Memahami Mengapa Empat Pulau Kecil Jadi Milik Aceh
Formapa Bandung membeberkan bukti-bukti historis Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan masuk wilayah Provinsi Aceh.
Penulis Awla Rajul18 Juni 2025
BandungBergerak.id - Perebutan empat pulau kecil antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kini mereda. Pemerintah telah menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan masuk wilayah Aceh, setelah sebelumnya melewati polemik cukup panas yang disulut Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 bahwa keempat pulau milik Sumatera Utara.
Polemik ini mengemuka setelah Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri, menerbitkan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengatur tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau. Keputusan tersebut memasukkan empat pulau kecil itu ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Topik ini pun ramai diperbincangkan, terutama setelah Gubernur Sumut Bobby Nasution menemui Gubernur Aceh Muzakkir Manaf di Banda Aceh, awal Juni lalu untuk membahas pengelolaan keempat pulau kecil itu bersama-sama.
Ketua Bidang Kajian, Advokasi, dan Aksi Strategis, Forum Mahasiswa dan Pemuda Aceh (Formapa) Bandung, Hidayatullah (28 tahun) menerangkan, secara historis, budaya, hukum, dan letak geografis, banyak bukti-bukti yang menguatkan bahwa empat pulau kecil itu merupakan milik provinsi Aceh, yang dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil. Ia menerangkan, polemik empat pulau kecil itu pun sudah berlangsung selama lebih dari tiga dekade, sejak Provinsi Aceh masih berkonflik dengan Republik Indonesia melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Melalui kajian historis yang dilakukan oleh Formapa Bandung, ditemui bahwa pada tahun 1992, sudah ada kesepakatan bersama antara Pemerintah Aceh, Pemerintah Sumatera Utara dan Pemerintah Pusat. Konflik yang memicu ketidakstabilan di perbatasan, menghasilkan empat ketentuan pokok yang waktu itu dimediasi oleh Rudini, Menteri Dalam Negeri, Ibrahim Hasan, Gubernur Aceh, dan Raja Inal Siregar, Gubernur Sumatera Utara.
Isi pokok kesepakatan tahun 1992 menjelaskan, di antaranya keempat pulau tersebut diakui sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh; Provinsi Sumatera Utara tidak boleh lagi mengklaim kedaulatan atau mengeluarkan izin usaha di wilayah tersebut; pengelolaan sumber daya alam yang kebanyakan berhubungan dengan laut yaitu (perikanan, oariwisata, dan lain-lain) menjadi hak penuh Provinsi Aceh; dan hanya kerja sama teknis (seperti konservasi laut lintas batas) yang boleh dibahas bersama.
Dalam kajian historis yang diterbitkan Formapa Bandung disebutkan, kesepakatan empat poin itu ditandatangani oleh Mendagri di Jakarta dan dianggap final mengikat. Bukti lainnya yang menjadi pertimbangan adalah status hukum dengan Pasal 246 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No. 01.P/HUM/2013 yang menolak Gugatan Provinsi Sumatera Utara, serta tercatat dalam Arsip Nasional Kementerian Dalam Negeri sebagai dokumen resmi penyelesaian sengketa.
“Jadi, jangan mengungkit kembali dan mengingatkan luka lama Aceh. Oleh karena itu, kami FORMAPA (Forum Mahasiswa dan Pemuda Aceh - Bandung) mewakili suara rakyat Aceh menolak empat pulau tersebut diambil alih wilayahnya oleh Sumatera Utara,” ungkap Formapa Bandung, melalui pernyataan tertulis yang diterima BandungBergerak.id, Senin, 16 Juni 2024.
Dayat, demikian ia akrab disapa melanjutkan, pihaknya tidak melihat keputusan Mendagri sebagai suatu ganjalan. Sebab, keputusan itu mestinya tidak berkeputusan tetap dan final. Pihaknya menerbitkan kajian historis supaya menjadi informasi bahwa banyak faktor yang mendukung keempat pulau dimiliki oleh Aceh.
“Kalau Formapa tidak mempermasalahkan keputusan Mendagri, karena itu bukan keputusan final. Kami hanya membahas sejarah saja, bahwa sejak lama itu milik Aceh Singkil. Itu semuanya milik Aceh Singkil, tidak ada sangkut-paut dengan Sumatera Utara atau Tapanuli Tengah. Kami kan juga udah ada UUPA yang mengatur tentang kedaulatan Aceh. Secara sejarah sudah ditetapkan, tahun 1992 sempat sudah ada finalisasi itu milik Aceh. Secara budayanya juga banyak peninggalan Aceh, dan itu memang dikelola oleh Aceh Singkil,” ungkap Dayat, ketika dihubungi melalui telepon, Senin, 16 Juni 2025.
Baca Juga: Menghitung Jumlah Emisi Batu Bara PLTU Cirebon I yang Berdampak pada Pemanasan Global
AJI, IJTI, dan PFI Menolak Program Rumah Bersubsidi Bagi Jurnalis, Semua Warga Negara Berhak Mendapatkan Rumah
Memahami Duduk Perkara
Jika dirunut, polemik perebutan empat pulau antara provinsi Aceh dan Sumut sudah terjadi sejak 1970an. Polemik yang terjadi saat ini, muncul ke permukaan setelah terbitnya Kepmendagri terbaru yang memperbarui keputusan sebelumnya, yaitu Permendagri Nomor 58 tahun 2021 tentang Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, serta Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau Tahun 2021, pada tanggal 14 Februari 2022.
Untuk memahami duduk perkara persoalan ini, mari merujuk pada penelitian yang dipublikasikan pada 2024, berjudul “Strategi Penyelesaian Sengketa Pulau Antara Kabupaten Aceh Singkil Pemerintah Aceh dengan Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara”, ditulis oleh Ardi Eko Wijaya, Neneng Sri Rahayu, dan Hamka, dari Politeknik STIA LAN Jakarta.
Konflik perebutan ini setidaknya telah berlangsung sejak 2008. Kedua provinsi ini saling klaim kepemilikan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan yang berlokasi di perbatasan bagian selatan antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Konflik ini bermula ketika adanya kegiatan verifikasi dan pembakuan pulau yang dilaksanakan oleh Tim Nasional (timnas) Pembakuan Nama Rupabumi. Timnas ini beranggotakan Kemenadagri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut dan Badan Informasi Geospasial (BIG).
Kegiatan itu melakukan pendataan terhadap 213 pulau Sumatera Utara, yang termasuk empat pulau disengketakan, dan 260 pulau yang ada di Aceh. Dalam kegiatan ini, sayangnya, di Aceh tidak didapati empat pulau. Pemerintah Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil sejak 2017 hingga 2020 sudah beberapa kali mengirim surat keberatan terhadap Kepmendagri terkait empat pulau yang dimasukkan ke wilayah Sumut.
Ardi dkk menuliskan, ada empat faktor yang mempengaruhi sengketa batas daerah, yaitu yuridis, historis, geografis, ekonomi, dan, sosial. Secara faktor yuridis, pemerintah Sumatera Utara diuntungkan dengan adanya Kepmendagri Nomor Nomor 050-145 tahun 2022 yang selanjutnya direvisi menjadi Kepmendari Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022. Sementara secara ekonomi, Pulau Panjang satu-satunya pulau yang memiliki kegiatan perkebunan kelapa, yang digarap oleh warga Aceh Singkil. Meski begitu, keempat pulau ini memiliki potensi perikanan dan pariwisata yang besar.
“Pemerintah Aceh menyatakan bahwa secara historis keempat pulau ini masuk ke dalam cakupan wilayah Aceh, yang dibuktikan dengan ditemukannya surat tanah yang ditandatangani oleh Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh tahun 1965. Surat tersebut menyatakan bahwa yang didaftarkan di Kantor Agraria Daerah Istimewa Atjeh. Pada surat tersebut juga menjelaskan bahwa Teuku Daud bin Teuku Radja Udah sebagai pemilik tanah keempat pulau tersebut. Jika dilihat dari faktor historis, data/dokumen yang disampaikan oleh Pemerintah Aceh lebih sesuai dengan kondisi eksisting,” tulis Ardi dkk dalam penelitian tersebut.
Sementara faktor geografis, memang lebih dekat dengan Sumatera Utara yang berjarak belasan kilometer, sementara Provisi Aceh berjarak 78,17 KM. Namun, Ardi dkk menegaskan, faktor geografis bukan faktor utama dalam penentuan cakupan wilayah. Faktor geografis dianggap memiliki tingkat pengaruh paling rendah, masih dibutuhkan dokumen-dokumen lainnya.
Sementara faktor sosial, keempat pulau banyak dipengaruhi oleh adat Aceh. Ditemui pula bukti bahwa sejak tahun 1965 sudah ada surat pengelolaan empat pulau yang dikeluarkan Kantor Agraria Aceh dan juga sudah ada sarana dan prasaran yang dibangun oleh Aceh. Pulau Panjang juga merupakan pulau yang sering disinggahi oleh nelayan Aceh, sudah dilengkapi dengan dermaga, rumah singgah, dan musala yang dibangun oleh pemerintah Aceh, serta dijalankan Adat Laut Aceh, yaitu pelarangan melaut setiap hari Jumat dan sanksi qanun Aceh bagi yang melanggar.
“Sementara itu Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah sampai dengan saat ini tidak melakukan pelayanan publik di keempat pulau tersebut karena dianggap sebagai pulau yang tak berpenghuni,” tulis Ardi dkk.
Salah satu poin terakhir yang penting diketahui, saat pengumpulan dokumen, Pemerintah Aceh mengajukan dokumen sebagai berikut, Surat Gubernur Aceh tahun 2009, Surat Gubernur Aceh tahun 2018, kesepakatan Bersama antara Pemda Tingkat I Sumatera Utara dan Pemda Istimewa Aceh tahun 1992, Berita Acara Rapat tanggal 31 Oktober 2002, Kesepakatan Bersama antara Pemda Tingkat I Sumatera Utara dengan Pemda Istimewa Aceh tahun 1988, Surat Kepala Inspeksi Agraria tahun 1965 terkait kepemilikan tanah a.n Teuku Daud bin Teuku Radja.
Sementara Pemerintah Sumut menyampaikan dokumen sebagai berikut: hasil verifikasi Timnas Pembakuan Nama Rupabumi tanggal 14 s.d 16 Mei 2008 di Medan; Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor 25/8199 tanggal 23 Oktober 2009; Surat Mendagri Nomor 136/046/BAK tanggal 4 Januari 2018; Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor 125/6614 tanggal 14 Juni 2022 dan Kepmendagri Nomor 050-145 tahun 2022.
Analisa peneliti terkait dokumen tersebut menyimpulkan, Pemerintah Aceh memiliki data yang lebih lama untuk dapat menyatakan bahwa lahan di keempat pulau tersebut telah mendapatkan pengakuan hak tanah, yang ditandai dengan Surat kepala inspeksi agraria Daerah Istimewa Atjeh tahun 1965. Surat tersebut menyatakan bahwa penguasaan tanah di empat pulau dikelola oleh orang Aceh dan juga membuktikan telah ada pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah Aceh kepada masyarakat.
Selain itu juga ada kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1988 yang mengacu pada peta topografi TNI AD tahun 1978 yang menggambarkan keempat pulau yang disengketakan masuk ke dalam wilayah administrasi pemerintahan Provinsi Aceh.
Prabowo Turun Tangan
Setelah polemik ini mengemuka selama beberapa pekan, Presiden Prabowo Subianto turun tangan untuk memutuskan persoalan. Selasa, 17 Juni 2025, Kantor Kepresidenan melakukan rapat terbatas (Ratas) yang dihadiri Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Mendagri Tito Karnavian, Gubernur Sumut Bobby Nasution, dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem.
“Bapak Presiden telah memutuskan bahwa pemerintah, berlandaskan kepada dasar-dasar dokumen yang dimiliki oleh pemerintah, telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau, yaitu Pulau Panjang, kemudian Pulau Lipan, kemudian Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, secara administratif masuk ke wilayah administratif Provinsi Aceh,” ujar, Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, di Kantor Presiden usai ratas, mengutip Live YouTube Sekretariat Presiden, Selasa, 17 Juni 2025.
Keputusan ini menyudahi polemik. Bobby dalam sambutannya menyampaikan kepada masyarakat Sumatera Utara untuk menerima keputusan Prabowo. Sementara Mualem menyampaikan, bahwa keputusan tersebut semoga tidak merugikan kedua belah pihak. Yang utama, pulau tersebut masih dalam wilayah NKRI.
“Mudah-mudahan ini sudah clear, tidak ada masalah lagi berdasarkan keputusan bapak Presiden dan Mendagri bahwa pulau tersebut sudah dikembalikan lagi ke Aceh. Semoga tidak ada yang dirugikan, baik Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Yang penting pulau tersebut adalah dalam kategori NKRI. Jadi mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi permasalahan, aman damai antara Provins Aceh dan Sumatera Utara,” ungkap Mualem.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB