Relevansi Nilai-nilai Kesundaan dan Kemuhammadiyahan
Karakteristik masyarakat Sunda tercermin dari tingkah laku, adat kebiasaan, serta pegangan yang membentuk karakter masyarakatnya.

Alifia Syahrani
Pemerhati Bahasa dan Budaya Sunda. Mahasiswa Program Studi Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.
13 Juni 2025
BandungBergerak.id – Telah menjadi fitrah, dalam melakukan sesuatu hal pasti membutuhkan bala bantuan yang lainnya. Itulah manusia; homo socius yang berarti makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, meskipun beberapa hal bisa dilakukan sendiri, akan tetapi tetap; kembali kepada fitrah manusia sebagai makhluk sosial, ada satu atau dua hal harus melibatkan orang lain. Contohnya dalam bermasyarakat, dalam hegemoni perbedaan antara manusia lainnya pasti akan mencari manusia yang sama pola pikirnya, sama tujuannya, dan sama visi misinya. Dalam Islam, fenomena seperti ini telah tertulis dalam Al-Quran surah Al-Hujurat ayat 13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui; Maha Teliti.
Dari ayat tersebut, bisa disimpulkan bahwasanya sudah menjadi ketentuan Allah manusia diciptakan berbeda-beda, supaya saling mengenal (heterogenitas). Meskipun diciptakan berbeda-beda, manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari yang sama. Yang sama di sini mempunyai maksud sama habituasinya, pola pikirnya, dan sama dalam tujuannya. Dari hal-hal tersebut, melahirkan semacam perkumpulan; organisasi atau persyarikatan. Salah satunya adalah Muhammadiyah.
Muhammadiyah adalah organisasi Islam pribumi pertama yang mereformasi dan memperkenalkan sistem pendidikan Islam modern, tata kelola dan manajemen urusan keagamaan yang berlandaskan pada prinsip akuntabilitas dan berorientasi pada dampak, serta memelopori gerakan emansipasi perempuan muslim. Muhammadiyah merupakan gerakan Islam modernis terbesar dan tertua di Indonesia yang masih eksis hingga hari ini. Muhammadiyah telah mendirikan 30 cabang istimewa di luar negeri dan melebarkan kiprah kemanusiaan ke berbagai negara dalam rangka menciptakan perdamaian global dan keadilan sosial. Anggota Muhammadiyah diprediksi berkisar antara 30 hingga 40 juta orang yang berasal dari berbagai latar belakang profesi, etnis, sosial, dan budaya.
Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan pada tanggal 18 November 1912 di Kauman, kota Yogyakarta. Pendirian Muhammadiyah diawali oleh keberadaan Sekolah Rakyat bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada awal tahun 1912. Madrasah ini mengadakan proses belajar-mengajar pertama kali di dengan memanfaatkan ruangan berupa kamar tamu di rumah KH Ahmad Dahlan yang memiliki panjang 6 meter dan lebar 2,5 meter, berisi tiga meja dan tiga kursi panjang serta satu papan tulis. Pada saat itu ada sembilan santri yang menjadi murid di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
Tujuan berdirinya Muhammadiyah adalah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Namun, dampak kebermanfaatan Muhammadiyah juga menjangkau berbagai individu, kelompok, dan masyarakat dari berbagai latar belakang agama, suku, dan komunitas yang beragam, sejalan dengan misi rahmatan lil ‘alamin yang berlandas pada Islam moderat. Selama satu abad, Muhammadiyah dikenal luas sebagai organisasi sosial-keagamaan yang sukses bergerak di ranah pendidikan, kesehatan, filantropi, dan pemberdayaan sosial secara independen serta terpercaya. Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dari jenjang dasar, menengah, dan tinggi; mendirikan rumah sakit, klinik, dan layanan kesehatan; dan melakukan pemberdayaan sosial-ekonomi yang tersebar di seluruh Indonesia untuk komunitas masyarakat urban, pedesaan, pedalaman, terpencil, kawasan kepulauan, masyarakat adat, serta di area rawan bencana.
Baca Juga: Bahasa Sunda dalam Kehidupan Masyarakat Perkotaan
Belajar dari Nilai-nilai Didaktis pada Cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah
Nilai dan Prinsip
Sebagai suatu pesyarikatan, Muhammadiyah mempunyai nilai-nilai yang menjadi prinsip para anggotanya. Nilai-nilai tersebut dikenal dengan istilah “Nilai-nilai Kemuhammadiyahan.” Nilai-nilai tersebut mencakup (1) al-qiyam al-fadhilah, yaitu nilai utama yang terkait erat dengan ‘ashariyah atau the power of now yang berangkat dari Surat Al-‘Ashr (Al-Qaradhawi mengartikan ‘ashariyah sebagai modernity, sementara Muhammad Abduh mengartikannya sebagai “berada di ruang dan waktu, dan berbuat terbaik dengannya”); (2) pemuliaan manusia; sejak awal berdiri, Muhammadiyah memuliakan perempuan dengan cara mendorong mereka keluar dari kungkungan tradisi patriarki untuk ikut bergerak aktif membangun masyarakat; (3) persaudaraan (ukhuwah), Muhammadiyah selalu berusaha menjadi titik temu di antara perbedaan yang ada; (4) welas asih, Muhammadiyah berusaha mewujudkan pengamalan Al-Ma’un dengan jalan yang moderat dan inklusif; (5) etos kerja, orang-orang Muhammadiyah dikenal gemar bekerja dan sedikit bicara –bukti dari etos ini adalah berdirinya banyak amal usaha Muhammadiyah; (6) tauhid yang pro kemanusiaan, Muhammadiyah tidak berdiri untuk dirinya sendiri, tapi untuk semaksimal mungkin memberi kebermanfaatan pada orang lain; (7) nilai ilmiah dan keilmuan, orang Muhammadiyah dikenal cerdas, berilmu, dan memiliki kata yang sejalan dengan tindakan; serta (8) nilai peradaban, Muhammadiyah berusaha menerjemahkan Islam sebagai agama peradaban dan berupaya hidup menjadi umat terbaik (khairu ummah).
Dari delapan nilai-nilai tersebut, menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi persyarikatan yang jelas arah tujuannya; dari narasi sampai ke implementasi. Seperti yang telah diterangkan, hadirnya Muhammadiyah itu untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; kebermanfaatannya terasa oleh seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang agama, ras, suku, dan komunitas yang beragam. Salah satunya adalah masyarakat Sunda.
Nilai-nilai “kemuhammadiyahan” yang menjadi pegangan anggota persyarikatan sangatlah relevan dan sejalan dengan karakteristik masyarakat Sunda. Karakteristik masyarakat Sunda itu tercermin dari tingkah laku, adat kebiasaan, serta pegangan yang membentuk karakter masyarakat Sunda. Hal-hal tersebut bisa ditemukan dari idiomatik dalam Bahasa Sunda (babasan dan paribasa), yang sering diistilahkan menjadi “nilai-nilai kesundaan”.
Relevansi antara nilai-nilai kesundaan dan kemuhammadiyahan antara lain adalah mérémawéh ka sasama; sejalan dengan pengamalan Al-Ma’un dalam kehidupan sehari-hari, miindung ka waktu, mibapa ka jaman (harus beradaptasi dengan keadaan); selaras dengan konsep al-qiyam al-fadhilah –berada di ruang dan waktu, dan berbuat terbaik dengannya, rékép déngdék papak sarua (semua manusia itu sama peranannya); kesetaraan gender dan tidak terlalu membedakan status sosial dalam bermasyarakat, sejalan dengan konsep Muhammadiyah yang salah satu contohnya memuliakan perempuan dengan cara mendorong mereka keluar dari kungkungan tradisi patriarki untuk ikut bergerak aktif membangun masyarakat, ipis lapis kandel tapel (sedikit berbicara, banyak bekerja); sejalan dengan nilai etos kerja yang diimplementasikan oleh anggota persyarikatan, nu euweuh tong diaya-aya, nu aya tong dieuweuh-euweuh & lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (yang ada jangan ditiadakan, yang tidak ada jangan diada-adakan; senafas dengan Muhammadiyah yang mengusung kemurnian agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta silih asih, silih asuh, dan silih asah (sebagai sesama manusia, kita harus saling menyayangi, saling mengingatkan, dan saling melindungi antar sesama); seiring dengan konsep Muhammadiyah tidak berdiri sendiri, tapi untuk semaksimal mungkin memberi kebermanfaatan pada orang lain.
Tentunya relevansi nilai-nilai kesundaan dan kemuhammadiyahan yang telah dipaparkan menjadi satu tali penguat, bahwasanya nilai-nilai kearifan lokal sangat sejalan dan beriringan dengan nafas Islam yang dibawa Muhammadiyah. Islam dan Sunda tidak akan terpisahkan. Anekdot yang dikenal oleh masyarakat Sunda berkata, “Islam téh Sunda, Sunda téh Islam!” kelak akan melahirkan ungkapan atau babasan “nyantri, nyunda, nyakola”. Billahi Fii Sabilillhaq, Fastabiqul Khairat! Hurip Sunda!
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB