NGARIUNG DI CICALENGKA: Bermain, Belajar, dan Mengunjungi Anak-Anak di Tenjolaya
Ngariung di Cicalengka bukan tur biasa. Warga, terutama anak-anak, yang tinggal di daerah sengketa tanah merasa ditemani dan tak sendirian melawan penggusuran.
Penulis Awla Rajul3 Juni 2025
BandungBergerak.id - Mengeksplorasi kampung lantas menulisnya merupakan bagian penting dalam keseluruhan proses merawat sejarah. Inilah yang menjadi salah satu tujuan acara Ngariung di Cicalengka, di Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicalengka, Sabtu, 31 Mei 2025. Sekitar 30-an peserta dari berbagai latar belakang mengikuti keseluruhan kegiatan yang diselenggarakan berkat kolaborasi antara Tjitjalengka Historical Trip (THT), Lingkar Literasi Cicalengka (LLC), BandungBergerak, dan Tenjolaya Melawan.
Selain pemetaan dan pengenalan sejarah, Ngariung di Cicalengka juga mengaktivasi ruang dengan bermain dan belajar bersama anak-anak Desa Tenjolaya, anak-anak yang berada dalam situasi sulit lantaran akan terdampak penggusuran dari kasus sengketa lahan. Kegiatan ini juga mengasah kemampuan menulis peserta supaya fasih menuliskan cerita kampungnya masing-masing.
Ngariung di Cicalengka dimulai dengan perjalanan dari Stasiun Kiaracondong, Bandung, ke Stasiun Cicalengka. Sesampainya di Cicalengka, para peserta istirahat sambil saling berkenalan yang dipandu oleh tim BandungBergerak. Setelah itu, agenda tur jalan kaki (walking tour) dari Stasiun Cicalengka ke Desa Tenjolaya dipandu oleh tim THT.
Titik pertama adalah pendopo atau replika stasiun lama yang diletakkan di sebelah timur stasiun. Stasiun lama dibongkar, lantas seluruh struktur bangunannya dibangun kembali yang rampung dibangun sekitar Maret lalu. Gedung replika itu ukurannya lebih kecil. Semula memiliki 14 tiang. Empat tiang dibiarkan di tempat semula, menjadi teras di salah satu bagian gedung stasiun baru. Sisanya dipindahkan ke gedung replika.
"Awalnya mau dipindah ke Ambarawa, akhirnya dibuatkan pendopo di sini. Belum ada persemian, tapi kita mengenal dulu sisa-sisa dari stasiun lama. Ini bahan-bahannya semua asli dari stasiun Cicalengka lama, kayu, genteng, bata, tegel," ungkap Tedi Lesmana kepada peserta Ngariung di Cicalengka, dari THT.
Tedi juga mempersilakan peserta untuk melihat tegel yang masih memiliki tanda pembuatan dari kota di Belanda, yaitu Maastricht. Ia juga menjelaskan, bagian tegel yang ukurannya kecil-kecil itu, ditemukan di lapisan ketiga saat pembongkaran.
Perwakilan THT lainnya, Fikri Algifari menjelaskan, Cicalengka merupakan daerah pinggiran Bandung yang memiliki sejarah yang kaya. Pada masa Belanda, Cicalengka adalah kawasan sebesar sebuah kota yang diberi nama Afdeling Cicalengka, membentang hingga Banjaran. Sementara Tenjolaya, lokasi kegiatan Ngariung di Cicalengka, dulunya merupakan pusat peradaban Hindu Buddha. Hal itu diketahui melalui riset dan pengumpulan sumber, serta ditemukannya tiga situs candi di kawasan Tenjolaya.
"Di sana ada tiga situs, ditemukan tiga arca, yang sekarang sudah disimpan di museum Jakarta. Di masa lalu Tenjolaya itu punya historis yang wah. Bukan hanya cuma lokasi konflik saat ini," terang Fikrie Algifari.
Selepas dari sana, peserta melanjutkan perjalanan ke Desa Tenjolaya. Di perjalanan, peserta melalui bekas komplek barak yang kini terbengkalai, di Desa Panenjoan. Kompleks barak itu pernah digunakan sebagai tempat tinggal masinis kereta, tempat tinggal para pekerja yang membangun jalur kereta, maupun kabar adanya bunker yang dimanfaatkan ketika masa penjajahan Jepang.

Sejarah Kampung, Sejarah Nasional
Para peserta Ngariung di Cicalengka disambut dengan "Batas Suci Penggusuran", gapura penyambut untuk menuju ke titik kegiatan. Sebelum sampai ke gang itu, kanan-kiri jalan dihiasi banyak mural dan grafiti yang menyuarakan penolakan akan mafia tanah dan perampasan lahan.
Pemateri menulis "Cerita Kampungku", Hafiz Azhar menekankan pentingnya menulis cerita kampung sebagai bagian dari sejarah nasional. Sebab tidak bisa dipungkiri, sejarah nasional bermula dari sejarah lokal, komunitas per komunitas, individu per individu. Selain itu, kehidupan manusia pun dimulai dari sana, dari cerita-cerita kampung.
Dalam konteks Cicalengka, lanjut Hafidz, banyak sekali yang bisa diceritakan dan perlu disampaikan. Cicalengka memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, tiap-tiapnya bisa ditulis. Secara historikal, Cicalengka juga punya keunikannya sendiri. "Cicalengka ini sebenarnya secara wilayah pinggiran tapi banyak sekali yang bisa dikorek," katanya menjelaskan.
Lebih dari itu, menceritakan tentang kampung adalah upaya bertahan. Salah satu contoh suksesnya adalah yang dilakukan oleh warga Dago Elos. Mereka melakukan pencatatan, mencari arsip-arsip tentang masa lalu kampungnya yang lantas memenangkan gugatan sengketa lahan dengan Muller bersaudara dan PT. Dago Inti Graha.
"Mencatat kampung adalah cara bertahan, untuk menangkis serangan-serangan dari luar," katanya dengan meyakinkan.
Hafidz juga membeberkan, sumber cerita sangatlah beragam, bisa dari kenangan pribadi maupun kolektif, arsip-arsip, dokumentasi, memoar, maupun literatur-literatur tentang kampung.
"Jadi banyak yang bisa ditulis. Nah sejarah Tenjolaya ini belum banyak ditulis. Ini adalah momen untuk menulisnya, mengorek ingatan-ingatan pribadi maupun kolektif masyarakat sini. Apa pun bentuknya yang penting narasi yang menceritakan tentang wilayah Tenjolaya ini," jelas Hafidz.
Selepas pemaparan penjelasan dari Hafizh Azhar, peserta dibagi menjadi tujuh kelompok untuk saling bercerita tentang kampung, lantas menuliskannya.

Anak-anak dalam Pusaran Penggusuran
Sengketa lahan di Kampung Simpen, Desa Tenjolaya akan berdampak kepada 350 KK dan akan mengancam tergusurnya ruang belajar, yaitu SDIT Bina Muda Cicalengka. Salah seorang warga Tenjolaya, Ajo (40 tahun) menyampaikan, kegiatan Ngariung di Cicalegka setidaknya mampu menghadirkan keceriaan bagi anak-anak.
Anak bungsunya yang kini duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga, ikut menghadiri Ngariung di Cicalengka, bermain permainan dan mewarnai. Ajo mengakui anaknya pernah melontarkan pertanyaan polos kepadanya mengenai penggusuran, ke mana mereka akan pindah jika rumah yang mereka tempati sejak berpuluh-puluh tahun harus digusur.
“Kalau misalnya ingat-ingat ke belakang soal penggusuran, khawatir, anak udah kepikiran. Udah nanya pindah ke mana, ini rumah mau dirobohin. Kalau ada aktivitas begini jadi ikut ceria,” kata Ajo, warga asli yang lahir di Tenjolaya sekitar tahun 1980-an. “Bingung juga ngejelasinnya, sedih juga sih.”
Itulah mengapa, setiap kali diselenggarakan kegiatan di Tenjolaya yang serupa, anaknya akan ikut bersama teman-temannya. Aktivitas macam itu akan membuat anaknya ceria lagi. Ajo menegaskan, warga Tenjolaya sudah siap dengan segala risiko untuk mempertahankan hak mereka.
“Ya kalau misalkan terjadi adanya eksekusi warga mah udah pasang badan, menolak dan mengutuk keras we dengan adanya eksekusi. Siap jeung getih-nya,” katanya mantap.
Perwakilan Lingkar Literari Cicalengka, Nurul Maria Sisilia mengungkap, Ngariung di Cicalengka mestinya akan menjadi memori kolektif yang diingat oleh anak-anak maupun warga Tenjolaya. Dari kegiatan itu, ia melihat anak-anak senang dengan aktivitas mewarnai, melakukan cap berwarna di spanduk, maupun permainan lainnya.
“Terbayang di tengah mereka itu sebenarnya ada bayang-bayang yang menghantui, yaitu tergusurnya lahan bermain mereka. Ya semoga aktivasi seperti ini makin memperkuat kesadaran bahwa ini adalah hak mereka, tanah mereka yang patut dipertahankan. Mungkin kesadaran itu gak muncul sekarang ya, tapi kayaknya di kemudian hari mereka akan paham tentang ini,” ungkap Nurul yakin.
Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS MUSLIM FOOTBALLERS BANDUNG: antara Iman dan Sepak Bola
PROFIL KOMUNITAS PKL KEMBANG TANJUNG: Pedagang Kaki Lima yang Bersolidaritas

Tur Jalan Kaki yang Bernilai
Peserta yang mengikuti Ngariung di Cicalengka berangkat dari latar belakang yang beragam, ada perorangan, maupun komunitas. Salah satu peserta, Maya (49 tahun) mengaku tertatik mengikuti kegiatan ini karena terdapat tawaran nilai yang berbeda dari kegiatan tur jalan kaki lainnya.
“Bukan aja tau soal sejarah dan walking tour, tapi di sini ada kumpul dengan anak-anak dan warga setempat di Tenjolaya. Itu ada nilai plusnya dibanding dengan yang lain,” kata Maya yang mengaku setiap pekan kerap mengikuti kegiatan tur jalan kaki, baik di Bandung, Jakarta, maupun kota lainnya.
Dari pandangannya selama ngariung dengan anak-anak di Tenjolaya, tidak tampak dari wajah-wajah mereka yang akan merasakan dampak penggusuran. Menurutnya, memang semestinya seperti ini, anak-anak tidak tertekan dampak dan tidak mengubah keceriaan mereka.
“Kalau tadi emang ceria, malah seru, main, gak kayak anak yang merasa tertekan dengan lingkungannya ya. Memang sewajarnya anak-anak jangan terkena dampak yang seperti itu, walaupun dia tahu di lingkungannya ada gangguan, tapi jangan merubah keceriaan merekalah,” kata Maya.
Berbeda dengan Maya, Adi (49 tahun), peserta lainnya mengaku mengikuti merakan keseruan mengikuti kegiatan ini. Ia merasa seperti reuni dengan masa kecilnya, yang dulu setiap liburan akan menghabiskan waktu di Cicalengka. Setelah 24 tahun tidak ke Cicalengka, ia melihat perubahan besar, seperti stasiun yang sudah berubah drastis, hingga suasana perkampungan yang kini digantikan dengan rumah-rumah yang megah.
“Dulu di Tenjolaya juga pernah bikin dummy FTV (Film Televisi). Jadi lokasinya emang udah berubah banget, rumah-rumah dulu suasana masih ada pedesaan, sekarang udah gede-gede,” ungkap Adi yang berpofesi sebagai penulis cerita.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Komunitas Bandung