Orang Muda Lintas Iman di Kota Bandung Menggali Akar Krisis Iklim dari Kehidupan Sehari-hari
Dampak krisis iklim sudah langsung terasa di kehidupan sehari-hari. Dirasakan pula oleh orang-orang muda lintas iman di Kota Bandung.
Penulis Tim Redaksi18 Juni 2025
BandungBergerak.id - Kegiatan hari kedua program Beasiswa Liputan Jurnalisme Pemuda Lintas Iman tentang Keadilan Iklim berlangsung dengan penuh semangat dan kesadaran kritis. Dengan mengupas dampak nyata perubahan iklim di kehidupan sehari-hari, sesi ini membuka ruang diskusi yang hangat di antara peserta dari berbagai latar belakang iman dan komunitas. Mereka saling berbagi perspektif tentang bagaimana komunitasnya mengalami dampak-dampak tersebut dan strategi yang bisa dilakukan untuk merespons krisis iklim secara kolektif dan adil.
Pertemuan yang diadakan secara daring, 13 Juni 2025, dilaksanakan oleh Eco Bhinneka Muhammadiyah Jawa Barat bekerja sama dengan BandungBergerak sebagai bagian dari rangkaian program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism). Program pelatihan ini diikuti 8 laki-laki dan 8 perempuan dengan latar belakang agama dan organisasi kepemudaan yang beragam di Kota Bandung.
Di hari pertama program SMILE, lokakarya membahas tema “Bandung Lautan Sampah”. Di hari kedua ini semakin memperkuat semangat kolaborasi lintas iman dan lintas sektor dalam menyuarakan isu keadilan iklim melalui media dan jurnalisme. Para peserta tidak hanya diajak memahami data dan dampak, tetapi juga mendorong empati dan aksi nyata melalui narasi yang kuat dan berpihak pada kelompok rentan.
Tini Martini Tapran, Ketua Yayasan Generasi Semangat Selalu Ikhlas (GSSI) dan Project Manager "Ketapang Kita", turut menguatkan pentingnya advokasi dari akar rumput untuk keadilan iklim. Ia menekankan bahwa strategi advokasi harus dibangun dari pengalaman lokal yang kuat dan relevan.
“Alam memiliki sistem yang tersusun sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung terus-menerus. Tapi sekarang, kita harus tanya: bagaimana kita bisa menyuarakan pengalaman komunitas ke pemegang kebijakan?” ujarnya.
Ia juga mengajak peserta untuk memulai dari diri sendiri, menghemat energi, mengurangi sampah, dan menanam pohon. “Edukasi keluarga dan komunitas di masjid, kampus, dan media sosial, lalu bergabunglah dalam gerakan lingkungan. Ingat, bumi ini bukan warisan. Kita hanya meminjam. Kalau meminjam, harus dikembalikan dalam keadaan baik, bukan rusak,” tutup Tini dengan penuh makna.
Baca Juga: Orang Muda Lintas Iman Bandung Menyuarakan Keadilan Iklim dengan Jurnalisme
BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Fenomena Krisis Iklim Menimbulkan Dampak Domino, mulai dari Bencana Alam, Kesehatan, Hingga Krisis Pangan
Tidak hanya Soal Cuaca makin Panas
Salah satu sesi yang mencuri perhatian peserta adalah pemaparan dari Rikrik Suharyadi dari Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), yang menyoroti secara lugas bagaimana perubahan iklim tidak hanya soal cuaca makin panas, tetapi berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam pemaparannya, Rikrik menjelaskan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan harga pangan melonjak, ekonomi terguncang, kesehatan masyarakat terganggu, dan kesenjangan sosial semakin melebar. “Perubahan iklim bukan cuma soal cuaca makin panas. Dampaknya langsung terasa di hidup kita sehari-hari,” ujarnya sambil menunjukkan infografik visual yang menggugah.
Lebih lanjut, Rikrik menekankan pentingnya pengelolaan sampah sebagai bagian dari aksi nyata menghadapi krisis iklim. “Mari kita mulai kelola sampah di lingkungan masing-masing bersama komunitas, seperti di rumah ibadah, karena itu murah, hemat energi, dan berdampak rendah terhadap lingkungan,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa tempat pembuangan akhir (TPA) seharusnya menjadi opsi terakhir. Oleh karena itu, masyarakat perlu mencari cara agar sampah organik tidak berakhir di TPA, seperti dengan mengolahnya di kawasan sendiri melalui sistem pengomposan terdesentralisasi atau memanfaatkan fasilitas pengolahan yang sudah ada.
“Kuncinya adalah mengurangi sampah organik dari sumbernya—dari rumah tangga. Dengan begitu, kita bisa secara signifikan meminimalkan kontribusi sampah terhadap perubahan iklim,” tegas Rikrik.
Workshop ini diawali dengan pembukaan pendaftaran dan seleksi beasiswa liputan pada 21 Mei – 7 Juni 2025. Pelatihan dibagi menjadi dua tahap: sesi daring pada 12-13 Juni 2025 untuk pembekalan teori lintas iman dan keadilan iklim, serta sesi luring pada 22 Juni 2025 untuk materi jurnalistik dan praktik langsung di lapangan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB