Aksi Solidaritas Palestina di Bandung Mendesak Pembebasan 12 Aktivis FFC yang Diculik Tentara Israel
Warga Bandung memprotes penculikan 12 aktivis Freedom Flotilla Coalition (FFC). Aktivis bukan teroris, tapi pembela kemanusiaan.
Penulis Yopi Muharam10 Juni 2025
BandungBergerak.id - Sebanyak 12 aktivis yang tergabung dalam Freedom Flotilla Coalition (FFC) diculik tentara Israel saat akan mengirimkan bantuan logistik untuk rakyat Palestina, di perairan Internasional, Senin, 9 Juni 2025 dini hari. Aktivis yang menggunakan kapal Madleen berbendera Inggris tersebut dicegat Israel dari udara dan laut.
Kapal yang berlayar dari Catania, Sisilia itu mulai berlayar pada 1 Juni 2025. Mereka membawa misi menentang blokade Israel atas Gaza. Dalam kapal itu, hadir juga ktivis iklim asal Swedia, Greta Thunberg, aktor Liam Cunningham, anggota Parlemen Eropa Rima Hassan, dan pengacara keturunan Palestina-Amerika Huwaida Arraf.
Mereka membawa kebutuhan logistik seperti susu formula bayi, tepung, beras, popok, produk kebersihan wanita, peralatan desalinasi air, perlengkapan medis, hingga kaki palsu. Namun, kabar yang dihimpun, seluruh logistik tersebut disita Israel.
“Israel tidak memiliki kewenangan hukum untuk menahan relawan internasional di atas Madleen,” kata Huwaida Arraf, pengacara hak asasi manusia dan penyelenggara Freedom Flotilla.
Merespons hal tersebut, masyarakat Kota Bandung yang tergabung dalam Bandung Emergency Protest menggelar aksi solidaritas bagi aktivis yang diculik Israel, di Monumen Solidaritas Palestina, Asia-Afrika, Senin, 9 Juni 2025. Mereka menuntut agar 12 aktivis segera dibebaskan dan bantuan dikirim ke Palestina.
Eka, dari Mujahidah Sahabat Palestina mengutuk keras tindakan Israel yang menculik dan menghadang bantuan kemansiaan bagi rakyat Palestina. Dalam orasinya, Eka menegaskan para aktivis yang membawa misi kemanusiaan itu bukan penjahat yang datang untuk menyalak perang.
“Mereka bukan penjahat. Mereka bukan teroris. Mereka adalah pembela kemanusiaan,” tegasnya dengan suara bergetar sembari memegang pengeras suara. “Mereka berlayar Bawa obat-obatan, makanan, dan harapan,” lanjutnya.
Dia juga menyerukkan, agar Israel membuka blokade atas Gaza. Diketahui, sejak tahun 2007 Israel memblokade pantai Gaza setelah Hamas menguasai daratan tersebut. Terlebih sejak Israel melakukan genosida sejak 7 Oktober 2023, pemblokadean jalur Gaza semakin meningkat. Terutama untuk bantuan kemanusiaan.
“Jangan jadikan Gaza penjara terbesar di dunia,” seru Eka diiringi takbir. Melihat penghadangan bantuan kemanusiaan itu, Eka menegaskan tidak akan tinggal diam hingga Palestina merdeka dari penjajahan Israel.
Kejahatan Kemanusiaan
Dalam akun resmi Kementrian Luar Negeri Israel, mereka membagikan cuplikan video yang menunjukkan 12 aktivis Freedom Flotilla Coalition yang diberi minuman dan air. Mereka mengklaim telah mengirimkan bantuan bagi para aktivis. “Semua penumpang 'selfie yacht' selamat dan tidak terluka. Mereka diberi sandwich dan air,” tulis akun tersebut.
Menanggapi propaganda tersebut, Raffi Zulvian, mahasiswa ITB meragukan tindakan Israel itu. Sebab para aktivis telah melakukan persiapan dengan matang terkait logistik kebutuhan mereka. Dia menegaskan, jika Israel hendak membantu para aktvis, seharunya memberikan jalan bagi mereka hingga tujuan.
Menurut Rafi, kelaparan rakyat Palestina di Gaza diperkirakan sudah makin meluas. Maka dari itu, bantuan kemanusiaan berupa logistik sangat penting bagi rakyat Palestina.
Rafi sendiri tidak terlalu kaget dengan pemblokadean yang dilakukan Israel terhadap kapal para aktivis tersebut. Sebab sebelumnya, pada awal Mei, kapal Conscience yang hendak mengirimkan logistik ke Palestina, diserang oleh pesawat tak berawak di perairan internasional dekat Malta. Penyerangan tersebut diduga kuat dilakukan oleh Israel. Kapal itu membawa 30 orang dari 21 negara. Semua awaknya dipastikan selamat.
Di sisi lain, Wanggi Hoed, seniman pantomim yang aktif menyuarakan kemerdekaan Palestina mengatakan, bantuan yang diberikan Israel kepada para aktivis yang mereka culik merupakan propaganda usang. “Itu merupakan propaganda media Barat, yang sampai hari ini masih bermunculan,” terang Wanggi dalam orasinya.
Wanggi menyerukan untuk melihat informasi dari media yang akurat dan terpecaya. Dia juga mengumumkan, masyarakat bakal mengadakan aksi besar-besaran di Kota Bandung untuk mendukung kemerdekaan Palestina.
“Hari ini di Bandung, kami juga sedang mempersiapkan untuk pawai Global Solidaritas pada tanggal 15 Juni bersama Solidaritas Global yang lainnya di dunia,” kata Wanggi.
Kronologi Penyergapan Aktivis Freedom Flotilla Coalition
Aktivis Freedom Flotilla Coalition melalui kapal The Madleen mulai berlayar dari Catania, Italia pada 1, Juni 2025. Kapal dengan bendera Inggris itu mengangkut 12 aktivis untuk membawa misi kemanusiaan dan menentang segala bentuk blokade Israel atas jalur Gaza, baik di darat, udara, dan laut.
Kemudian, Selasa 2 Juni 2025, 80 kilometer dari daratan Yunani, kapal The Madleen mengirimkan sinyal darurat pada pukul 11 malam hingga pukul 3 pagi karena kapal dikelilingi beberapa drone pasukan Israel.
Hingga hari Minggu 8 Juni 2025, sinyal dari kapal The Madleen hilang di malam hari. Selama terputusnya komunikasi, The Madleen ditembaki cairan iritasi kimia berwarna putih oleh pasukan Israel.
Lalu, Senin. 9 Juni 2025 dini hari, disusul informasi tentara Israel menculik kru The Madleen sekitar 100 mil laut (185 km) dari Gaza agar gagal memasuki pelabuhan Gaza, Palestina.
Mengutip dari laman Al Jazeera, setelah tentara Israel menduduki kapal Madleen, seluruh aktivis yang berada di sana untuk membuang ponsel mereka ke laut. Tak lama setelah Israel mengokupasi kapal, pasukan Zionis itu segera membuat video seakan membantu para aktivis dengan memberi roti isi dan air.
Di tengah tentara Israel mulai menggeledah kapal, aktivis lingkungan, Greta Thunberg membagikan postingan video ke media sosial yang menggambarkan penahanannya di tengah laut oleh tentara Israel.
"Apabila kamu melihat video ini, kami saat ini sedang diblokir dan ditahan di laut internasional oleh pasukan bersenjata Israel atau pasukan lainnya yang bersekutu dengan Israel," kata Greta.
Pasca penyergapan tersebut, media Israel melaporkan bahwa Madleen dan awaknya dibawa ke kota pelabuhan di Ashod, Israel. Kementrian Luar Negeri di postingan X, mengatakan para aktivis itu untuk segera pulang ke negara asalnya.
Tecatat, para aktivis yang ikut serta dalam rombongan kapal Madleen tergabung dari berbagai negara, seperti; Yasemin Acar – Jerman, Baptiste Andre – Prancis, Thiago Avila – Brasil, Omar Faiad – Perancis; Koresponden Al Jazeera Mubasher, Pascal Maurieras – Prancis, Yanis Mhamdi – Prancis, Suayb Ordu – Turki, Sergio Toribio – Spanyol, Marco van Rennes – Belanda, Reva Viard – Prancis.
Baca Juga: Seruan Boikot Restoran Cepat Saji yang Terafiliasi dengan Israel Menggema di Bandung
Ancaman Konflik Israel-Palestina terhadap Perekonomian Dunia
Catatan Aksi Freedom Flotilla Coalition
Mengutip dari laman Middle Esat Eye koalisi FFC dibentuk pada tahun 2010. Koalisi ini mencakup anggota organisasi dari beberapa negara, seperti; Kanada, Italia, Malaysia, Selandia Baru, Norwegia, Afrika Selatan, Spanyol, Turki, Amerika Serikat, Irlandia, Brasil, Australia, dan Prancis.
Koalisi tersebut dibentuk untuk merespons insiden mematikan yang dilakukan pasukan Israel saat menaiki kapal armada dan membunuh sepuluh aktivis. Misi bernama Mavi Marmara tersebut diorganisir oleh Gerakan Gaza Merdeka dan Yayasan Bantuan Kemanusiaan Turki.
Pada tanggal 22 Mei 2010, kapal tersebut mulai berlayat dari pelabuhan Sarayburnu, Istanbul, dalam upaya untuk menembus blokade Israel di Gaza. Seminggu kemudian, di lau Mediternia sebelah selatan Sirpus kapal ini bergabung dengan armada bantuan lainnya. total ada tiga kapal penumpang dan tiga kapal kargo yang membawa bantuan kemanusiaan dan 700 aktivis.
Namun, pada tanggal 31 Mei 2010, kendati di perairan internasional, pasukan Israel menaiki kapal Mavi Marmara menggunakan helikopter dan speedbot. Peristiwa ini menjadi sorotan internasional, dan tindakan tersebut mendapat kecaman keras.
Setelah tragedi 2010, FCC mulai dibentuk dengan berbagai anggota lintas negara. Mereka menyatakan untuk menentang blokade Gaza yang dilkaukan Israel. Tak kapok setelah tragedi 2010, koalisi ini kembali menjalankan misi kemanusiaan pada tahun 2011.
Misi yang diberi nama "Freedom Flotilla II - Stay Human” itu dijadwalkan bakal dimulai pada 5 Juli. Namun, belum sempat berlayar, sebagian besar kapal tersebut tidak dapat berangkat.
Penyelenggarakan mengungkapkan Israel telah menyabotase dua kapal yang berangkat dari Turki dan Yunani. Bahkan, salah satu kapal yang diorganisir orang Irlandia tidak diberi izin meninggalkan pelabuhan setelah otoritas Yunani melarangnya dengan alasan keselamatan.
Satu-satunya kapal bantuan yang berhasil mendekati Gaza adalah kapal Prancis Dignite al-Karama. Namun, akhirnya dicegat oleh otoritas Israel.
Selanjutnya, pada tahun 2015, FFC kembali mengadakan misi kemanusiaan bernama ‘Freedom Flotilla III’. Misi kali ini dimulai di pelabuhan Swedia pada 10 Mei 2015. Namun lagi-lagi dicegat oleh otoritas Israel di perairan Internasional, setelah satu setengah bulan berlayar di lautan.
Bahkan, salah satu kapal bernama Marianne, dipaksa oleh pasukan Israel berbalik arah ke kota Ashdod, Israel Selatan. Di antara aktivis yang berada di Marianne adalah anggota parlemen Basel Ghattas, warga negara Palestina di Israel, dan Moncef Marzouki, mantan presiden Tunisia.
Tahun berikutnya, FFC lagi-lagi membuat aksi kemanusiaan. Aksi kali ini diberi nama ‘Womens Boat to Gaza’, sebuah kapal dengan awak yang seluruhnya perempuan.
Kapal itu, berlayat dari Barcelona pada tanggal 14 September 2016. Namun, dua minggu kemudian, 5 Oktober, kapal tersebut direbut oleh pasukan Israel. Seluruh kru yang semuanya perempuan -meliputi wartawan, aktor, politisi, dan bahkan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian- ditangkap oleh pasukan Israel, dan membawa mereka ke Ashdod. Kemudian, mereka semua dideportasi.
*Reportase ini mendapatkan dukungan data dari reporter BandungBergerak Shakila Azzahra M