KELAKUAN NETIZEN: Wadidaw Sad(la)bor dan Antitesis Putus Asa
Sebab, jangan-jangan, kita semua memang Sadbor, alias Sad Labor. Buruh yang menyedihkan.

M. Fasha Rouf
Per 2025 mahasiswa S3 Komunikasi Perubahan Sosial, The University of Queensland.
11 Juni 2025
BandungBergerak - Konten joget Sadbor cukup asyik menemani lamunan dan kegabutan studi saya. Padahal, kebengongan itu sering terjadi di sekitar pukul 4-5 pagi waktu Brisbane. Artinya, mereka live di media sosial sekitar pukul satu dini hari di Indonesia!
Sadbor adalah nama panggung Gunawan, konten kreator asal Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia dikenal luas melalui akun TikTok @sadbor86 dengan konten siaran langsung berjoget bersama warga kampungnya. Joget khas mereka awalnya disebut "patuk ayam", kemudian dikenal sebagai "Joget Sadbor" dengan yel-yel ikonik seperti "Bor bor, beras habis bor, joget lah!"
Karena penghasilan yang besar, semakin banyak warga di sekitar kampung Sadbor mengikuti jejaknya. Dibantu pengelolaannya oleh Sadbor, mereka kini memiliki beberapa akun untuk live joget “wadidaw…”. Tiap akun dikelola sekelompok orang untuk tetap menunjukkan bahwa joget sadbor selalu dilakukan secara kolektif.
Meskipun Sadbor telah mampu menolong hidupnya sendiri dan tetangganya dengan monetasi dan saweran dari joget online, ia justru seringkali diposisikan sebagai pemalas yang mengemis di media sosial.
Ketika menonton konten joget sadbor dan membaca kolom live chat, banyak sekali umpatan yang dilontarkan netizen. “Cari kerja, woy, jangan malas!” “Nyangkul tuh di sawah!” “BNN, grebek tuh tempatnya!” “Kang Dedi, angkut mereka ke barak militer, malu-maluin Jawa Barat waé!” Umpatan lainnya tiada henti berdatangan.
Tak hanya dari netizen yang random, kritik terhadap perilaku mereka juga datang dari kalangan akademisi. Lisa Lindawati (2024) misalnya memberikan empati kepada mereka bahwa fenomena joget sadbor disebabkan oleh keterbatasan lapangan kerja dan desakan ekonomi. Namun, ia belum sepenuhnya memaklumi apa yang dilakukan Sadbor. Ia menduga hal itu karena kurangnya literasi digital dan berpotensi berdampak akan menggeser mata pencaharian pokok di perdesaan: pertanian.
Dengan nada lain, Donny B. Utoyo (2024) menjelaskan bahwa aktivitas Sadbor adalah sebuah sisi gelap digitalisasi perdesaan. Sebuah modernisasi tanpa pembangunan yang akhirnya berisiko pada kegagalan. Ia menulis dengan sinis: “maka berduyun-duyunlah warganya latah mengikuti tren dan lantas meninggalkan kerja-kerja pertanian, kebun, dan ladang mereka.”
Kedua penulis itu mungkin ada benarnya, terutama ketika dilihat dari proyek literasi digital yang dianggap sebagai bagian penting dari proses pembangunan modern. Namun, tampaknya kedua penulis perlu melihat desa Sadbor sebagai bagian tak terpisahkan dari kompleksitas ekonomi-politik makro, yaitu negara dan bahkan kondisi global. Tetapi, mari kita coba dengar dari dekat dulu secara fenomenologis alasan dan pengalaman mereka untuk berjoget dan menunggu saweran tersebut.
Antitesis Putus Asa
Suatu kali saat menonton Sadbor live di Youtube, saya benar-benar memperhatikan bagaimana Sadbor merespons umpatan-umpatan yang ia terima di kolom komentar. Salah satu yang lekat di ingatan saya adalah saat ia merespons soal tuntutan netizen untuk menggarap sawah.
Sadbor bercerita dengan bahasa orang desa yang lugas dan sederhana, bahwa dia dan kebanyakan warga di sana tak hanya bekerja jadi tukang joget. Mereka juga menanam padi. Namun menurutnya, netizen justru tak memahami bagaimana proses memelihara dan merawat padi yang dia jalani.
Pertama, lahan pertanian yang dimiliki olehnya dan sebagian orang yang berjoget itu bukanlah lahan yang besar. Mereka bukan tuan tanah. Bahkan, kebanyakan bekerja sebagai buruh tani. Karenanya, hal kedua yang menurutnya tak dipahami netizen adalah bahwa menjadi petani padi tak mengharuskan mereka untuk melulu menunggu padi tumbuh di pinggir sawah. Jadi, di sela-sela menjadi buruh tani itu, mereka mencari pendapatan tambahan untuk melawan nasib petani gurem yang makin terimpit.
Di sesi live yang lain, saya mendengarkan dua orang punggawa yang menjawab tuduhan netizen bahwa mereka pemalas. Salah seorang bercerita, bahwa joget ngamen online itu justru bagian dari usahanya untuk membuat dapur tetap ngebul setelah kena badai PHK. Sebelumnya, ia bekerja di salah satu perusahaan ban yang ada di Cikupa Tangerang. Ia mulai berjoget setelah bingung pencari pekerjaan pengganti. Sadbor sendiri dulunya adalah tukang jahit keliling di Jakarta, yang kemudian kondisi ekonominya memburuk pasca Covid dan memilih pulang ke kampung halaman sambil meraup rupiah dari live joget.
Di sesi yang lain, pria lain yang live joget cukup fasih berinteraksi dengan bahasa Melayu. Ternyata, ia berpengalaman kerja di salah satu tempat wisata di Malaysia. Sejak badai pandemi yang membuatnya dipecat, ia pulang ke kampung dan melihat solusi Sadbor cukup menjanjikan.
Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Harapan, Keterkejutan, dan Daya Tahan Aktivisme Digital
KELAKUAN NETIZEN: Bahaya Laten Nonton Pejabat Konten
Perlawanan Performatif
Orang yang lebih bisa menunjuk dirinya sebagai sumber segala keberhasilan yang dicapainya, mungkin tetap bisa menuduh bahwa apa yang disampaikan oleh tiga orang itu adalah sebuah pembelaan. Pembelaan atas kemalasan mereka. Pembelaan atas keengganan mereka mencari pekerjaan yang lebih “bermanfaat” dan “bermartabat”.
Padahal, kalau saja mau scrolling-scrolling sedikit ke media terkini, kita sendiri akan sesak dan mungkin putus asa jika menjadi salah satu dari mereka. Peristiwa terakhir di Job Fair Cikarang Bekasi bisa menjadi gambaran bahwa alasan mereka sebenarnya bisa jadi bukan mengada-ngada. Sebanyak 25 ribu orang pencari pekerja berdesakan saat mengantre untuk masuk dan bisa melihat lamaran tersedia.
Jangankan Sadbor dan tetangganya yang dari kecil mungkin tersisihkan untuk mendapat akses pendidikan tinggi yang layak. Bahkan, lulusan sarjana pun masih merasa sulit cari kerja. Beberapa dari mereka terpaksa jadi pembantu, sopir, hingga satpam. Menjadi lulusan dari perguruan tinggi ternama di Indonesia yang terkenal di bidang pertanian pun tak menjamin bisa meladeni tuduhan netizen ke Sadbor untuk “mending jadi petani”. Medy, misalnya, harus merelakan selembar ijazah sarjananya dari kampus pertanian itu dan memilih menjadi pengendara ojek online untuk membiayai keluarga kecilnya. Lulusan politeknik yang digadang-gadang lebih mudah mencari kerja karena ilmu yang praktikal, harus mengirimkan lebih dari 2.245 lamaran untuk mendapat pekerjaan. Ketika dapat, itu pun bukan pekerjaan impiannya.
Kepemilikan tahan yang tidak luas bahkan nihil, kondisi ekonomi makro nasional yang buruk, bisa membuat siapa saja terpuruk. Apalagi, desa telah lama hanya menjadi catatan pelengkap di pembangunan kita. Namun alih-alih putus asa, Sadbor sepertinya melawan itu dengan mengerjakan joget online.
Suatu kali, saya sangat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Sadbor dan teman-temannya. Di live Youtube tersebut, ia tiba-tiba terlihat sibuk mengetik di depan laptop. Selama teman-teman yang lainnya berjoget, Sadbor, Sang Ketua, terus saja mengetik sambil membuka-buka map.
Semua penonton tampaknya tahu bahwa ia pura-pura saja karena ada dua telepon genggam di depan laptopnya. Namun, saya menangkap adegan itu adalah bentuk perlawanan yang unik terhadap nyinyiran netizen. Sebuah perlawanan performatif atawa performative resistance yang natural yang dilakukan Sadbor di jagat online. Sebuah bentuk perlawanan simbolik terhadap kondisi ekonomi kita, juga kritik pada anggapan masyarakat mengenai apa itu “kerja yang layak”.
Kita Semua Sad Labor!
Dia menyindir kita. Memang, pekerjaan kita lebih mulia dari Sadbor? Jika Sadbor menyerahkan tubuh dan wajahnya ke media sosial untuk dapat saweran, bukankah kita juga telah lama menggadaikan cita-cita ideal kita kepada atasan dan institusi demi selalu gajian tiap bulan?
Di tengah perkembangan teknologi digital yang semakin maju sekalipun, Christian Fuchs banyak membahas bahwa kapitalisme dan pemilik alat produksi digital yang akan tetap menang. Kita akan selalu tertundukkan. Jika zaman dulu tuan tanah mengontrol kita saat berladang, atau pemilik pabrik memantau kita saat bekerja, bukankah pekerjaan kita di depan laptop juga dikontrol dari jauh? Melalui sistem, melalui rapat dan panggilan online, dan melalui laporan-laporan yang mesti diisi?
Selain itu, bisa jadi kita pun suatu saat terdesak menggunakan cara Sadbor. Saya teringat sebuah adegan di film Common People dari series The Black Mirror. Meski Mike telah bekerja keras sebagai pegawai manufaktur sejak lama, tetapi ketika pemecatan menimpanya, ia menyerahkan dirinya pada aplikasi ngamen online yang ekstrem. Demi memperpanjang hidup istri tercintanya. Merasakan cinta lebih lama.
Di tengah tumpukan tegangan antara kritik dan represi yang semakin terasa menjadi, saya sendiri merasa bahwa bertahan hidup dengan tak menyakiti siappaun adalah juga bentuk perlawanan. Apalagi bertahan dan melawan di tengah kondisi hidup yang mencekik.
Karenanya, daripada nyinyir terhadap sodara kita dengan segala jenis aktivitas ngamen online yang kita tuduhkan kepadanya, lebih baik kita julid dan bekerja sama untuk memperbaiki itu. Menuntut distribusi lahan kepada petani gurem. Meminta lapangan kerja yang banyak dan adil. Mendesak pendidikan kritis dan kontekstual untuk anak-anak desa agar mereka bisa lebih memaksimalkan potensi desanya dengan bijak dan berkemajuan.
Sebab, jangan-jangan, kita semua memang Sadbor, alias Sad Labor. Buruh yang menyedihkan. Musabab itu, marilah kita sama-sama bertahan. Bersolidaritas untuk perubahan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB