KELAKUAN NETIZEN: Harapan, Keterkejutan, dan Daya Tahan Aktivisme Digital
Liminalitas aktivisme digital kuat hadir karena sifat akvitisme digital yang sangat responsif atau afektif terhadap kejutan-kejutan kejadian merugikan rakyat.

M. Fasha Rouf
Per 2025 mahasiswa S3 Komunikasi Perubahan Sosial, The University of Queensland.
28 Mei 2025
BandungBergerak - Tak seperti bunga yang tumbuh mekar, menyebar, dan mengakar, cita-cita reformasi Indonesia seperti kembang yang makin layu. Dua puluh tujuh (27) tahun pasca reformasi, situasi pemerintahan dan politik tetap mencemaskan bagi kelompok rentan. Para cendekia terus menyuarakan kegelisahan tersebut.
Sukidi, sang pendekar demokrasi, menulis di Kompas (22/05/2025), bahwa kini negara sedang menggunakan politik sebagai senjata. Di kursi legislatif, rakyat tak lagi memiliki wakil yang bersuara lantang untuk membelanya setelah partai koalisi sangat dominan menduduki parlemen. Di sektor yudikatif, ia mengkritik hukum yang masih jadi pendulum untuk melumpuhkan lawan dan menyandera teman. Di tampuk kuasa eksekutif, kekuasaan yang populis dan otoriter semakin terasa. Kelompok sipil pun telah cukup berhasil ditawari posisi strategis untuk turut merasakan kue bancakan.
Di tengah berbagai kondisi itu, rakyat masih terus bahu-membahu memberi peringatan dan saling menguatkan lewat media sosial. Gerakan-gerakan mulai dari penggalangan dana publik, konsolidasi aksi massa, hingga kritik kreatif banyak terjadi di jagat digital Indonesia. Seperti pembaharuan pepatah sepuh: minimal perlawanan adalah doa, minimal perjuangan adalah klik atau cuitan.
Namun, pertanyaan yang berulangkali diungkapkan adalah: sejauh mana efektivitas media sosial dalam mengawal dan menggugat kekuasaan yang sewenang-wenang?
Mungkin kita bisa menyebut beberapa gerakan rakyat yang menang karena disulut atau dikawal di media sosial. Namun, kekuasaan selain bisa memperpanjang peranti kontrolnya di layar belakang media sosial, juga tetap memiliki alat yang kuat dalam kontrol di ruang nyata. Di sinilah aktivisme digital harus terus memupuk harapan, mempersiapkan respons atas berbagai kejutan, dan menjaga daya tahan perlawanan. Pertanyaan evaluatif seperti “seberapa efektif?” perlu digugat dengan melihat watak aktivisme digital itu sendiri.
Kerentanan Aktivis Digital
Kita mulai dengan cerita horor yang baru-baru ini terajdi di negeri kita, di Lampung tepatnya. Surya, seorang warga biasa di Kampung Gunung Agung, memiliki akun tiktok @lakiku89. Lewat akun Tiktok tersebut, ia menyuarakan kegelisahan warga kampung yang sudah tak terbendung. Warga mencurigai, dengan bukti kuat, adanya penyelewengan dana bansos di desanya. Tak suka dengan kritik dan nyinyirnya Surya di Tiktok, Agus selaku sepupu dari Sukardi sang Kepala Desa membunuh Surya setelah terjadi percecokan sebelumnya (Kompas, 19/05/2025).
Kejadian kecil ini bisa jadi menunjukkan bahwa aktivis sosial di era digital sangatlah rentan. Meski dia menyuarakan suara kegelisahan kolektif, tetapi pemilik akun dan pejuang lantang itulah yang tetap akan dijadikan sasaran martir.
Laporan dari SafeNet menyoroti bahwa pada 2024, saat terjadi gerakan massa dengan tagar #PeringatanDarurat, para aktivis mendapatkan intimidasi. “Di ruang-ruang digital, intimidasi dan ancaman terhadap aktivis juga terjadi selain juga operasi pemutarbalikan informasi,” tulis berita laporan tersebut. Di laporan yang sama, SafeNet mencatat terdapat 146 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital selama 2024. Sebanyak 62 dari total 170 orang yang dilaporkan karena ekspresi di ranah digital adalah warga biasa.
Apakah hal ini hanya terjadi di Indonesia? Mari kita dengar dan petik pelajaran dari aktivisme digital pada konflik lahan Đồng Tâm di Hanoi, Vietnam.
Pelajaran dari Vietnam
Di damainya padi di sawah desa Đồng Tâm, tersimpan bara konflik yang telah nyala selama puluhan tahun. Awal konflik itu adalah sebidang lahan seluas 59 hektar, sebuah tanah warisan leluhur yang terus dipelihara dari generasi ke generasi. Namun, sejak 1980, tanah itu diklaim milik militer dan direncanakan menjadi bandara militer.
Memasuki 2010, geliat harga properti di wilayah itu memunculkan desas-desus bahwa lahan konflik tersebut akan dijadikan lapangan golf. Warga terguncang. Bagi mereka, lapangan golf bukan untuk layanan publik. Meski seluruh lahan dimiliki pemerintah di negara seperti Vietnam, tetapi keterikatan warga secara spiritual dan laku hidup selama bergenerasi dan tidak adanya konpensasi layak membuat warga di sana keberatan.
Puncak konflik terjadi pada 15 April 2017. Warga murka setelah setelah Lê Đình Kình—seorang tetua desa yang dihormati layaknya pemuka spiritual—ditangkap secara brutal tanpa surat resmi. Ia sudah uzur, 82 tahun, tetapi semangatnya menjadi nyala perlawanan.
Terjadilah drama mencengangkan yang berlangsung selama tujuh hari. Warga menyandera sejumlah petugas kepolisian sebagai bentuk protes. Sebuah foto penyanderaan kemudian viral di media sosial. Dukungan kepada para petani di sana meluas. Netizen Vietnam mendorong agar pemerintah berkelakuan adil dan membuka ruang dialog.
Tekanan dan dukungan publik yang dipantik akvitisme digital terus meluas, rakyat pun merasakan kemenangan. Wali Kota Hanoi saat itu, Nguyễn Đức Chung, turun langsung ke desa. Dengan tangan sendiri, ia menulis janji: tidak akan ada tuntutan hukum bagi warga, dan konflik ini akan diperiksa dengan saksama. Warga merasakan akhir yang bahagia.
Namun, ternyata, apa yang disebut ‘akhir yang bahagia’ oleh warga hanya berlangsung sinkat. Dua bulan setelah perjanjian damai, janji runtuh satu persatu. Polisi Hanoi melakukan penyelidikan pidana terhadap warga yang sebelumnya dijanjikan perlindungan. Inspektorat Kota pun menyatakan bahwa tanah yang selama bergenerasi digarap warga bukanlah milik mereka.
Hingga akhirnya pada malam tanggal 9 Januari 2020, ketika warga desa Đồng Tâm terlelap, mereka dibangunkan oleh bayangan gelap kekuasaan. Ribuan polisi bersenjata menyusup ke dalam desa. Kabar tentang operasi itu memang menyebar cepat ke Facebook, tank, senapan, dan pasukan elit mengepung tanah yang dijanjikan damai.
Sayangnya, solidaritas warga net hanya kuat terjadi di ruang maya. Perlawanan nyata hanya benar-benar terjadi di lahan warga. Di tengah kepungan, sosok Lê Đình Kình, yang selama ini menjadi simbol perlawanan warga, menjadi korban utama. Kabar menyebar cepat: ia ditembak di jantung dan kepala, kakinya nyaris terputus. Video kengerian tubuhnya yang renta dan jahitan asal setelah autopsi menembus jagat maya. Dukungan dan ungkapan duka itu bersaing dengan unggahan atas meninggalnya tiga anggota polisi yang tewas saat menyerbu rumah Kình.
Kasus semakin lenyap ketika pandemi Covid-19 melanda. Kình memang dikenang oleh netizen. Kemenangan sementara yang dulu sempat dirasakan sirna semua. Namun, apakah aktivisme digital akhirnya akan selalu berakhir sia-sia?
Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Bahaya Laten Nonton Pejabat Konten
KELAKUAN NETIZEN: E(x)-Commerce
Pelajaran dari #PeringatanDarurat
Aktivisme Digital Butuh Harapan, Keterkejutan, dan Daya Tahan
Jawabannya, justru tidak. Aktivisme digital tidak akan pernah sia-sia, justru aktivisme digital perlu dipahami cara kerjanya dalam menawarkan perubahan sosial secara dari sudut pandang bagaimana proses itu berlangsung. Hal itu dituturkan Giang Nguyen Thu, seorang dosen University of Queensland, dalam artikel etnografisnya di konflik lahan Đồng Tâm. Artikel yang terbit tahun 2023 dengan judul From Hope to Haunt: Digital Activism and the Cultural Politics of Hope(Lessness) In Late-Socialism, menawarkan bahwa hal penting dari aktivisme digital adalah merawat keterkejutan, harapan, dan daya tahan perjuangan.
Di kuliah umumnya yang saya hadiri, Giang menekankan bahwa aktivisme digital itu berada di ruang antara. Teoretikus sering menyebutnya sebagai liminal space. Secara harfiah, liminalitas berarti sebuah ritual atau proses di mana seseorang itu tidak berada di ruang asal tetapi belum juga tiba di ruang tujuan.
Dalam hal ini, aktivisme digital adalah sebuah ritual di mana keberhasilannya selalu berada di ruang antara. Sudah berhasil di satu titik, tetapi dapat roboh di titik lain. Seperti kemenangan petani pada April 2017, tetapi kalah di Januari 2020, tetapi bisa jadi di kemudian hari—jika pertani dan massa merawat daya juang—kemenangan masih bisa direbut. Giang menggambarkan kesementaran itu sebagai: “dalam kasus Đồng Tâm, masa depan dapat dipahami sebagai 'yang belum datang', 'yang belum meledak', tetapi juga 'yang belum berlalu”. (hlm.868)
Liminalitas aktivisme digital kuat hadir karena sifat akvitisme digital yang sangat responsif atau afektif terhadap kejutan-kejutan kejadian merugikan rakyat. Kejutan-kejutan itu hadir dari perlakuan negara dengan segala tali-temalinya, baik atas nama ideologi negara atau bisnis neoliberal. Rakyat harus selalu siap dengan kebijakan, peraturan, keputusan, hingga tindakan yang tiba-tiba menyerang mereka. Apalagi, di tengah semakin minimnya pelibatan publik dan basis ilmiah atas berbagai keputusan oleh pemimpin populis yang kini eksis di berbagai negara. Media sosial, sebagai alat solidaritas kolektif, memiliki kemampuan untuk menggalang dukungan hingga melakukan perlawanan dalam waktu yang singkat.
Di tengah ruang kesementaraan itu, perlu daya tahan untuk tetap mampu merespons berbagai tindakan negara dan korporasi yang dadakan, juga kesementaraan dalam perjuangan: kekalahan atau kemenangan yang sementara. Giang, menggunakan pandangan dari pemikir Marxist, Bloch, dan Indonesianis Benedict Anderson, mengungkapkan bahwa untuk dapat bertahan di ruang kesementaraan aktivisme digital, perlu membangun dan menjaga harapan yang kuat.
Giang menuturkan (hlm.849-850), sebagai afeksi dalam politik, harapan menyebar dari perwujudan kolektif akan masa depan alternatif yang belum disadari sepenuhnya tetapi sudah tersirat dari kebuntuan yang dialami saat ini. Sementara sebagai kapasitas politik, harapan melibatkan proses yang melelahkan dan tidak nyaman, yang di dalamnya subjek yang penuh harapan harus bertahan dan berdiam dalam keterbukaan yang pasti datang bersama kekuatan perubahan yang meresahkan.
Karenanya, ia mengkritik bahasa evaluatif dari peneliti (juga juliders) terhadap aktivisme digital. Bahasa evaluatif itu menyederhanakan aktivisme hanya pada hasil akhir semata dan selalu menekankan pentingnya perencanaan (strategi dan taktik). Sehingga menurutnya, hal itu menghapus proses ketaktertentuan yang justru penting dalam perubahan sosial. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang peka terhadap dimensi afektif dan keterbukaan terhadap kemungkinan yang belum terjadi, bukan sekadar strategi yang bersandar pada hal-hal yang sudah diketahui. Hal itu dapat membuka kemungkinan baru yang lebih radikal, meski risikonya bayangan keputusasaan.
Memperpanjang Harapan, Menyiapkan Perjuangan
Saya bisa mengamini gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Giang. Di era yang serba dar-der-dor dalam derap pembangunan dan impian-impian ekonomi utopis yang penuh kerakusan, aktivisme digital dapat membantu kesiapsiagaan rakyat sebagai (calon) korban. Aktivisme digital pun dapat membantu menjaga harapan, meski harapan dari rakyat di lapangan sendiri tentu penting dan lebih rentan.
Namun, sebagai catatan, di tengah kevakuman perjuangan jika tidak ada kasus viral, rakyat bisa terus merawat solidaritasnya, membangun basis-basis perjuangan yang lebih kokoh. Sehingga, ketika terjadi perjuangan yang afektif, reaktif, dan responsif, para pejuang di lapangan dan media sosial dapat lebih terlindungi. Solidaritas dari organisasi sosial juga media alternatif bisa menawarkan perpanjangan perjuangan atas ledakan yang tiba-tiba terjadi karena dorongan aktivisme digital tersebut. Dengan demikian, kita terus bisa meyirami bunga reformasi yang terlihat makin layu tersebut.
Giang (hlm.854), mengingatkan kita dalam tulisannya: “Menjadi aktivis adalah menjadi sosok yang penuh harapan. Ketika seseorang mewujudkan kemungkinan yang tipis akan masa depan alternatif, dengan demikian ia meregangkan dirinya untuk menanggung situasinya saat ini tanpa sepenuhnya tereduksi olehnya.”
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB