• Liputan Khusus
  • BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Fenomena Krisis Iklim Menimbulkan Dampak Domino, mulai dari Bencana Alam, Kesehatan, Hingga Krisis Pangan

BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Fenomena Krisis Iklim Menimbulkan Dampak Domino, mulai dari Bencana Alam, Kesehatan, Hingga Krisis Pangan

Krisis iklim yang dipicu pemanasan global mengubah suhu Kota Bandung menjadi panas. Dampak krisis iklim ini merembet ke bencana alam, kesehatan, dan tatanan sosial.

Cerobong asap industri di Bandung selatan, Jawa Barat, Jumat (22/3/2019). Industri yang tidak ramah lingkungan akan mencemari tanah, air, dan udara. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul30 September 2024


BandungBergerak.idSepanjang Agustus 2024, daun-daun berguguran dari pohon-pohon yang meneduhkan jalanan. Daun-daun kering itu berserakan di banyak jalanan di Kota Bandung. Ada yang telah menggunung di pinggiran trotoar, sisa sapuan dari petugas kebersihan. Selain daun-daun jatuh dari pohonnya, ada pula pohon-pohon yang mongering, ditinggal pergi dedaunan. 

Dua bulan diterpa kemarau, Kota Bandung mengering. Nahas, kondisi ini diperparah dengan laju krisis iklim yang ditandai kenaikan suhu. Fakta lapangan membuktikan Bandung tak lagi dingin seperti dulu. Banyak warga mengeluhkan kondisi ini. Para peneliti maupun ahli memastikan bahwa suhu panas yang melanda Kota Kembang bagian dari fenomena krisis iklim global. Meski global, ada banyak upaya lokal yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak krisis iklim ini.

Manajer advokasi Rhizoma Indonesia Wahyu Widianto menerangkan, para ahli mencatat krisis iklim dimulai sejak masa revolusi industri, sekitar tahun 1850 saat ditemui mesin uap dan masa industrialisasi. Kenaikan suhu tercatat sekitar 0,2 derajat celcius hingga tahun 1982. Namun begitu, para pakar sepakat rentang 2014-2023 sebagai dekade terpanas sepanjang sejarah peradaban manusia dengan kenaikan suhu hampir mencapai 1,5 derajat celcius, yaitu sekitar 1,2 derajat celcius.

“Ini memang pastinya disebabkan oleh jumlah karbon dioksida, terutama ya, kan banyak metan. Karbon dioksida itu sudah melampaui batas aman dan ini sudah warning sebenarnya dan tentunya itu penyebab utama terjadinya pemanasan global,” terang Wahyu, kepada BandungBergerak melalui sambungan telepon, Rabu, 27 Agustus 2024.

Widi, demikian ia kerap disapa menerangkan, perubahan iklim memang akan berdampak terhadap kenaikan suhu dan intensitas curah hujan. Dampak ini akan kentara dirasakan terutama di kawasan perkotaan yang “infrastruktur alamnya” telah terdegradasi, digantikan oleh infrastruktur artifisial menjadi “hutan” beton. Alih fungsi ini akan membuat ruang terbuka hijau tidak bisa diandalkan secara maksimal lantaran jaringan alamiahnya telah berkurang. 

Sejak 2006 menetap di Bandung, dulu Widi bisa melihat kota Bandung yang rindang dipenuhi pepohonan di banyak sudut kota Bandung. Dulu, ia jarang berkeringat di siang hari. Sangat berbeda dengan yang ia rasakan beberapa tahun belakangan. Menurutnya, krisis iklim setidaknya berdampak pada empat hal di Kota Bandung, yaitu lonjakan kenaikan suhu, intensitas banjir yang lebih sering, kekeringan berkepanjangan, dan longsor.

“Pengaruh perubahan iklim itu justru intensitas bencana yang kita sebut bencana alam, sebenarnya itu adalah bencana iklim. Karena bencana alam itu kan bisa diakibatkan oleh alam itu sendiri, bisa diakibatkan oleh manusia. Saat ini kondisinya diperparah oleh perubahan iklim,” tegasnya.

Widi menegaskan, penyebab utama krisis iklim yang ditandai dengan kenaikan suhu ini adalah menumpuknya karbon dioksida di atmosfer dalam jumlah besar. Penggundulan hutan, aktivitas industri, penggunaan bahan bakar fosil, sistem pembuangan sampah dengan metode open dumping, hingga penggunaan listrik dan ac (air conditioner) berlebihan di rumah. 

Krisis iklim ini pun memicu dua hal yang sangat berlawanan, meningkatkan curah hujan dan memicu kekeringan. Bencana iklim sulit diprediksi dan akan terjadi berulang. Krisis iklim berperan mempengaruhi curah hujan hingga mengganggu sistem siklus air. Ketika intensitas hujan meningkat, karena kawasan hutan sudah gundul, lantas datang banjir. Sedangkan ketika musim kemarau datanglah bencana kekeringan. 

“Kekeringan itu terjadi bukan karena dipicu oleh penggunaan air tanah yang berlebihan, itu hanya salah satunya. Yang utamanya adalah tadi, curah hujan yang tiba-tiba intensitasnya berkurang, daerah-daerah tangkapan air juga udah mulai gak ada, nah ancaman selanjutnya adalah kekeringan. Kalau banjir itu mungkin terjadinya bisa lebih cepat, jadi hujan itu kan bisa datang kapan aja karena fenomena alam,” jelasnya.

Krisis iklim memang terjadi secara global. Namun begitu, upaya lokal yang dilakukan untuk meminimalkan pemanasan global bisa berdampak pula secara global. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah mengukur daya dukung dan daya tampung. Daya dukung adalah misalnya aspek lingkungan yang mendukung kehidupan, seperti pohon, siklus air, dan lainnya. Adapun daya tampung adalah aspek lingkungan yang bisa menyerap karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer akibat aktivitas manusia. 

“Nah, itu bisa kita hitung sebenarnya. Jadi upaya-upaya yang dilakukan adalah, intinya, Kota Bandung harus menghentikan infrastruktur artifisial dan harus segera meningkatkan infrastruktur alamnya,” ungkap manajer organisasi lingkungan yang baru berdiri awal tahun ini.

Upaya pengurangan dampak krisis iklim bukan perkara mudah dan perlu dilakukan oleh semua pihak. Pemerintah haruslah mendukung dari sisi hukum, finansial, dan perencanaan pembangunan yang berpihak kepada lingkungan. Kota Bandung yang juga memiliki banyak industri perlu melakukan upaya dekarbonisasi. Pemerintah perlu memfasilitasi perusahaan dengan peta jalan sebagai panduan pelaku usaha untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi untuk menghindari krisis iklim dan keruntuhan global.

Berkaitan dengan krisis iklim, Widi mengatakan Rhizoma tengah mendesak pemerintah pusat untuk memasukkan peta jalan pensiun PLTU batu bara secara bertahap sampai tahun 2050. PLTU perlu dipensiundinikan sebab merupakan kontributor tunggal pengemisi terbesar di Indonesia yang mencapai 65 persen. Penyusunan peta jalan ini juga perlu selaras dengan kebijakan Rencana Umum Energi Daerah (RUED). 

“Nah, ini juga yang akan jadi acuan penyusunan rencana pembangunan jangka menengah maupun jangka panjang provinsi. Ini harus sesuai dan selaras dengan target di bawah 1,5 derajat celcius, seperti perjanjian Paris. Jadi jangan sampai kebijakan energi nasional dibilang begini, gak konsisten, gak sesuai. Ke depan kita juga akan kawal, karena ini penyebab utama perubahan iklim, PLTU batubara,” ungkapnya. 

Ilustrasi. Pohon yang tumbuh di Kota Bandung tak kuasa menghadapi kemarau, 29 Agustus 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Ilustrasi. Pohon yang tumbuh di Kota Bandung tak kuasa menghadapi kemarau, 29 Agustus 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Urban Heat Island 

Kenaikan suhu di perkotaan atau dikenal dengan istilah urban heat island di Kota Bandung terjadi juga karena penyempitan ruang hijau dan kerapatan lahan terbangun. Sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat, Bandung memiliki laju peningkatan penduduk yang menyebabkan adanya peningkatan alih fungsi lahan yang menjadi potensi terjadinya fenomena krisis iklim.

“Suhu yang meningkat merupakan salah satu indikasi terjadinya urban heat island di Kota Bandung dan hal tersebut memiliki dampak terhadap kenyamanan manusia, kondisi kualitas udara, penggunaan energi hingga perubahan iklim di masa mendatang,” tulis Nisa Rachmania dan Zulfadly Urufi dalam artikel ilmiah “Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Suhu Perkotaan di Kota Bandung”. 

Nisa Rachmania dan Zulfadly Urufi melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan penggunaan lahan berdasarkan kondisi kerapatan lahan terbangun dan vegetasi terhadap perubahan suhu di Kota Bandung.

Kedua mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung itu membeberkan, Kota Bandung mengalami perubahan penggunaan lahan seluas 9.582,25 hektare atau sebesar 55,57 persen dari total luas wilayah pada periode 2006-2011, seluas 8.843,47 hektare atau sebesar 52,92 persen pada periode 2011-2016 dan seluas 8.496,09 hektare atau sebesar 49,30 persen pada periode 2016-2020.

Keduanya menganalisa, luas nonbangunan di Kota Bandung mengalami penurunan. Pada tahun 2006 seluas 2.116,51 hektare, tahun 2011 menjadi seluas 2.060,77 hektare, turun lagi menjadi 1.473,64 pada tahun 2016, dan tersisa 826,29 hektare pada tahun 2020. 

Adapun rata-rata suhu permukaan di Kota Bandung pada tahun 2006 yaitu sebesar 24,55 derajat celcius, pada tahun 2011 rata-rata suhu permukaan mengalami penurunan sebesar 1,15 derajat celcius menjadi 23,30 derajat celcius. Kemudian pada tahun 2016 rata-rata suhu permukaan mengalami peningkatan menjadi 24,76 derajat celcius, selanjutnya pada tahun 2020 meningkat kembali secara signifikan menjadi 28,54 derajat celcius.

Pengaruh perubahan penggunaan lahan berdasarkan kondisi kerapatan lahan terbangun dan vegetasi terhadap perubahan suhu di Kota Bandung pada periode 2006-2011 didapati dengan interpretasi model: setiap peningkatan 1 indeks kerapatan lahan terbangun akan meningkatkan suhu permukaan Kota Bandung sebesar 2,102 derajat celcius dan setiap peningkatan 1 indeks kerapatan vegetasi akan menurunkan suhu permukaan Kota Bandung sebesar 2,030 derajat celcius.

Adapun pada rentang 2011-2016, didapati interpretasi model: setiap peningkatan 1 indeks kerapatan lahan terbangun akan meningkatkan suhu permukaan Kota Bandung sebesar 8,423 derajat celcius dan peningkatan suhu permukaan pada penggunaan lahan bervegetasi lebih rendah sebesar 0,197 derajat celcius dibandingkan pada penggunaan lahan lainnya.

Pada rentang 2016-2020, didapati interpretasi model: setiap peningkatan 1 indeks kerapatan lahan terbangun akan meningkatkan suhu permukaan Kota Bandung sebesar 13,254 derajat celcius dan setiap peningkatan 1 indeks kerapatan vegetasi akan menurunkan suhu permukaan Kota Bandung sebesar 10,879 derajat celcius.

“Perubahan rata-rata suhu permukaan Kota Bandung pada periode penelitian secara linier mengalami peningkatan, yang ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan luas dengan kelas suhu tertinggi pada pusat-pusat kegiatan, hal tersebut mengindikasikan terjadinya fenomena urban heat island di Kota Bandung. Pengaruh yang terjadi sebesar 97 persen pada periode 2006-2011, sebesar 72 persen pada periode 2011-2016 dan sebesar 92 persen pada periode 2016 2020,” tulis Nisa Rachmania dan Zulfadly Urufi. 

Kedua mahasiswa ini menegaskan, variabel kerapatan lahan terbangun memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap perubahan suhu Kota Bandung dibandingkan variabel bebas lainnya karena memiliki nilai koefisien dalam model estimasi paling besar. Variabel penelitian lainnya adalah indeks kerapatan vegetasi, suhu permukaan pada penggunaan lahan bervegetasi lebih rendah, suhu permukaan pada penggunaan lahan badan jalan lebih rendah, dan suhu permukaan pada penggunaan lahan permukiman lebih rendah. 

Baca Juga: BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Gerakan Penghijauan Kota Terbilang Rendah
BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Timur yang Gersang, Membutuhkan Banyak Pohon Peneduh
BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Lain Dulu Lain Sekarang, Dulu Halimunan Sekarang Keringatan

Ancaman Kesehatan 

Krisis iklim yang diikuti lonjakan kenaikan suhu tentunya memiliki dampak lain selain menimbulkan bencana, yaitu kesehatan. Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jawa Barat, Ahyani Raksanagara menjelaskan, lingkungan merupakan faktor penting yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Faktor lingkungan dan perilaku mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat sekitar 85 persen. 

Faktor lingkungan dapat menjadi pengaruh bagi kesehatan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Yang secara langsung dirasakan adalah udara, panas, maupun air. Faktor udara dapat mempengaruhi pernapasan yang dapat menyerang kelompok rentan seperti bayi, balita, lansia maupun individu dengan kelainan paru-paru, hingga masyarakat umum. 

“Itu karena udara doang, bukan panasnya. Belum nanti lingkungannya berpengaruh terhadap misalnya ketersediaan air bersih. Air bersih sangat berpengaruh pada kesehatan. Kita tahu banyak yang terkait secara langsung. Nah ini juga nanti menjadi PR sebetulnya, bagaimana seluruh masyarakat bisa terakses dengan air bersih,” terang Ahyani Raksanagara, kepada BandungBergerak.id melalui sambungan telepon, Senin, 26 Agustus 2024. 

Ada pula suhu panas yang dapat berpengaruh terhadap kulit, menyebabkan kering, gatal-gatal, hingga kanker. Paparan matahari terus menerus, bagi yang berkegiatan di luar ruangan juga akan mengurangi daya tahan kulit. Kondisi ini pun membuat tubuh kekurangan cairan yang akan berdampak langsung dengan organ dalam. Sehingga, jumlah konsumsi air minum harian harus diperbanyak. 

“Yang gak langsung tapi berdampak adalah ketersediaan pangan. Kalau musim kemarau misal makanan jadi mahal kan ya, nanti berdampak kepada daya beli. Jadi yang harusnya terpenuhi makanan yang bergizi jadi enggak juga. Nah hal lain juga vektor, binatang yang berkembang di cuaca tertentu, misalnya nyamuk dan lalat. Dia itu memang lebih hebohlah kehidupannya dan dia itu akan membawa penyakit yang menularkan,” tambah mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung ini.

Selain itu, ia menjelaskan, suhu panas yang naik signifikan akan membuat hidup menjadi tidak nyaman. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap kesehatan mental. Makanya ia menggarisbawahi, pengaruh-pengaruh negatif tersebut baru sebagian saja yang muncul dari krisis iklim. Kebanyakan, dampak kesehatan ini masuk dari determinan yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat. 

Untuk menghindari risiko kesehatan karena krisis iklim, yang bisa dilakukan adalah dengan melindungi diri dengan mengurangi risiko. Misalnya, ketika beraktifitas di luar ruangan yang akan terpapar matahari, haruslah mengenakan kacamata, masker, sarung tangan, dan lainnya. Yang paling penting juga adalah memperbanyak minum air putih, menjaga daya tahan tubuh, mengatur pola makan, dan istirahat yang cukup. 

“Intinya kita meningkatkan daya tahan tubuh, mengurangi eksposur dari luar. Itu umumnya. Nanti silakan masing-masing, makan makanan yang bergizi, istirahat dipenuhi, ada aktivitas olahraga minimal 30 menit per hari. Jadi gaya hidup sehatnya harus lebih diperhatikan lagi oleh semua,” ungkapnya. “Bukan berarti gak boleh beraktivitas atau produktivitas jadi turun. Tapi kita beradaptasi sesuai dengan risiko yang akan kita hadapi.”

Di samping itu, karena krisis iklim ini berdampak untuk masyarakat luas, maka sudah semestinya, aktivitas-aktivtas yang dapat menurunkan kualitas udara, kualitas air, dan mencemari lingkungan dikurangi. Ahyani menegaskan, pada aspek kesehatan, yang perlu dilakukan adalah upaya pencegahan perilaku yang bisa menimbulkan dampak buruk. Sedangkan untuk menjaga lingkungan, merupakan kewajiban seluruh masyarakat sebab hal ini tentunya akan berdampak kepada masyarakat pula. 

“Masalah kesehatan masyarakat harus ditangani bersama-sama. Walau ujungnya di kesehatan manusia. Yang kedua, ini jadi warning, perlu diingatkan untuk hati-hati, bahwa ini bisa berdampak,” terangnya. 

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//