• Liputan Khusus
  • BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Gerakan Penghijauan Kota Terbilang Rendah

BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Gerakan Penghijauan Kota Terbilang Rendah

Upaya penghijauan di Kota Bandung atau di Bandung Raya umumnya terbilang rendah, kalah agresif dengan pembangunan hutan-hutan beton.

Pemandangan kota minim ruang terbuka hijau (RTH) dengan latar kabut polusi di pusat Kota Bandung, 3 September 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah27 September 2024


BandungBergerak.id - Bandung Utara tidak seperti dulu lagi. Tidak ada kabut yang biasa turun di pagi hari, tidak ada harum belerang yang terbawa angin dari Gunung Tangkuban Perahu. Hal ini dirasakan oleh budayawan dan sastrawan Sunda Hawe Setiawan yang sejak tahun 1980-an bermukim di Ledeng, Kota Bandung.

“Saya tidak pindah-pindah di Ledeng, meski dulu sekitar 10 tahunan di Jakarta. Kemudian pulang lagi ke Ledeng dulu masih ada kabut pagi-pagi. Sekarang mah gak ada,” cerita Hawe, saat ditemui BandungBergerak, Selasa, 27 Agustus 2024.

Hawe prihatin dengan perubahan kawasan hijau Bandung utara menjadi wisata, industri, dan area bisnis properti. Ekonomi kota semakin tumbuh namun tidak  dibarengi dengan pembenahan ekologis secara baik.

“Ruang terbuka hijau makin sedikit. Kawasan Ledeng juga ruang terbuka hijau terus terancam sektor pembangunan,” ujarnya.

Di wilayah Cipaku, kawasan di atas Ledeng, pembangunan tak terkendali sampai mengancam sabuk hijau dan Gedong Cai, instalasi mata air bersih dari seke. Dahulu mata air alami di kawasan ini ada lima mata air, tetapi sekarang tersisa tinggal mata air Cibadak yang posisinya juga terancam.

Dosen sastra berusia 51 tahun ini merasakan Bandung semakin hareudang, panas. Hawa ini terutama tidak nyaman untuk pelisiran di waktu siang. Berbeda dengan dulu, Bandung nyaman dan teduh.

“Hareudang gak seenak dulu, apalagi wilayah tengah (pusat kota Bandung). Saya naik motor atau sepedah paling wilayah Tamansari yang terasa enaknya. Dulu mah jauh lebih banyak daerah yang lebih sejuknya,” kenangnya.

Bandung kini heurin ku tangtung. Lalu lintas semakin padat di tengah menjamurnya objek wisata. Konsekuensinya, ruang terbuka hijau semakin berkurang. Sementara upaya penghijauan teramat minim. Bahkan Hawe curiga upaya penghijauan Kota Bandung kalah massif dengan Jakarta.

Di masa lalu, Bandung dikenal genah, betah, mernah tur tumaninah seperti digambarkan Us Tiarsa dalam buku “Basa Bandung Halimunan: Bandung Taun 1950-1960-an” (2011). Sastrawan Sunda ini menuturkan pengalamannya saat berjalan-jalan dari ujung Bandung ke titik lainnya yang tidak begitu terasa lelah karena banyak pepohonan yang bikin sejuk dan teduh.

“Hawana matak seger jeung riuh ku tatangkalan. Tutumpakan teu pasulabreng teuing. Harita mah meh saban isuk kota teh kasaput ku halimun. Ciibun ngagarendang dina tatangkalan. (suasana bikin segar dan teduh oleh pepohonan. Kendaraan tidak begitu banyak. Dulu setiap pagi kota ditutupi embun. Air embun terlihat di pepohonan),” tulis Tiarsa.

Kota berjuluk Parisj Van Java kini jauh berbeda dengan era 1980-an yang dialami oleh Hawe Setiawan ataupun Us Tiarsa tahun 1950-1960an.

Baca Juga: BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Timur yang Gersang, Membutuhkan Banyak Pohon Peneduh
BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Hareudang Menjalar antara Gang Kecil di Ciumbuleuit dan Punclut
BANDUNG TIDAK LAGI BERKABUT: Laris Manis Es Teh Gegerkalong Menandakan Bandung Semakin Panas

Kekurangan Pohon di Kota Bandung

Hawa sejuk Kota Bandung hanya menjadi cerita masa lalu; tak membekas kini. Bandung gerah serta lebih terasa panas akibat kurangnya jumlah pohon peneduh dan menyusutnya ruang terbuka hijau. Pohon memiliki dampak besar dalam menyejukkan dan melindungi kita dari sengatan matahari.

Gencarnya alih fungsi lahan ruang terbuka hijau menjadi ruang-ruang terbangun beton menyebabkan jumlah pohon di Kota Bandung semakin menyusut. Menurut DPKP3 Kota Bandung, minimnya RTH mengakibatkan 90 persen sinar matahari langsung jatuh ke permukaan seperti aspal, genting rumah, dan bangunan. Maka, Kota Bandung pun semakin panas.

Apbila luasan RTH sesusai dengan angka ideal, maka 80 persen sinar matahari akan terserap pepohonan untuk proses fotosistensis; 10 persen lagi akan kembali ke angkasa, dan 10 persen menempel di bangunan, aspal, dan lainnya.

DPKP3 Kota Bandung juga mencatat setiap tahun perentase RTH di Kota Bandung berkurang sekitar 42 sentimenter. Bahkan, di paru-paru Kota Bandung Babakan Siliwangi sendiri permukaan air tanah berada pada 14,35 meter dari sebelumnya 22,99 meter.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Jabar Wahyudin Iwang mengatakan, penebangan pohon di bahu-bahu jalan alteri Kota Bandung semakin meningkat akhir-akhir ini. Sayangnya, tak ada informasi pasti berapa pohon yang sudah ditebang. Informasi ini mestinya bisa diakses publik.

“Angkanya cukup drastis ditebang,” kata Iwang, Selasa, 27 Agustus 2024. Padahal, lanjut Iwang, pohon berfungsi menyerap karbon dioksida atau polusi udara yang ditimbulkan kendaraan dan industri. “Termasuk di musim hujan menyerap air.”

Selain penebangan pohon di bahu-bahu jalan, pembangunan di wilayah Bandung Utara semakin memengaruhi suhu dan degradasi bentang alam Cekungan Bandung. Seharusnya targetan perluasan RTH menjadi fokus utama pemerintah di Bandung Raya. Terlebih krisis iklim yang terjadi hari ini dipengaruhi pembangunan infrakstruktur yang tidak mempertimbangkan daya tampung alam dan kelestarian lingkungan. Iwang khawatir krisis iklim di Bandung Raya diperparah dengan krisis air bersih.

Pemandangan kota minim ruang terbuka hijau (RTH) dengan latar kabut polusi di pusat Kota Bandung, 3 September 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Pemandangan kota minim ruang terbuka hijau (RTH) dengan latar kabut polusi di pusat Kota Bandung, 3 September 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Faktor Penyebab Kenaikan Suhu Panas di Kota Bandung

Meningkatnya suhu panas di Kota Bandung dipengaruhi faktor-faktor lokal seperti bertumbuhnya jumlah gedung-gedung dan minimnya ruang terbuka hijau.  “Bahwa ada pelepasan panas dari aktivitas manusia di kota itu. Orang masak menggeluarkan panas, jadi sumber panas yang bisa meningkatkan suhu di perkotaan. Neraca panas di permukaan yang berubah ada gedung-gedung, jalan, dan lain-lain. Tutupan permukaan harus dibuat supaya tidak banyak melepaskan panas,” terang Tri Wahyu Hadi, pakar iklim dari Institut Teknologi Bandung (ITB), kepada BandungBergerak melalui zoommeeting, Sabtu 24 Agustus 2024.

Tri menuturkan, menambah ruang terbuka hijau bisa menjadi salah satu upaya untuk mengurangi suhu panas. Ia berharap tren penggunaan energi secara efesein di beberapa negara juga berdampak positif pada pengurangan suhu panas.

Menurut Tri, banyak sekali yang bisa dilakukan masyarakat perkotaan untuk mengatasi suhu panas, di antaranya dengan mengurangi berkendaraan dan beralih pada kendaraan berbasis listrik. “Trennya transprotasi berbasis listrik sedikit banyak mengurangi juga,” kata Tri.

Iklim yang berubah juga berpengaruh pada meningkatnya intensitas penyinaran matahari. Sementara resapan untuk sinar matahari terus berkurang. Kota-kota yang kurang memperhatikan fenomena ini akhirnya menjadi urban heat island atau fenomena alam yang terjadii ketika suhu di perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan di sekitarnya.

"Suhu itu meningkat kalau ada sumber panas yah. Pertama dari penyinaran matahari, karena ada yang menyerap dan melepaskan kembali. Di perkotaan itu banyak bangunan jalan raya itu menyerap panas cukup panas atau dikenal urban heat island," ungkap Tri.

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel lain tentang Bandung Tidak Lagi Berkabut

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//