• Berita
  • Mendiskusikan Makna Kemerdekaan bagi Masyarakat Papua

Mendiskusikan Makna Kemerdekaan bagi Masyarakat Papua

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Bandung menyatakan selama ini pemerintah maupun negara-negara asing hanya melihat kekayaan tanah Papua, bukan orang-orangnya.

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Bandung menggelar rangkaian acara diskusi dan pemutaran film pendek perjanjian New York 1962 di asrama Papua Kamasan II Jalan Cilaki, Bandung, Kamis, 15 Agustus 2024. (Foto: Ivan Yeremia/BandungBergerak)

Penulis Ivan Yeremia17 Agustus 2024


BandungBergerak.id - Agustus memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Papua. Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Bandung menjadikan momen ini dengan menggelar rangkaian acara diskusi dan pemutaran film pendek perjanjian New York 1962 di asrama Papua Kamasan II Jalan Cilaki, Bandung, Kamis, 15 Agustus 2024.

Diskusi ini mengungkap, kemerdekaan yang diproklamasikan tahun 1945 tidak dirasakan oleh masyarakat Papua. Sebaliknya, tanggal 15 Agustus selalu diperingati sebagai sejarah kelam di mana tanah masyarakat Papua diakusisi tanpa persetujuan dari masyarakat Papua itu sendiri.

“Kehidupan bangsa Papua itu ada di tangan kawan-kawan semuanya, bagaimana kawan-kawan mau maju di tanah Papua itu,” ucap Edi, salah satu pemantik dalam diskusi ini, kepada mahasiswa dari AMP yang menghadiri diskusi.

AMP di Bandung pun menyatakan, masyarakat Papua punya hak menentukan nasib bangsanya sendiri, sesuatu yang 62 tahun lalu direnggut oleh mereka melalui perjanjian New York 1962. Semua berawal dari perjanjian New York yang dilaksanakan pada 15 Agustus 1962 di mana  tanah Papua menjadi perebutan antara Belanda dan Indonesia. Amerika menjadi pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Ada satu hal yang menjadi kejanggalan paling besar dalam perjanjian New York, yaitu tidak dilibatkannya masyarakat asli Papua untuk menentukan nasib bangsanya sendiri. Tanah Papua yang diperebutkan seolah merupakan tempat kosong tidak berpenghuni atau masyarakatnya yang dianggap terlalu primitif untuk menentukan nasib rumahnya sendiri.

Disebutkan, tanah Papua dinyatakan menjadi milik Indonesia dan akan diserahkan paling lambat satu tahun setelah perjanjian New York diselenggarakan. Dalam perjanjian itu disebutkan pula bahwa masyarakat Papua berhak memilih nasibnya sendiri (self-determination) yang didasarkan pada cara internasional yaitu satu orang satu suara melalui penentuan pendapat rakyat (Pepera).

Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Masyarakat Papua tidak dapat menentukan sendiri nasib bangsanya. Pepera yang dilaksanakan pada 1969 dan dirancang bahwa setiap masyarakat Papua memiliki hak untuk menentukan pilihan tidak benar-benar terjadi. Penentuan Bangsa Papua hanya dilakukan oleh 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan diberikan tekanan untuk memilih berintegrasi ke NKRI.

Yang menjadi kejanggalan berikutnya adalah dua tahun sebelum dilaksanakannya Pepera, perusahaan imperialis Amerika Serikat yaitu Freeport Sulphur Company menandatangani kontrak kerja sama melalui UU PMA 1967. Bahkan sebelum masyarakat Papua menentukan nasib bangsanya sendiri, kontrak kerja sma di tanah mereka dilakukan.

Masyarakat Papua tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut. Tanah Papua yang begitu kaya dirampas dari masyarakat oleh pemerintahnya sendiri.  

“Hari ini yang dilihat oleh Indonesia maupun bangsa asing adalah kekayaan tanah Papua, bukan orang Papuanya kawan-kawan,” ungkap Silamor, salah satu pemuda Papua yang menghadiri kegiatan tersebut.

Otonomi Khusus untuk Papua

Setelah terintegrasinya Papua ke dalam Indonesia, masyarakat Papua masih juga belum mendapatkan haknya sebagai warga negara. Pemerintah mengakui hal tersebut dengan meluncurkan otonomi khusus (Otsus) melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Otsus ini dilatarbelakangi karena negara mengakui belum terselesaikannya berbagai permasalahan yang terjadi di tanah Papua.

Namun, lagi dan lagi praktik di lapangan tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Otonomi khusus yang seharusnya menjadi jalan keluar untuk berbagai penyelesaian di tanah Papua pada kenyataannya tidak dapat memproteksi masyarakat adat Papua dari perampasan tanah untuk kepentingan investasi.

Komisi, kebenaran, dan rekonsiliasi yang menjadi amanah dari undang-undang Otsus untuk mengungkapkan kasus pelanggaran HAM berat di Papua tidak pernah dijalankan. Justru peningkatan kasus pelanggaran HAM di Papua kian bertambah setiap tahunnya.

Meskipun telah dilakukan dua kali perbaikan Otsus Papua selama dua dekade ini tetapi masyarakat Papua menganggap bahwa itu hanya alat untuk meredam aspirasi rakyat Papua yang menghendaki hak penentuan nasib sendiri.

Baca Juga: Apa yang Bisa Diperbuat Setelah Pemekaran Papua?
MAHASISWA BERSUARA: Gerakan All Eyes on Papua untuk Keadilan di Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi
Mahasiswa Papua Merefleksikan 62 Tahun Trikora di Jalan Asia Afrika

Menolak Rasisme 

Selain memperingati hilangnya hak untuk bersuara mengenai kampung halamannya sendiri 62 tahun yang lalu, diskusi ini juga memperingati rasisme yang terjadi pada mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.

Semua bermula ketika mahasiswa Papua di Surabaya mendapatkan kata-kata rasis. Setelah kejadian tersebut terjadi berbagai protes oleh masyarakat Papua di Indonesia.

Nahasnya, aksi yang bergerak untuk menolak rasisme itu justru membuat beberapa pemuda Papua diamankan. Beberapa diantaranya adalah 6 orang yang ditangkap di Jakarta dan 7 orang di Papua.

Tujuh orang yang ditangkap di Papua karena dituduh sebagai dalang penghasutan demonstrasi di Papua pada Agustus sampai September 2019. Terjadi juga penyerangan kepada demonstran saat itu.

Rasisme lain yang tidak tercatat dan dialami masyarakat Papua hingga saat ini masih terjadi. Maka, diskusi tersebut menyatakan bulan Agustus menjadi bulan yang kelam bagi masyarakat Papua. Pada bulan ini masyarakat Papua kehilangan haknya untuk bersuara bagi kampung halamannya sendiri dan pada bulan ini pula masyarakat Papua mendapatkan perlakuan rasisme dari masyarkat maupun aparat di negaranya sendiri.

Sikap Politik Mahasiswa Papua

Aliansi Mahasiswa Papua di Bandung juga menyatakan beberapa sikap politiknya sebagai berikut:

  1. Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua Barat.
  2. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh, semua perusahaan kelapa sawit, dan pertambangan lainnya di atas tanah Papua.
  3. Cabut UU Cipta Kera, Otsus Papua, dan DOB.
  4. Tarik militer organik dan non-organik dari tanah Papua.
  5. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan negara dan militer kepada rakyat Papua.
  6. Usut tuntas, tangkap, adili, dan penjarakan jendral-jendral pelanggar HAM.
  7. Buka akses jurnalis nasional dan internasional seluas-luasnya di seluruh Papua.
  8. Hentikan keberlanjutan UU Otonomi Khusus jilid I dan II.
  9. PBB segera kembalikan wilayah Papua Barat dan tuntaskan masalah New York Agreement yang ilegal.
  10. Negara Indonesia segera hentikan segala upaya manipulatif sejarah di Papua Barat maupun di Indonesia.
  11. Negara Indonesia segera hentikan manipulatif informasi politik di kawasan Asia Pasifik dan di kancah internasional terkait Papua Barat.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain dari Ivan Yeremia, atau artikel-artikel lain tentang Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//