Agustus Bukan Bulan Kemerdekaan, Mahasiswa Papua di Bandung Menggugat Kekerasan dan Rasisme Yang Awet di Tanah Papua
Perjanjian New York 62 tahun lalu menjadi awal sekian banyak praktik buruk di Tanah Papua, dari kekerasan militeristik hingga rasisme. Para mahasiswa menggugatnya.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah19 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Kemerdekaan kian jauh panggang dari api bagi rakyat Papua sebab kekerasan, mulai dari rasisme hingga militerisme, masih terus terjadi di bumi Cendrawasih. Menyuarakan protes atas situasi itu, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) Bandung menggelar aksi di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat, 16 Agustus 2024 siang. Aksi turun ke jalan juga menjadi gugatan atas 62 tahun Perjanjian New York (New York Agreement) yang sama sekali tidak melibatkan rakyat Papua.
“Aksi ini untuk memperingati bentuk imperialisme yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 1962 melalui perjanjian ilegal antara Amerika Serikat, Indonesia, dan Belanda tanpa melibatkan manusia Papua sebagai pemilik layak bumi Papua,” kata Frans, humas aksi tersebut ketika ditemui BandungBergerak.
Dalam keterangan resmi pernyataan sikap, AMP dan FRI-West Papua menyebutkan bahwa perjanjian yang terjadi pada 15 Agustus 1962 di markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York tersebut terdiri dari 29 pasal yang mengatur sedikitnya 3 macam hal, di mana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) yang didasarkan pada praktik internasional yaitu satu orang satu suara. Sementara itu, pasal 12 dan 13 mengatur transfer adminstrasi wilayah West Papua pada pemerintah Indonesia.
Faktanya, alih-alih mendapatkan transfer administrasi, Indonesia melakukan pengkondisian wilayah dengan berbagai operasi militer untuk menumpas gerakan kemerdekaan rakyat West Papua yang ingin menentukan nasibnya sendiri.
“Celakanya lagi, klaim terhadap wilayah West Papua oleh Indonesia dilakukan sebelum proses penentuan nasib dilaksanakan. Pada 7 April 1967, Freeport sebagai perusahaan pertambangan milik negara imperalis Amerika Serikat telah mendatangi kontrak pertamanya dengan pemerintah Indonesia,” ucap Frans.
Enam puluh dua tahun setelah Perjanjian New York, pengkondisian Indonesia memperkokoh cengkeraman pengaruhnya lewat pemberlakuan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. Otsus yang sudah berumur 20 tahun inilah yang disebut oleh AMP dan FRI-West Papua Bandung tidak melahirkan perlakuan khusus terhadap rakyat Papua selain pengiriman pasukan militer.
“Seluruh rakyat Papua, semua menolak Otsus kepentingan Jakarta,” tutur Frans. “UU Otsus telah melahirkan ruang demokrasi semakin sempit.”
Siska, salah seorang mahasiswa Papua peserta aksi, menilai kekerasan dan juga pembungkaman yang terjadi di bumi Cendrawasih itu semakin kompleks karena diberlakukan dengan pendekatan militeristik.
“Di setiap detiknya, rakyat Papua (yang) beraktivitas dihadapkan dengan kekerasan militerisme,” ujarnya. “Miiliterisme Indonesia bukan melakukan pengamanan, tapi seperti meneror.”
Selain menolak militerisme, Siska juga menyoroti bagaimana rasisme kerap menimpa mereka. Tepat lima tahun lalu, yakni 16 Agustus 2019, terjadi tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang mengakibatkan rakyat Papua protes di mana-mana sampai berujung penangkapan. Imbas lainnya, dilakukan pengiriman militer dan polisi secara besar-besaran ke tanah Papua.
AMP dan FRI-West Papua menilai bulan Agustus bukanlah bukan kemerdekaan bagi warga Papua. Justru bulan ini adalah bulan malapetaka. New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962 menjadi awal nasib buruk tanah Papua.
Kekerasan oleh Aparat
Deti Sopandi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Jawa Barat menjelaskan, aksi turun ke jalan AMP dan FRI-West Papua merupakan bentuk protes teman-teman Papua terhadap kekerasan yang masih saja sering terjadi di tanah Papua. Selain kekerasan, datang juga intimidasi dan pelarangan untuk menyuarakan isu Papua.
“Tidak sedikit yang melakukan intimidasi bahkan pembubaran, padahal mereka menyuarakan isu Papua,” ucapnya. “Rakyat Papua hanya ingin aman dan sejahtera.”
Dalam catatan PBHI Nasional, potret militerisme semakin massif di Papua dalam tiga tahun terakhir. Di sepanjang tahun 2022 polisi menjadi pelaku utama (77 persen) kasus-kasus represi dengan melakukan stigma dan pembungkaman hak berbicara. Pada tahun 2023, kembali polisi menjadi pelaku utama (77,8 persen) kasus-kasus represi berkedok keamanan yang berujung pelanggaran HAM. Pada tahun 2024, giliran tentara yang menjadi pelaku utama (61,6 persen) operasi penggerebekan terhadap orang asli Papua.
“Sepanjang Januari-Maret 2024, pola serangan berubah dengan melibatkan aparat pertahanan (TNI) melalui penyerangan ke desa-desa dan penyiksaan serta pembunuhan oleh anggota militer. Perubahan pola serangan ini berdampak pada jumlah korban, dokumentasi kasus, dan memperburuk situasi HAM di Papua. Negara seolah tutup mata dalam melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap alat pertahanan/keamanan yang menjalankan tugasnya di Papua,” tulis PBHI di akun instagram resmi, diakses Sabtu, 17 Agustus 2024.
Baca Juga: Mendiskusikan Makna Kemerdekaan bagi Masyarakat Papua
Aliansi Mahasiswa Papua Bandung Turun ke Jalan, Mengecam Tindakan Penyiksaan terhadap Masyarakat Sipil Papua oleh Prajurit TNI
Suara Papua dari Bandung
Sikap Orang Papua
Menanggapi beragam tindak kekerasan dan rasisme, AMP dan FRI-West Papua Bandung menyatakan sikap:
- Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua Barat.
- Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh, semua perusahaan kelapa sawit, dan pertambangan lainnya di atas tanah Papua.
- Cabut UU Cipta Kerja, Otsus Papua, dan DOB.
- Tarik militer organik dan non-organik dari tanah Papua.
- Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan negara dan militer kepada rakyat Papua.
- Usut tuntas, tangkap, adili, dan penjarakan jendral-jendral pelanggar HAM.
- Buka akses jurnalis nasional dan internasional seluas-luasnya di seluruh Papua.
- Hentikan keberlanjutan UU Otonomi Khusus jilid I dan II.
- PBB segera kembalikan wilayah Papua Barat dan tuntaskan masalah New York Agreement yang ilegal.
- Negara Indonesia segera hentikan segala upaya manipulatif sejarah di Papua Barat maupun di Indonesia.
- Negara Indonesia segera hentikan manipulasi informasi politik di kawasan Asia Pasifik dan di kancah internasional terkait Papua Barat.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel lain tentang Papua