mana permukiman masyarakat sipil berada di tengah-tengah konflik bersenjata. Pilamo menyebut, masyarakat sipil terutama anak-anak menjadi pihak yang paling dirugikan dalam konflik.

Tidak hanya itu, dia juga ingin pemerintah mencabut stigma terhadap rakyat Papua yang menunutut kemerdekaan dengan sebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau bahkan teroris.

Dengan menempelnya stigma tersebut, menurut Pilamo malah menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan yang lebih masif. “Menambah trauma yang tambah panjang, menambah konflik,” tandasnya.

Akibatnya, dia mengatakan, ketika eskalasi kekerasan terus meluas maka kepercayaan rakyat Papua terhadap Indonesia semakin mengurang.

Perempuan Bersuara

Perempuan Papua juga turut dalam aksi ini. Feg berorasi bahwa pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi di tanah Papua. Aksi ini memancing perhatian para pengguna jalan. Ia kerap menyaksikan kekerasan di Papua. Ia meminta agar pasukan bersenjata segera ditarik di tanah Papua.

Jika pemerintah Indonesia terus-terusan menindas rakyat Papua, Feg menegaskan bahwa rakyat Papua akan menentukan nasibnya sendiri. Perempuan lainnya, Kristina mengungkapkan hal yang sama. Di kampungnya di Intan Jaya sudah berulang kali konflik bersenjata. Dalam konflik 14 Mei lalu, 12 orang dinyatakan sebagai korban.

Mengutip dari laman BBC.com Bupati Intan Jaya, Aner Maisini mengatakan tiga orang luka-luka karena tembakan dibawa ke Timika, dua orang meninggal dan telah dikremasi (satu kepala desa & satu dari TPNPB-OPM), serta tujuh orang lainnya masih menunggu dievakuasi.

Atas meleutusnya konflik bersenjata, pemerintah kabupaten setempat menetapkan Intan Jaya dengan status tanggap darurat sampai 27 Mei lalu. Salah satu korban dari konflik tersebut adalah keluarga Kristina. Semenjak konflik meletus, keluarganya terpaksa dievakuasi ke tengah kota Intan Jaya.

Baca Juga: Aliansi Mahasiswa Papua Bandung Turun ke Jalan, Mengecam Tindakan Penyiksaan terhadap Masyarakat Sipil Papua oleh Prajurit TNI
Agustus Bukan Bulan Kemerdekaan, Mahasiswa Papua di Bandung Menggugat Kekerasan dan Rasisme Yang Awet di Tanah Papua

Aliansi Mahasiswa Papua menggelar aksi untuk menyikapi pendekatan militer di Tanah Papua, di Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jumat, 30 Mei 2025. (Foto: Selsha Gunawan/BandungBergerak)
Aliansi Mahasiswa Papua menggelar aksi untuk menyikapi pendekatan militer di Tanah Papua, di Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jumat, 30 Mei 2025. (Foto: Selsha Gunawan/BandungBergerak)

Catatan Kekerasan di Tanah Papua

Riset dari KontraS menyebutkan sepanjang Januari-Maret 2024, tercatat ada 16 konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPNPB. Peristiwa tersebut terjadi di tiga wilayah; seperti Papua 1 peristiwa; Papua Tengah 11 peristiwa; dan Papua Pegunungan 4 peristiwa. Total  korban dari seluruh konflik; 7 luka-luka dan 18 meninggal dari pihak TNI, Polri, serta TPNPB.

Sementara itu, riset yang dilakukan Amnesty Internasional Indonesia sejak 2 Februari 2018 hingga 20 Agustus 2024, mencatat 132 kasus pembunuhan di luar hukum yang menewaskan setidaknya 242 sipil. 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua mencatat ada 85 kasus kekerasan yang terjadi di tanah Papua, dari 1 Januari-9 Desember 2024. 85 kasus tersebut didominasi oleh peristiwa kontak senjata dan penembakan. Dari total kasus tersebut, terdapat 55 kasus penembakan, 14 kasus penganiayaan, 10 kasus perusakan, dan enam kasus kerusuhan.  

...

 *Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//