• Narasi
  • Belajar dari Nilai-nilai Didaktis pada Cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah

Belajar dari Nilai-nilai Didaktis pada Cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah

Kisah Mundinglaya Dikusumah yang hidup di kalangan masyarakat Sunda menyiratkan nilai keteguhan diri, loyal, menuruti setiap perintah, dan kesabaran.

Alifia Syahrani

Pemerhati Bahasa dan Budaya Sunda. Mahasiswa Program Studi Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.

Anak-anak belajar aksara Sunda usai mengaji di Masjid Al Jabbar, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, 9 September 2022. Mereka antusias mempelajari huruf Sunda yang lama tenggelam. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

26 Juni 2024


BandungBergerak.id – Ketika berbicara tentang karya sastra, pasti kita akan fokus pada puisi, kartun, dan novel. Namun, berbeda dengan yang telah disebutkan sebelumnya, karya sastra dalam kesusastraan mempunyai banyak bentuknya. Terkhusus dalam khazanah kesusastraan Sunda

Melihat kesusastraan Sunda itu tergantung pada bagaimana cara melihatnya; berbagai macam klasifikasinya. Koswara (2020) menyatakan bahwa berbagai macam klasifikasi dalam kesusastraan Sunda, yaitu tergantung pada jenis atau sifatnya, bentuknya, waktunya, media yang melahirkannya, dan asal-usul dari karya sastra itu sendiri. Salah satu yang terdapat dalam kesusastraan Sunda adalah cerita pantun.

Bila diklasifikasikan, cerita pantun masuk ke dalam karya sastra klasik; telah ada dan berbentuk puisi naratif. Penyebaran cerita pantun di masyarakat menggunakan media lisan. Lumrahnya, cerita pantun digelarkan (disajikan) oleh Juru Pantun dengan diiringi oleh waditra kecapi. Anggapan masyarakat terhadap cerita pantun ini penuh dengan kesakralan; tidak sembarangan dipertontonkan atau digelarkan dan harus didampingi semacam sesajen; rurujakan. Contohnya di daerah Baduy. Cerita pantun biasanya dipergelarkan dalam acara-acara tertentu, misalnya acara nikah, acara adat, dan lain-lain.

Lakon dalam cerita pantun sangatlah variatif; bermacam-macam, seperti cerita Bujangga Manik, cerita Lutung Kasarung, dan cerita Mundinglaya Dikusumah. Sebagai salah satu karya sastra, cerita pantun penuh dengan nila-nilai kehidupan. Salah satunya adalah nilai didaktis.

Nilai didaktis adalah nilai yang kaitannya dengan perubahan sikap dan perbuatan ke arah yang lebih baik, memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, dan pimpinan) mengenai akhlak serta kecerdasan pikiran (Alwi, 2007: 263). Singkatnya, nilai didaktis merupakan nilai pendidikan; mengubah sikap dan perilaku manusia ke arah yang lebih baik. Begitu pun nilai didaktis dalam cerita pantun Mundinglaya Dikusumah. Banyak sekali nilai-nilai didaktis yang terkandung dalam setiap untaian ceritanya.

Baca Juga: Masyarakat Adat Sunda Mengarungi Arus Budaya Globalisasi
Cara Komunitas Karinding Jatinangor Melestarikan Budaya Sunda
Bahasa Sunda dalam Kehidupan Masyarakat Perkotaan

Kisah Mundinglaya Dikusumah

Cerita Mundinglaya Dikusumah melakonkan seorang pangeran yang diangkat menjadi raja ketika raja sebelumnya masih menjabat; Prabu Siliwangi. Sang raja mempunyai dua orang permaisuri, yaitu Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati. Dari Nyimas Tejamantri melahirkan Pangeran Guru Gantangan, sementara dari Nyimas Padmawati melahirkan Pangeran Mundinglaya.

Ada jarak yang terlampau jauh; umur antara dua pangeran. Ketika Pangeran Guru Gantangan sudah memegang kekuasaan menjadi bupati di Kutabarang serta telah menikah dengan Nyimas Ratna Inten, sementara Pangeran Mundinglaya masih dalam tahap pertumbuhan. Sebab tidak mempunyai anak, Pangeran Guru Gantangan mengangkat seorang anak yang dinamai Sunten Jaya. Pangeran Guru Gantangan juga kepincut untuk merawat Pangeran Mundinglaya menjadi anaknya. Ketika Pangeran Guru Gantangan meminta Pangeran Mundinglaya dari permaisuri Nyimas Padmawati, permaisuri langsung memberikannya kepada Pangeran Guru Gantangan; sangat sayang kepada Pangeran Mundinglaya.

Ketika Pangeran Mundinglaya beranjak dewasa, Pangeran Guru Gantangan lebih menyayangi Pangeran Mundinglaya daripada Pangeran Sunten Jaya. Hal ini diakibatkan perbedaan sifat antara Pangeran Mundinglaya dan Pangeran Sunten Jaya. Selain dari rupa yang rupawan, Pangeran Mundinglaya terkenal dengan budi pekerti yang baik. Sebaliknya, Pangeran Sunten Jaya terkenal angkuh dan manja. Hal itu membuat Pangeran Sunten Jaya iri; ibunya pun sangat menyayangi Pangeran Mundinglaya.

Yang sangat disesali, istri Pangeran Guru Gantangan memberikan fokus berlebihan kepada Pangeran Mundinglaya yang membuat Pangeran Guru Gantangan cemburu. Akhirnya, Pangeran Mundinglaya dimasukkan ke penjara; difitnah oleh saudaranya sendiri dengan dasar mengganggu kehormatan wanita. Keputusan ini membuat masyarakat dan para bangsawan Pajajaran terbagi menjadi dua faksi; ada yang menyetujui dan ada yang menolak terhadap putusan itu. Hal ini juga membuat terancamnya stabilitas kerajaan ke arah permusuhan antar saudara.

Nilai-nilai didaktis yang terkandung dalam cerita ini sangat beraneka ragam, seperti nilai keteguhan diri, loyal; menuruti setiap perintah, dan kesabaran. Nilai keteguhan diri tergambar ketika Pangeran Mundinglaya berangkat ke jabaning langit dan bertemu dengan Tujuh Guriang. Ketika bertemu, Pangeran Mundinglaya menceritakan maksud dan tujuannya mengapa dia berani-beraninya datang ke jabaning langit; akan membawa Layang Salaka Domas untuk memberantas dan menstabilkan huru-hara yang tengah terjadi antara saudara di Pajajaran.

Para Guring menghargai maksud dari Pangeran Mundinglaya. Akan tetapi, para Guriang tidak bisa memberikan Layang Salaka Domas tersebut karena Layang Salaka Domas itu bukan untuk manusia. Para Guriang menawarkan opsi seperti menggantinya dengan seorang putri yang sangat cantik atau kesejahteraan; menjadikannya makhluk paling suci di dunia. Teguh terhadap pendirian, Pangeran Mundinglaya tetap ingin membawa Layang Salaka Domas ke Pajajaran; syarat untuk ketenteraman kerajaan. Tidak bisa dihindari, pertarungan sengit terjadi antara Pangeran Mundinglaya dengan para Guriang. Singkatnya, dengan melihat kejujuran, tidak serakah serta teguh pada pendiriannya, para Guriang memasrahkan Layang Salaka Domas kepada Pangeran Mundinglaya.

Tidak serta merta Pangeran Mundinglaya berangkat ke jabaning langit kalau bukan patuh pada perintah. Latar belakangnya adalah ketika Nyimas Padmawati bermimpi Tujuh Guriang. Salah satu dari Tujuh Guriang ini membawa Layang Salaka Domas; yang sangat diperlukan untuk ketenteraman kerajaan.

Prabu Siliwangi langsung mengumumkan berita (maksud) kepada para ksatria; siapa saja yang berani mengambil Layang Salaka Domas. Beberapa ksatria yang berkumpul tidak sanggup, termasuk Pangeran Sunten Jaya. Ki Lengser memberikan kabar kepada Prabu Siliwangi bahwa ada seorang lagi ksatria yang belum tau akan kabar (maksud) tersebut, yaitu Pangeran Mundinglaya. Ketika kabar tersebut sampai ke Pangeran Mundinglaya, langsung saja menyanggupinya.

Nilai kesabaran yang terkandung dalam cerita ini juga sangat tergambar ketika Pangeran Mundinglaya difitnah; dituduh oleh Pangeran Sunten Jaya. Dari fitnah dan tuduhan tersebut, Pangeran Mundinglaya dijebloskan ke penjara; mengganggu kehormatan wanita. Ketika dalam perjalanan untuk mencari Layang Salaka Domas, Pangeran Mundinglaya dihadapkan berbagai macan cobaan. Contohnya ketika berhadapan dengan raksasa Jonggrang Kalapitung dan Tujuh Guriang. Tapi dia tetap bersabar; menuruti perintah yang diperintahkan padanya.

Nilai-nilai didaktis dalam cerita ini sangatlah adiluhung; dari warisan nenek moyang yang sangat cocok sekali diterapkan dalam kehidupan zaman sekarang. Sastra adalah seni memperindah hidup dengan bahasa sebagai metrum utama. Jikalau diterapkan dalam pengajaran formal, sangat bagus sekali melalui pendekatan Etnopedagigik; ilmu pengajaran yang berdasarkan kearifan lokal. Cag!

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang budaya

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//